subhan.esde@yahoo.com

Industri Kapal Rakyat, Bertahan di Antara Dua Gelombang

Kapal tradisional buatan Tanah Beru.
(Foto: Subhan SD)

Bertahun-tahun silam para pelaut Makassar dan Bugis berlayar mengarungi samudra dengan kapal-kapal kayu, termasuk jenis pinisi. Ketangguhan kapal tradisional itu kini juga menembus badai dan gelombang laut itu. Mampukah kapal kayu itu bertahan di dua gelombang, bukan hanya di laut bebas, tetapi di tengah perubahan zaman?

Sepanjang siang suara mesin-mesin pemotong kayu seperti tak henti- hentinya terdengar di sepanjang pantai Tanah Beru, pusat industri kapal rakyat di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ratusan pekerja tampak menekuni pekerjaannya masing-masing. Ada yang menyerut papan kayu biar halus, ada yang membuat pasak kayu, ada yang menyambung papan demi papan hingga menjadi perut kapal.

Tanah Beru berjarak sekitar 21 kilometer arah timur Kota Bulukumba, atau sekitar 174 kilometer arah timur Makassar. Sepotong pantai berpasir putih halus itu sejak lampau dikenal sebagai pusat pembuatan perahu atau kapal tradisional. Dari pantai itulah ribuan kapal kayu telah mengarungi sejumlah lautan dan samudra di dunia.

Bahkan, dalam perjuangan merebut Irian Barat pada era 1960-an, misalnya, industri kapal rakyat itu punya andil besar. Sebanyak 20 kapal kayu berukuran 13 x 2,5 meter bermesin tempel digunakan untuk pendaratan pasukan tahun 1962.

“Kapal-kapal itu dipesan pada ayah saya. Ketika itu, sebanyak 20 kapal harus selesai dalam 20 hari. Kapal-kapal itu dibuat di pantai Mandalaria. Setelah kapal-kapal itu mendarat di Irian Barat, kapal pun dibuang saja,”kenang H Muslim Baso, Direktur CV Mutiara Murni, yang kala itu masih kanak-kanak.

Kapal-kapal buatan orang-orang Tanah Ara, kira-kira 10 kilometer dari Tanah Beru, itu memang dipesan banyak pihak. Dari dalam negeri, pemesan kapal-kapal kayu itu bukan hanya dari Sulawesi Selatan, tetapi juga dari Maluku, Jawa, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Sementara dari mancanegara, pemesan datang dari Jepang, Perancis, dan Spanyol. Bila pemesan domestik umumnya untuk usaha perikanan atau transportasi orang dan barang, pemesan dari luar negeri lebih untuk kegiatan riset atau keilmuan dan wisata.

Tentu saja para pembuat kapal kayu itu bisa membuat kapal sesuai selera permintaan pemesan, misalnya dilengkapi dengan kamar-kamar untuk (kapal) pesiar. Setidaknya ada tiga tipe kapal yang dihasilkan tangan-tangan terampil dari kampung Tanah Ara itu. Kapal tipe kecil biasanya berukuran di bawah 30 ton. Kapal tipe ini biasanya digunakan para nelayan. Lalu kapal tipe sedang berkapasitas 30-100 ton, yang umumnya digunakan sebagai alat transportasi antarpulau.

Foto: Subhan SD

Kemudian kapal tipe besar berkapasitas di atas 100 ton. Kapal ini umumnya untuk angkutan barang (kargo). Kapal tipe besar yang pernah dibuat di Tanah Beru rata-rata berkapasitas sekitar 400-450 ton. “Tidak bisa yang lebih besar lagi karena kami kesulitan untuk mencari lahan pembuatan dan peluncurannya ke laut,” tutur Muslim.

Harga kapal pun bervariasi, tergantung ukuran, bahan, dan desain interior maupun eksterior. Tetapi, rata-rata kapal kecil menghabiskan biaya sekitar belasan juta rupiah. Misalnya, kapal kecil dengan panjang 15 meter, lebar 3 meter, dan tinggi 90 cm, biasanya dijual sekitar Rp 12,5 juta. Angka itu merupakan harga lama sebelum kenaikan harga BBM. Sekarang ini otomatis harganya naik, rata-rata 30-40 persen.

