subhan.esde@yahoo.com

Pilkada, Gagalnya Desentralisasi Demokrasi

Sebagai pembelajaran demokrasi, pemilihan kepala daerah secara langsung adalah lompatan jauh di kancah perpolitikan negeri ini. Namun, harus diakui pilkada belum mampu menyemai desentralisasi demokrasi.


Setelah lepas dari sistem sentralistik dan otoriter bertahun- tahun di zaman Orde Baru, sistem demokrasi terus mencari bentuknya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, yang kemudian diikuti pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) seakan menjadi suntikan baru bagi partisipasi politik masyarakat.

Selama tahun 2005 ada 226 daerah yang menyelenggarakan pilkada, terdiri 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota. Dalam rencana awal, perhelatan itu membutuhkan dana sekitar Rp 1,25 triliun, 50 persen jadi beban APBN, dan 50 persen lainnya dibebankan pada APBD.

Di kawasan timur Indonesia, di 10 provinsi digelar 60 pilkada, yakni di Sulawesi Utara (enam daerah termasuk pilkada gubernur), Sulawesi Tengah (empat daerah), Sulawesi Selatan (10 daerah), Sulawesi Barat (dua daerah), Sulawesi Tenggara (lima daerah), Gorontalo (tiga daerah), Maluku (tiga daerah), Maluku Utara (tujuh daerah), Papua (13 daerah), dan Irian Jaya Barat (tujuh daerah).

Patut disambut gembira bahwa secara umum pilkada boleh dikata berlangsung lancar dan kondusif, termasuk di daerah-daerah rawan konflik, seperti Poso, Maluku, dan Papua. Namun, itu tak berarti meniadakan realitas pilkada yang penuh gejolak, saling gugat, dan konflik antarkelompok. Di satu sisi pilkada memberikan rona demokrasi, tetapi di lain sisi juga muncul sejumlah ironi. Polarisasi antarkelompok masyarakat dan merenggangnya hubungan interaksi sosial menjadi salah satu dampak yang tak bisa dikesampingkan.

Contoh yang paling konkret ajang pilkada yang paling runyam dan belum selesai hingga saat ini adalah pilkada Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar). Meski belum menimbulkan konflik fisik yang signifikan, pilkada Gubernur- Wakil Gubenur Irjabar hampir-hampir melahirkan keputusasaan dan jurang pemisah yang makin kronis. Pilkada Irjabar boleh dikata paling banyak menyedot perhatian, tenaga, biaya, termasuk ongkos politiknya.

Sebagaimana di daerah-daerah lain, pada mulanya pilkada di Irjabar dijadwalkan 28 Juni 2005. Namun, karena persoalan politik menyangkut kisruh Provinsi Papua dan Irjabar-terkait payung hukum wilayah pemekaran itu dan alasan teknis menyangkut persiapan yang belum matang-pilkada pun diundur 28 Juli 2005. Lagi-lagi karena kekisruhan antardua provinsi itu, penundaan kembali dilakukan sampai 28 November 2005, menunggu terbentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP).

Janji pilkada itu adalah harapan bagi masyarakat dan elite Irjabar. Namun, sebaliknya jadwal baru pilkada itu seperti todongan senjata bagi Provinsi Papua. Komunikasi yang intens dengan pemerintah pusat di Jakarta serta tekanan-tekanan yang keras-termasuk wacana ancaman referendum mengenai nasib Papua-membuat pemerintah pusat pun terpaksa memutuskan penundaan lagi.

Pemerintah pusat melalui Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla bersama Gubernur Papua, DPR Papua, MRP, dan unsur Muspida Papua pada 25 November 2005 menyepakati penundaan pilkada Irjabar untuk ketiga kalinya. Esok harinya, giliran Wapres Jusuf Kalla bertemu dengan Ketua DPRD Irjabar, Pejabat Gubernur Irjabar, Ketua KPU Irjabar, pansus pilkada, yang mempertegas soal penundaan itu.

Inilah yang membuat kemarahan masyarakat Irjabar sudah sampai di leher. Mereka mempertanyakan, mengapa putusan penundaan itu tidak dibahas bersama antara Papua dan Irjabar. Dalam arti kata, kedua pihak itu “berdiri sama tinggi duduk sama rendah”. Tak ayal lagi, mereka menilai Jakarta (pemerintah pusat) hanya memerhatikan kemauan Papua. “Mereka (Jakarta) hanya memikirkan orang- orang Papua, mereka tidak pernah mengajak dialog orang-orang Irjabar,” teriak ratusan warga saat berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Irjabar di Manokwari, akhir November.

