subhan.esde@yahoo.com

Sulitnya Menyeret Orang-orang Terhormat Itu

SEJAK kasus dugaan korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah periode 1999-2004 mencuat, citra lembaga terhormat itu menukik drastis. Selama ini, para anggota DPRD itu terkenal dengan segala atributnya, termasuk derajat dan fasilitas, tiba-tiba menjadi pusat perhatian yang tidak mengenakkan hati. Sampai-sampai anggota DPRD yang baru (2004- 2009) juga merasa tertekan dengan kasus tersebut. Misalnya saja, Qayyim Munarka (PKS).

“Sebagai anggota DPRD, kami merasa tertekan secara moril dengan image buruk masyarakat dengan adanya kasus dugaan korupsi itu,” kata Qayyim saat mendatangi kantor Bastian Lubis, pekan silam.

Ini tak lepas dari proses pengusutan kasus itu yang terkesan lamban sehingga menjadi sorotan banyak pihak. Ternyata, memang tidak mudah menyeret mereka. Berbagai kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyerukan supaya kasus itu diusut agar terungkap di mana letak kesalahannya. Ketika melaporkan temuan tersebut, sejumlah elemen bergabung. Dalam koalisi pelapor kasus itu tercatat beberapa kelompok dan LSM, antara lain Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Anti- Corruption Committee (ACC), Forum Informasi Komunikasi Organisasi Nonpemerintah (FIK-Ornop).

Selain itu, ada LBH Pemberdayaan Perempuan Indonesia (LBHP2I), LBH Makassar, Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Patria Artha, Makassar Intelectual Law (MIL), dan Forum Bersama Pemantau Penyelenggara Negara (Forbantara), di samping beberapa pengacara.

Masih ada lagi kelompok-kelompok mahasiswa. Bahkan, rasa-rasanya setiap pekan ada saja mahasiswa yang turun ke jalan berunjuk rasa menuntut agar kasus itu diusut tuntas. Tetapi, suara mereka sampai serak membuat mereka hampir frustrasi. Seperti pepatah “anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu” begitulah kondisi selama sekitar tiga bulan setelah kasus tersebut mencuat. Suara-suara itu seakan lenyap diempaskan angin di jalan.

Mereka tak berdaya melihat Kejaksaan Tinggi Sulsel seakan lepas tangan dengan alasan kasusnya telah ditangani polisi. Kepala Kejati Sulsel Prasetyo, akhir Juli lalu, mengatakan, pihaknya menyerahkan kasus tersebut kepada polisi yang telah menanganinya sejak awal, supaya tidak tumpang tindih.

Sebaliknya, polisi seolah-olah maju-mundur lantaran izin dari Mendagri belum turun juga. Sejak polisi mengirimkan surat permohonan untuk memeriksa anggota DPRD itu pada awal Juli, sampai saat ini izin dari Mendagri belum turun juga. Kontan saja mereka yang mengharapkan kasus ini diusut menjadi pusing tujuh keliling. Sampai-sampai ada yang menduga bahwa saling melindungi antarpihak di Sulsel tampaknya begitu kuat.

Terlebih di beberapa daerah pengusutan kasus serupa cepat ditangani. Contohnya di Kendari, Sulawesi Tenggara. “Masak kalah sama Kendari. Ini akan jadi preseden buruk bahwa Sulsel jadi surga bagi para koruptor. Nanti ada yang bilang kalau mau korupsi pergi saja ke Sulsel, pasti aman,” kata Abraham Samad, pengacara yang juga Ketua Anti-Corruption Committee.

“Harusnya Kepala Polda proaktif untuk segera menetapkan tersangka dan melakukan penahanan. Di Jakarta saja, Nurdin Halid sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sudah ada perintah penahanan. Kenapa di sini belum, padahal kasusnya sudah lama bergulir. Sebenarnya, kalau Kepala Polda mau mempelajari data-data dan fakta yang kami ajukan, sudah ada orang yang bisa diajukan sebagai tersangka. Setidaknya sudah bisa diketahui siapa yang paling bertanggung jawab dalam penyusunan anggaran yang bermasalah itu, yakni Panitia Anggaran,” ujar Abraham Samad, Agustus silam.

Saking jengkelnya karena merasa laporannya tidak ditanggapi, koalisi pelapor itu akhirnya mengadu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, awal September silam.

Kompas, Selasa 19 Oktober 2004