subhan.esde@yahoo.com

Kisah Musa, Antara Iman dan Ilmu

Proses Nabi Musa membelah laut adalah peristiwa paling heroik. Musa memimpin eksodus Bani Israil  begitu tergesa-gesa, di bawah ancaman dan ketakutan. Bahkan mereka membawa adonan roti karena belum sempat dipanggang. Di belakang mereka, pasukan fir’aun memecut kuda-kuda mereka berusaha menyusul. Kepulan debu bergulung-gulung ke udara akibat hentakan kaki kuda justru sangat menakutkan Bani Israil. Berarti jarak mereka dengan pasukan fir’aun tidaklah jauh. Mereka terus bergerak sampai di depan mata terbentang laut lepas: Laut Merah. Bani Israil terpojok. Maju bahaya, mundur lebih berbahaya. Mereka ketakutan. Sampai ada yang bilang, “tinggal di Mesir lebih kusukai daripada harus mati di sini”.

Tetapi Musa, seorang pemimpin dan seorang nabi, tetap tenang. Musa meminta kaumnya agar tidak takut, karena Allah pasti memberi pertolongan. “Lalu Kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah laut itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar” (QS. As-Syu’ara: 63). Laut terbelah, tampaklah daratan. Bani Israil pun berduyun-duyun melintasi lorong laut itu, di mana ada 12 jalur untuk 12 suku (Ruben, Simeon, Yahuda, Isakhar, Zebulun, Dan, Naftali, Gad, Ashir, Bunyamin, Manashe, dan Efraim). Proses “laut terbelah” itu menjadi bahan riset hingga sekarang. Secara visual, kita sering disuguhi wujud laut terbelah. Laut mengering dan timbul daratan diapit dinding laut tinggi, seperti visualisasi film The Ten Commandments (1956) yang dibintangi Charlton Heston (Musa) dan Yul Brynner (fir’aun). Ada juga penjelasan proses “laut terbelah” itu dengan teori pasang-surut air, seperti penjelasan pakar kelautan Bruce Parker (2012). Bisa dilihat juga dalam film Exodus: Gods and Kings (2014) yang diperankan Christian Bale (Musa) dan Joel Edgerton (fir’aun). Film ini dikritik karena dinilai menjauh dari sejarah dan mengenyampingkan campur tangan Tuhan.

Apalagi teori itu bukan hal baru. Pada abad pertama Sebelum Masehi seorang sejarawan Yunani Artapanus (80-40 SM) di Alexandria menyebutkan Musa menyeberangi Laut Merah menunggu air surut. Musa dinilai punya pengetahuan tentang cuaca dan gejala alam. Bisa dibandingkan dengan peristiwa Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte yang menapaktilasi jejak Musa. Saat menjajah Mesir, Napoleon memeriksa kanal-kanal yang dibangun fir’aun, termasuk ke Suez. Ia diberitahu bahwa di sekitar pantai itu sekitar 3.000 tahun silam orang Israil berkemah. Napoleon memandangi perairan tersebut. Lebar selat itu 5,5 kilometer, jarak terpendek 1,8 kilometer. Perairan itu adalah daerah pasang surut. Saat air surut muncul bentangan daratan sehingga bisa dilewati. Polanya air surut sekitar 6 jam dan air pasang 6 jam berikutnya. Pola pasang surut terlebih terjadi pada saat bulan purnama.

Dengan pasukan berkudanya, Napoleon menyeberangi daratan yang surut itu. Sore hari saat hendak kembali, matahari pas tenggelam. Bentangan daratan yang surut tadi tak terpapar lama. Air sudah pasang. Pasukan Napoleon berusaha menyeberanginya. Tiba-tiba ombak datang bergulung-gulung. Mereka panik, apalagi hari mulai gelap. Begitu cepatnya laut pasang tahu-tahu air sudah sepinggang Napoleon yang bertengger di pelana kuda. Untunglah, sang kaisar bisa membawa pasukannya kembali ke pantai. Napolen dan pasukannya selamat. Peristiwa itu kerap digunakan sebagai penjelasan “ilmiah” tentang proses penyeberangan Musa memimpin Bani Israil. Tetapi semestinya tak lantas mengenyampingkan faktor “iman”. Kata Nurcholish Madjid atau Cak Nur (2002), secara hierarki nilai, iman adalah primer, sedangkan ilmu adalah sekunder. Bisa dilukiskan “lebih baik orang jujur walau bodoh daripada orang jahat meski berilmu”. Idealnya — mesti digapai semua orang berakal — adalah orang jujur dan berilmu. (M Subhan SD)

Ngabuburit Senja, 12 Ramadhan 1442 H/24 April 2021