subhan.esde@yahoo.com

Tanjung Bira, Keindahan yang Belum Digarap

Pasir Tanjung Bira (Foto: Subhan SD)

Dibandingkan dengan banyak pantai di sejumlah pulau di Tanah Air, pasir putih di Tanjung Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan, sungguh unik: sangat halus dan lembut laksana tepung. Sayangnya, kehalusan pasir itu seolah-olah ternoda dan belum dimanfaatkan serius karena pantai itu kurang terawat.

Di pantai, butir-butir halus pasir selalu diselingi dengan sampah yang berserakan, baik sampah plastik bekas makanan ringan yang tercecer di mana-mana atau sampah berupa kayu-kayu bekas yang terdampar ke tepi pantai. “Coba lihat di sepanjang pantai, sampah terlihat di mana-mana. Ada bekas bungkusan makanan kecil, tutup botol, balok kayu. Kenapa tidak dibersihkan? Ini akan mengganggu kalau kita duduk-duduk di pantai,” kata Burhanuddin, pengunjung asal Makassar.

Runyamnya lagi, sedikit sekali tempat sampah. Bahkan, hampir semua tempat sampah terisi penuh sehingga meluber dan berceceran di sekitarnya. “Sampah-sampah yang berserakan di pantai itu merupakan sampah musiman yang terbawa ombak, terutama sepanjang Desember-Juni. Tetapi, petugas kami tetap mengangkatinya. Kami berusaha menjaga kawasan itu tetap bersih,” kata Kepala Sub Dinas Pariwisata Dinas Perindustrian, Pariwisata, Seni dan Budaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bulukumba H Muh Arifin Tato. “Biasanya ada petugas yang memunguti sampah, tetapi tidak rutin,” kata Alam, salah satu staf sebuah hotel.

Kondisi seperti itu boleh jadi membuat pengunjung kurang berminat, setidaknya untuk berlama-lama di Bira. Apalagi, sejak bom Bali Oktober 2002 silam, kunjungan turis anjlok. “Sejak bom Bali, Bira sepi. Kunjungan turis berkurang,” ujar Alam.

Sekarang ini praktis hanya akhir pekan saja, Bira lebih banyak dikunjungi wisatawan lokal, terutama dari Makassar dan kota-kota lainnya di Sulawesi Selatan (Sulsel). Memang masih terlihat turis asing, tetapi tidak sebanyak empat-lima tahun silam. Tetapi, rasanya, sejak bom Bali yang meledak 1 Oktober lalu, jangan-jangan turis asing makin enggan singgah.

Sejak dibuka untuk umum tahun 1995, rata-rata pengunjung ke Bira 70.000 orang per tahun, sedangkan turis asing 1.500 orang. Dengan karcis Rp 2.500 (turis domestik) dan Rp 5.000 (turis asing), Bira memberikan kontribusi yang berarti untuk pendapatan asli daerah (PAD) Bulukumba. Tahun ini saja sekitar Rp 153 juta.

Sepotong senja (Foto: Subhan SD)

Selembut tepung

Perjalanan ke Bira dari Makassar sejauh kira-kira 195 kilometer membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam dengan kondisi jalan tidak semuanya mulus. Perjalanan ke arah tenggara itu akan menyusuri jalan-jalan di Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan Bulukumba. Dari Kota Bulukumba, jaraknya sekitar 42 kilometer.

Daya tarik Pantai Bira adalah pasir yang halus dan lembut, seperti tepung. Pasir itu merupakan kikisan karang di tebing-tebing atau dasar laut yang dihantam arus dan gelombang sepanjang waktu. Boleh jadi karena halusnya, tak jarang pengunjung mengambil untuk dibawa pulang menggunakan plastik.

“Beda dengan Bali atau Lombok, pasir di Bira lain. Sangat halus. Kalau dipegang, lembut sekali. Kayaknya tidak ditemukan di tempat lain,” kata HM Darwis, pemilik hotel di Bira.
Pasir halus itu membentang cukup luas, kira-kira sepanjang hampir tiga kilometer dan lebar 50-an meter, di antaranya 30 meter terhampar di pantai dan 20 meter terendam di laut. Sepanjang mata memandang, warna putih tampak dominan. Di hamparan pasir halus itu, turis asing berjemur di panas matahari berjam-jam.

