subhan.esde@yahoo.com

Haro, Kearifan Seorang Tarzan dari Maros

Memberi makan kera (Foto: Subhan SD)

HARO cuma tersenyum ketika dijuluki “Tarzan dari Maros” atau Ambo’na ceba yang dalam bahasa Bugis berarti “bapak kera”. Ia mampu bergaul dengan kera-kera hitam sulawesi (Maccaca maura), bahkan ikut memikirkan cara melestarikannya dengan merogoh koceknya sendiri.

HARO adalah seorang polisi hutan atau jagawana di Cagar Alam Karaenta, Kecamatan Cenrana, Kabupatan Maros, Sulawesi Selatan, sekitar 70 kilometer dari Makassar. Di wilayah Sulsel, dialah satu- satunya jagawana yang punya keahlian itu. Meski tidak bercawat seperti Johnny Weissmuller dalam lakon Tarzan the Ape Man (1932), siulannya juga bisa mendatangkan kera-kera hitam dalam sekejap. “Dulu setiap saya naik motor atau petepete (angkot), kera-kera itu mengejar saya,” katanya.

Setiap masuk hutan dia selalu membawa jagung atau pisang untuk kera-kera tersebut, yang begitu mendengar panggilannya langsung berdatangan. Namun, Haro menjaga jarak. “Saya khawatir kalau sudah terbiasa dengan tangan manusia, kera- kera liar itu mudah ditangkap dengan cara diberi umpan saja,” katanya.


KEGIATAN rutin Haro itu tidak ada di dalam job description dari tempat kerjanya, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah Sulsel I, yang tak punya anggaran khusus untuk jatah kera- kera itu. Untuk sekali makan, dia membeli lima liter jagung senilai Rp 7.000.

Dengan gajinya sebagai pegawai negeri golongan IIA sekitar Rp 700.000 (bersih) per bulan, ia tidak mampu memberi mereka makan setiap hari. “Sekarang ini paling-paling dua kali dalam seminggu memberi makan,” katanya.

Gaji itu gantungan hidup sekeluarga. Istrinya, Rustiyah, yang membuka warung di depan rumah. Irnawati (20), anak pertamanya, kini kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Maccopa, Maros. Untuk ongkos transpor kuliah, dia harus mengeluarkan Rp 8.000 per hari, belum lagi uang kuliah yang ratusan ribu rupiah. Hendra (18), anak kedua, tidak melanjutkan sekolah setelah tamat SLTA tahun ini karena tidak ada biaya. Si bungsu Yusnidar (13) Kelas II SLTP.

Perkenalan lelaki yang hanya tamat SD Kappang, Maros, tahun 1967 ini dengan kera-kera tersebut bermula dari kedatangan sejumlah peneliti asal Jepang. Sebut saja Dr Kunio Watanabe dari Universitas Kyoto (tahun 1980-an), lalu muridnya, yaitu Suichi Matsumura (1992).

Ada juga Osamo Takenaka dan Okamoto serta sejumlah peneliti Indonesia sendiri dan peneliti asing lainnya. Ada yang meneliti sampel darah, perilaku makan dan jenis makanan, atau sampel kotoran. Haro-lah yang menemani para peneliti itu berhari-hari.
“Untuk memanggil kera-kera hitam itu, Doktor Watanabe yang mengajarkan memberi umpan setiap hari. Kadang diberi jagung, kadang pisang,” kata lelaki yang tinggal di Kampung Kappang, Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Maros, persis di pinggir cagar alam itu.

Setelah mengamati berbulan-bulan, akhirnya diperoleh kesimpulan lanjutan bahwa di areal 1.000 hektar (ha) Cagar Alam Karaenta, ada sekitar 40 kelompok kera hitam. Masing-masing kelompok terdiri 30-40 kera. Artinya, ada sekitar 1.200-1.600 kera di cagar alam itu. Luas areal jelajah satu kelompok sekitar 25 ha dengan jelajah harian sampai 1,5 km. “Sifat kera itu tidak boleh melewati wilayah kelompok lainnya. Kalau ada kera yang melintasi batas, akan terjadi baku bunuh,” kata Haro.

“Dari para peneliti yang melakukan penelitian kera-kera di sini sudah ada yang menjadi doktor,” kata Haro. Dia boleh bangga karena penelitian itu menjadi sumbangan tak ternilai bagi dunia pendidikan. Watanabe bersama Brotoisworo menerbitkan Field Observation of Sulawesi Macaques (1982), Takenaka bersama Brotoisworo menerbitkan Preliminary Report on Sulawesi Macaques-Their Distribution an Inter-Spesific Differences (1985), Matsumura menghasilkan A Preliminery Report on The Ecology and Social Behaviour of Moor Macaques (Macaca Maurus) in Sulawesi, Indonesia (1991).


SAAT ini boleh dikata dia nyaris sendirian mengawasi Cagar Alam Karaenta yang luasnya 1.000 ha. Tiga temannya jarang terlihat karena tinggal jauh dari kawasan cagar alam. Padahal, ancaman dan risiko pekerjaannya tidaklah kecil. “Musim kemarau ini yang paling menakutkan adalah kebakaran hutan. Biasanya para pengendara banyak membuang puntung rokok di pinggir jalan,” katanya. Maklum, cagar alam itu dilewati jalur utama Makassar-Bone.

Jika terjadi kebakaran, Haro pontang- panting. Kalau apinya kecil, dia padamkan sendirian. Akan tetapi, bila api membesar, dia minta bantuan penduduk kampungnya.
“Di sini kan susah air, saya matikan saja dengan memukul-mukulkan tangkai pohon,” ujarnya. Sayangnya lagi, pos-pos (pondok) jaga nyaris tidak ada. Kalaupun ada sudah rusak.

Meski ada kendala, Haro tak menyerah. Setiap hari dia tetap mengawasi hutan cagar alam itu. “Bahkan, dulu saya sering masuk kampung berhari-hari untuk menyadarkan masyarakat agar tidak melakukan penebangan hutan,” katanya.

Haro sudah bergelut dengan masalah perhutanan sejak bergabung dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Maros tahun 1972 sebagai tenaga honorer bergaji Rp 12.500. Tatkala Cagar Alam Karaenta ditetapkan pada 15 Oktober 1976 (berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 647/Kpts/10/Um/19976), dia ikut mengukur areal itu bersama tim planologi Departemen Pertanian (kini menjadi Balai Inventarisasi Perpetaan Hutan Departemen Kehutanan).

Tahun 1978 dia pindah ke Perlindungan Pelestarian Alam (PPA) dan selanjutnya ditempatkan di Karaenta. Ia baru diangkat sebagai pegawai tetap tahun 1986, setelah mengabdi selama 14 tahun.

Atas kerja keras yang tidak pernah memikirkan pamrih tersebut, pantaslah bila Haro mendapatkan beberapa penghargaan, yaitu Wana Lestari Satya Nugraha dari Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nur Mahmudi Ismail (3 Maret 2000), sebagai aktivis lingkungan teladan dari Bupati Maros Nadjamuddin Aminullah (1 Februari 2001), dan Satya Lancana Karya Satya 10 tahun dari Presiden Abdurrahman Wahid (19 Juli 2001) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 064/TK/2001. Piagam-piagam tersebut kini terpajang di ruang tamu rumahnya yang sederhana, dan sebagian tampak kusam.

Kompas, Jumat 8 Oktober 2004