Apabila kapal yang dikerjakan besar dan lengkap tentu harganya lebih mahal lagi. Menurut H Muslim Baso, pihaknya pernah membuat kapal pesiar pesanan orang Perancis senilai lebih Rp 1 miliar. Kapal itu mempunyai panjang 35 meter, lebar 9 meter, dan tinggi 4 meter. “Karena kapal itu dilengkapi dengan kamar-kamar yang dikerjakan selama lebih setahun oleh 10 orang tenaga,” paparnya.

Biasanya, para pemilik usaha itu meminta uang panjar yang besarnya sekitar 35-40 persen dari harga kapal yang disepakati.Dari sekitar 40-an pengusaha (10 di antaranya terbilang besar) rata-rata mengandalkan modal sendiri. Sebetulnya para pengusaha senang mendapatkan suntikan modal, tetapi mereka tak ingin adanya ketergantungan. Mereka lebih senang bila ada pemodal yang ingin bermitra atau bekerja sama.

Pesanan berkurang

Aktivitas ekonomi di Tanah Beru bertahun-tahun bertahan seiring tangguhnya kapal-kapal kayu itu bertahan di tengah hantaman gelombang laut. Kapal-kapal kayu itu seakan bisa mengikuti irama gelombang meski yang keras sekalipun.

Pasak kayu, sebagaimana teknik pembuatan perahu tradisional, selama ini terbukti menjadi perekat yang kuat di antara bagian-bagian kapal, seperti papan-papan pada perut kapal dengan tulang rangka, atau bagian lunas kapal. Pasak justru tidak menimbulkan karat seperti paku yang justru membuat cepatnya terjadi korosi.

foto: Subhan SD

“Pasak malah semakin kuat bila sudah di air,” ujar Mulyadi, salah satu pemimpin pembuat kapal yang telah menekuni pekerjaan itu selama 30 tahun.
Kalau bertahun-tahun lampau kapal kayu mampu bertahan di laut, kini kapal-kapal kayu itu tampaknya harus membuktikan mampu bertahan di tengah gelombang derasnya perubahan zaman, terutama sejak keadaan ekonomi yang terus gonjang-ganjing pada tahun-tahun belakangan ini.

Kapal-kapal kayu tradisional itu sekarang ini seakan tersaingi oleh kapal-kapal modern yang terbuat dari bahan logam. Faktanya, pesanan kapal-kapal kayu saat ini terbilang seret, terutama sejak tiga tahun silam.

Menurut Idris, seorang pembuat kapal, pesanan pembuatan perahu sekarang boleh dikata sepi. Berbeda dengan beberapa tahun silam saat pesanan terus membanjiri kawasan sentra pembuatan kapal itu. Pesanan baru mulai diterima lagi oleh para pemilik atau pekerja sekitar triwulan II 2005. “Saya saja baru mendapat order membuat satu perahu. Padahal, di tahun-tahun lalu kami hampir tak berhenti bekerja,” ungkapnya.

Kelesuan itu diakui Muslim Baso. Menurut dia, dalam tiga tahun terakhir ini merupakan titik terendah pemesanan kapal. Tetapi, dia merasakan tahun 2005 adalah tahun yang paling sulit. Baru pada bulan keempat dia menerima satu pesanan kapal. “Berbeda dengan dulu. Kalau dulu, sampai-sampai kami menolak pesanan karena begitutak tertangani. Apalagi kalau pemesan minta cepat, sudah pasti kami tolak. Namun, sekarang ini sulit sekali, hanya baru ada yang mau menawar-nawar harga tetapi belum jadi,” ujar Muslim.

Kapal buatan Tanah Beru (Foto: Subhan SD)

Menurut Mulyadi, sejumlah tukang perahu yang tak tahan menunggu sepinya pesanan di Tanah Beru akhirnya pergi ke daerah lain. “Ada seratusan tukang perahu beramai-ramai pergi ke Merauke untuk membuat perahu di sana. Ada juga yang pergi ke daerah lain,” ujarnya.

Para pemilik usaha itu semakin terjepit karena faktor lainnya. Misalnya, soal pasokan bahan baku seperti kayu besi, jati, kandole, meranti, dan biti yang didatangkan dari Sultra, Papua, dan Maluku tidak sebanyak pada masa lalu. Runyamnya, sudah sulit, harganya pun naik, terlebih lagi sejak kenaikan harga-harga.

Kompas, Jumat 20 Januari 2006