Bukan hanya berjemur, berenang di Bira boleh dikata paling mengasyikkan. Siapa saja tak khawatir terkoyak karang atau cangkang kerang karena berenang dalam jarak 20 meter hanya pasir halus yang terinjak. Tak mengherankan jika ibu-ibu membiarkan anak-anak mereka berlarian di hamparan pasir bertelanjang kaki atau berenang di laut, apalagi ombak tak besar.

Menurut penduduk setempat, pasir halus itu juga tergantung musim. Pada musim barat antara Oktober-April, pasir melimpah. Tetapi, pada musim angin timur antara April-Oktober, pasir berkurang. “Pada musim timur, pasir seakan lenyap ditarik ke laut. Yang terlihat di pantai lebih banyak karang,” kata Andi Azis, penduduk yang sehari-hari menyewakan speedboat.

Azis terheran-heran, ke manalarinya pasir tersebut? “Saya mencari- cari pasir-pasir itu mungkin nyangkut di karang-karang di bawah laut. Tetapi, begitu saya menyelam, ternyata tidak ada juga. Anehnya begitu musim barat, pasir kembali ke pantai,” ujarnya.

Selain pasir selembut tepung, Bira juga memiliki keunikan lain. Bila berjalan ke arah laut, saat membalikkan tubuh, terlihat dinding karang yang kokoh. Tebing karang itu terlihat terjal, bahkan sampai 90 derajat. Ketinggiannya pun beragam, tiga meter hingga 15 meter. Bahkan, di beberapa bagian, dinding-dinding karang itu menjorok ke lautyang jernih. Di bawah karang-karang ada gua-gua kecil yang di kala terik matahari kerap digunakan berlindung.

Di atas dinding karang itulah muncul hotel atau penginapan. Dari kamar-kamar terlihat panorama laut yang indah sekaligus menikmati embusan angin laut yang menyergap ke dalam kamar. Sore hari, terbenamnya matahari (sunset) menjadi pemandangan yang dinanti-nanti pengunjung. Bahkan, pada waktu-waktu tertentu, misalnya bulan Maret, pengunjung bisa menyaksikan kawanan lumba-lumba berenang di perairan dekat pantai.

Tak terawat

Bira memang ibarat sebuah anugerah bagi Kabupaten Bulukumba atau Provinsi Sulsel. Keunikan pasir Bira rasanya sulit dijumpai di pantai- pantai lain. Ironisnya, Pantai Bira bertahun-tahun pula di bawah bayang-bayang promosi Tana Toraja, andalan provinsi itu.

Bira juga terlihat kurang digarap serius dan optimal. Hotel atau penginapan, restoran, warung-warung, serta penataan alam sepertinya dibiarkan berkembang ala kadarnya. “Pemerintah daerah sepertinya tidak begitu hirau, kurang merawat dan membersihkan. Pokoknya kurang ada perhatian, padahal Bira ini merupakan aset Bulukumba,” ujar Azis.

Namun, menurut Muh Arifin Tato, pemda sebetulnya telah melakukan pembinaan, termasuk terhadap pelaku wisata dalam upaya meningkatkan citra Bira. “Sayangnya, pelaku wisata, hotel atau rumah makan, masih mengelola secara tradisional. Kami juga mengajak studi banding ke Bali agar melihat pengelolaan di sana. Tetapi, masih seperti ini. Mudah-mudahan di tahun-tahun mendatang sumber daya manusia pengelola wisata itu meningkat,” ujar Arifin.

Andai pengelolaan masih seperti sekarang, pengunjung tak pernah bisa menikmati keindahan Bira yang sesungguhnya. Sayang bila pantai yang populer itu dibiarkan kurang terurus.

Kompas, Jumat, 9 Desember 2005