subhan.esde@yahoo.com

Citra Makassar dan Kultur Kekerasan

Benteng Rotterdam Makassar (Foto: Subhan SD)

Tak khawatir tinggal di Makassar?” Begitu pertanyaan seorang kerabat di Jakarta. Dalam kacamata orang luar, Makassar adalah potret kekerasan, mulai kriminalitas, tawuran massal mahasiswa, hingga aksi unjuk rasa yang berujung bentrok.

Apa daya “Kota Anging Mammiri” telanjur terstigma sebagai “kota terpanas” di negeri ini. Sedikit-sedikit terjadi bentrokan. Setiap aksi mahasiswa selalu berujung ricuh, selain tawuran antarfakultas. Demo warga juga berakhir kisruh, termasuk isu yang menjurus suku, ras, agama, dan antargolongan yang berkembang cepat awal Mei lalu.

Makassar ibarat menyimpan magma yang setiap saat siap membuncah dari perut bumi menjadi lahar panas. Setiap kali ada aksi unjuk rasa mahasiswa hampir bisa dipastikan berujung ricuh atau bentrok. Bukan saja dengan aparat kepolisian yang saat ini justru lebih menahan diri, tetapi juga dengan masyarakat sendiri.

Bagian dari aksi

Sikap reaktif dan keras setiap menanggapi problem masyarakat bagi aktivis mahasiswa merupakan bagian dari aksi mereka. “Setiap kampus mempunyai tipologi masing-masing, termasuk ada yang fokus parlemen jalanan. Kalau demo, tidak pas kalau tidak bakar ban atau kalau tak bentrok. Memang semangat teman-teman itu luar biasa. Kadang-kadang saya juga terheran-heran,” ujar Saiful Islam, Koordinator Aksi Kesatuan Mahasiswa Alauddin.

Tak hanya mahasiswa, aksi warga pun kerap memicu bentrok. Kasus sengketa tanah berulang kali melahirkan bentrok antarwarga. Penggusuran oleh aparat Pemerintah Kota Makassar juga sering berakhir ricuh.

Tak ayal, citra Kota Makassar yang “negatif” itu membuat pemerintah daerah kalang kabut. Bayangkan saja, ketika Wali Kota Ilham Arief Siradjuddin sedang getol mengampanyekan Makassar dengan moto “Great Expectation”, di saat yang sama kekerasan marak di kota berpenduduk sekitar 1,2 juta orang itu. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga tak bisa menutupi kegusarannya setiap ada “kabar negatif” dari kota asalnya itu. Terlebih lagi rumah pribadi Jusuf Kalla di Jalan Haji Bau, dekat Pantai Losari, tak luput dari target para pendemo sehingga satu jalur jalan itu diblokade kawat berduri hingga sekarang.

Kultur reaktif itu, menurut antropolog Prof Abu Hamid, merupakan identitas orang-orang Sulawesi Selatan (Sulsel). “Masyarakat Sulsel itu dinamis. Saking dinamisnya sampai tidak rasional. Kalau ada aturan baru ditanggapi dulu secara emosional, baru kemudian dipikirkan. Emosi selalu di kedepankan, apalagi bila ada dendam, langsung bergolak terus. Dari dulu kulturnya memang begitu. Sikap seperti itu sebetulnya merusak,” kata Abu Hamid yang kini Rektor Universitas 45 Makassar.

Foto: Subhan SD

Melihat bentuk-bentuk perlawanan itu tak bisa dinafikan kuatnya bentuk penonjolan diri. “Meski tidak merata, memang mentalitasnya selalu ingin muncul, menonjolkan diri. Itu bagian dari performance. Ada pepatah orang Bugis-Makassar yang merantau, yaitu ‘lebih baik menjadi kepala semut daripada jadi ekor gajah’. Mereka memang tidak mau di belakang,” ujarnya.

Seperti diakui Abu Hamid, watak reaktif, emosional, tempramental, dan keras itu tak lepas pula dari pemahaman orang Sulsel mengenai konsep martabat dan harga diri, yaitu siri’ dan pacce/pesse. Dalam bahasa Shelly Errington, antropolog Amerika Serikat yang pernah meneliti di Luwu, bagi orang Bugis tak ada yang lebih tinggi selain menjaga siri’-nya. Bagi mereka, meninggal karena siri’ adalah mati untuk sesuatu yang berguna (mate ri gollai, mate ri santangi, mati diberi gula dan santan).

Namun, konsep siri’ itu sendiri telah mengalami pergeseran akibat culture lag. Prof Dr AZ Abidin Farid dalam artikelnya di buku Siri’ dan Pesse’ (2003) mengatakan, siri’ telah mengalami pergeseran sejak masuknya hukum-hukum Belanda, Jepang, kekejaman Westerling, hingga gonjang-ganjing masa Orde Lama sehingga siri’ lepas kendali tanpa aturan main.

Kegagalan transformasi

Sesungguhnya reaksi dan pemahaman terhadap konsep-konsep itu, kata ahli budaya Universitas Hassanudin Alwi Rachman, merupakan ketidakmampuan masyarakat saat ini dalam mentransformasikan nilai- nilai lama ke dalam norma dan perilaku sekarang dan masa depan. “Karena kita salah membaca siri’ dan pacce. Nilai-nilai lama itu tidak dilihat sebagai energi yang menjadi kekuatan masa depan,” kata Alwi.

Demonstrasi di DPRD Sulsel (Foto: Subhan SD)

Ada bangsa-bangsa yang mampu mentransformasi konsep-konsep tradisional menjadi kekuatan modern. “Lihat Jepang, dalam budaya samurai mereka selalu ada dua pedang, yaitu yang panjang diarahkan untuk orang lain dan yang pendek untuk dirinya sendiri, namanya harakiri. Tetapi, kalau kita punya dua badik, jangan-jangan semuanya diarahkan untuk orang lain,” kata Alwi.

Tak keliru bila Abu Hamid menegaskan pentingnya revitalisasi dan reinterpretasi siri’ dan pacce, sebagaimana pula pernah dilontarkan ahli budaya (Alm) Prof Mattulada . Karena, ternyata nilai-nilai itu tidak melulu mengandung kekerasan.

Baik Alwi Rachman maupun Abu Hamid mengakui, kegagalan pemahaman nilai-nilai kebudayaan itu karena gagalnya sistem pendidikan. Sayang, kata Abu Hamid, pendidikan di Sulsel jauh dari harapan, sangat timpang dibandingkan di Jawa. “Padahal pendidikanlah yang bisa mengubah (watak) supaya rasional. Coba lihat orang Sulsel yang telah berpendidikan, moralnya sudah lain,” katanya.


Kompas, Selasa 13 Juni 200
6