subhan.esde@yahoo.com

Pokrol-pokrolan

Richard Nixon dan John Kennedy membuat sejarah. Keduanya setuju debat presidensial ditayangkan live di televisi. Itulah debat capres pertama kali disiarkan langsung televisi pada 26 September 1960. Sekitar 70 juta warga Amerika Serikat menonton debat dua calon presiden yang masih sama-sama muda itu. Nixon berusia 47 tahun, sedangkan Kennedy baru berumur 43 tahun. Nixon tentu pede karena ia dua periode (8 tahun) menjadi wakil presiden mendampingi Dwight Eisenhower sejak 1953. Tetapi, Kennedy juga tak ciut. Dengan debat, ia ingin menghapus kekhawatiran para pemilih tentang usia muda yang dianggap tak cukup berpengalaman untuk menjadi presiden.

Kennedy adalah senator selama 14 tahun. Ia masih muda, baru 43 tahun. Di atas podium debat, dua calon presiden AS itu beradu argumen. Nixon memang difavoritkan. Reputasi dan posisinya memang top. Sebagai wapres, ia termuda kedua (usia 40 tahun 11 hari saat dilantik pada 1953) setelah Wapres John Breckinridge pada periode 1857-1861 (usia 36 tahun 47 hari). Sebelumnya, ia enam tahun berkarier sebagai senator. Penguasaan Nixon terhadap berbagai masalah terutama kebijakan luar negeri yang menjadi andalan kampanyenya tak disangsikan lagi. Bahkan, ia pernah membungkam pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev, dalam kitchen debate tahun 1959.

Pamor Kennedy tak kalah moncer. Ia adalah senator muda yang fotogenik dan energik dari Massachusetts yang menaklukkan saingan utamanya dalam bursa bakal capres Partai Demokrat, yaitu senator asal Texas, Lyndon B Johnson, yang justru digandeng Kennedy untuk cawapresnya pada Pilpres 1960 itu. Kelebihan Kennedy punya pengalaman debat dalam pemilihan pendahuluan. Kata Kennedy, ”Nixon mungkin telah berdebat dengan Khrushchev, tetapi saya harus berdebat dengan Hubert Humphrey.” Humphrey (1911-1978) adalah profesor ilmu politik yang terpilih menjadi senator pada 1948, yang kemudian menjadi wapres pada 1965-1969 mendampingi Johnson. Kira-kira Kennedy ingin mengatakan lawan debatnya bukan tokoh biasa, melainkan pakar politik. Maka, Kennedy pede juga.

Baik Nixon maupun Kennedy sama-sama ogah didandani oleh tata rias yang ditawarkan produser acara debat, Don Hewitt. Tetapi, rupanya Kennedy punya tim rias sendiri. Selama debat terlihat Nixon berulang kali menyeka wajahnya yang berkeringat dengan selampai. Apalagi, Nixon baru saja dirawat di rumah sakit akibat cedera lutut sehingga terlihat kuyu saat tampil di podium debat.

Keesokan harinya, dalam jajak pendapat, Kennedy menjadi favorit. Meskipun margin of error-nya kecil, Kennedy berhasil mengalahkan Nixon. Padahal, sebelum debat, Nixon memimpin dalam jajak pendapat nasional. Panggung debat adalah potret sesungguhnya. Di podium yang menjadi pusat sorotan di bawah cahaya lampu terang itu, para kandidat presiden harus tampil prima dalam penampilan, tata tutur, intonasi, etika, wawasan, dan penguasaan masalah. Bagaimana peserta debat beradu argumentasi, mencecar, atau menangkis adalah peran asli yang menunjukkan kualitas dan kapasitas kandidat presiden, dan tentu saja bobot perdebatan.

Namun, durasi di podium debat ternyata tak cukup. Buktinya, pascadebat Joko Widodo dan Prabowo Subianto pada 17 Februari lalu, debat presidensial terus berlangsung walaupun siaran langsung debat di televisi sudah berakhir. Debat terus bergemuruh dalam multiplatform dan multichannel. Tentu media sosial paling gaduh. Pascadebat yang disiarkan televisi, para tim sukses (dan dikuti para pendukungnya) terus-menerus berdebat: menyerang dan membalas. Banyak isu debat melebar ke mana-mana. Fokus debat bergeser menjauh, semakin membuat inti persoalannya menjadi kabur.

Satu contoh soal lahan yang dikelola Prabowo di Kalimantan Timur dan Aceh seperti disinggung Jokowi. Polemik terkait materi debat itu sampai kini belum berakhir. Padahal, jika mencermati debat presiden di AS, katakanlah debat antara Donald Trump dan Hillary Clinton, tampaknya lebih panas dan nyelekit dari masalah itu.

Pertanyaan tentang lahan ini ditengarai tak lepas dengan kebijakan Jokowi yang sering dikritik tak berpihak pada rakyat. Bagi-bagi sertifikat tanah untuk rakyat ikut dikritik. Apalagi, ada narasi bahwa hanya 1 persen orang yang menguasai aset negeri ini. Dengan pertanyaan soal lahan itu, Jokowi mungkin ingin menegaskan bahwa kebijakan lahan di zamannya bukan untuk elite, tapi untuk rakyat.

Masalah lahan ini mestinya bisa dan cukup diselesaikan di panggung debat. Selain menjelaskan status hukum lahannya, yaitu HGU, bisa dijelaskan juga manfaat lahan tersebut bagi masyarakat. Podium debat memang harus digunakan secara cermat dan jeli. Lengah sedikit, Nixon pun gagal. Sayangnya lagi, yang terjadi sekarang justru debat terus-menerus tanpa henti di mana-mana walaupun acara debat sudah berlalu seminggu silam. Debat pun jadi liar. Pokrol-pokrolan: cuma bersilat lidah.

Kompas, Sabtu, 23 Februari 2019