Sebaliknya, pihak Irjabar pun dinilai tidak sungguh-sungguh berjuang. Ketua DPRD Irjabar Jimmy Demianus Ijie yang “diadili” massa menegaskan, “Kalau saya menunjukkan keras kepala dan Jakarta kehilangan muka, lalu siapa yang akan menyelesaikan masalah ini.Saya pun tidak mau mengkhianati perjuangan selama ini, tetapi mari kita cari solusi yang tenang dan sabar.”

Menteri Dalam Negeri yang pernah mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 120.82-1009/2005 tentang Penetapan Pemungutan Suara Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur Irjabar, akhirnya mengeluarkan Kepmen Nomor 120.82-1027/2005 yang mencabut keputusan sebelumnya. Pilkada pun diundur lagi hingga Januari 2006.

Alasannya, pemekaran Irjabar harus dalam konteks otonomi khusus. Berdasarkan UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus dan Peraturan Pemerintah Nomor 54/2004 tentang MRP, maka usulan pembentukan provinsi itu akan disiapkan oleh Gubernur Papua, Ketua DPR Papua, dan Ketua MRP yang dijanjikan paling lambat akhir Desember 2005. Kembali, janji itu menjadi harapan baru bagi warga Irjabar, dan ini sudah merupakan batas waktu (deadline) terakhir.

Tak siap kalah

Kisruh pilkada seperti elegi yang bersenandung di semua daerah yang menyelenggarakan pesta demokrasi lokal itu. Nyaris tak ada satu daerah pun yang sepi konflik. Sekadar mengambil contoh, kisruh pilkada di Kabupaten Gowa dan Pangkep, Sulawesi Selatan, mengakibatkan massa memblokade jalan poros yang vital hingga mengganggu aktivitas pengguna fasilitas publik itu.

Di beberapa kabupaten, seperti Tana Toraja dan Selayar (Sulsel), Mamuju (Sulbar), Muna (Sultra), Kepulauan Aru dan Seram Bagian Timur (Maluku), massa tidak hanya bentrok dengan aparat, tetapi juga bertindak brutal, termasuk menggembok Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah. Di Kota Bitung, pilkada diulang di 12 tempat pemungutan suara karena ada kecurangan ketika orang asing ikut mencoblos.

Keruwetan sebetulnya sudah dimulai sejak pencalonan kandidat yang dinilai cacat hukum atau dugaan penggunaan ijazah palsu, praktik curang, politik uang (money politic), hingga perolehan dan penghitungan suara yang berbeda antara kandidat dan penyelenggarapilkada. Sulsel, misalnya, dari 10 kabupaten yang menyelenggarakan pilkada, sembilan di antaranya mengajukan gugatan ke pengadilan. Bukan hanya itu, tatkala sang kandidat kalah, diusunglah isu pemekaraan wilayah. Jadi ini menyangkut rebutan kekuasaan.

“Itu semua menunjukkan para kandidat dan tim suksesnya tidak siap kalah. Mereka cuma siap menang,” kata sosiolog Universitas Hasanuddin (Unhas) M Darwis, yang juga anggota KPU Sulsel. Sudah menjadi rahasia umum, para peserta pilkada menghalalkan segala cara, tentu dengan sangat rahasia agar tidak termonitor oleh panitia pengawas. Begitu juga konstituennya, bagaimanapun juga memaksakan agar kandidatnya bisa meraih kemenangan.

“Masing-masing calon tidak mampu berpikir sampai pada asas desentralisasi yang otonom yang merupakan tingkat kedewasaan yang tinggi. Maka mereka pun bisa minta ganti rugi atau posisi tawar saat kalah dalam penghitungan suara. Jika tidak, akan ada ancaman-ancaman. Inilah kelemahan dalam sistem demokrasi yang tidak siap kalah,” kata Kautsar Bailusy, pengamat politik dari Unhas.

Menurut pengamatan Darwis, para calon yang bertempur dalam pilkada di Sulsel tak sedikit yang tidak memiliki pengalaman organisasi yang kuat dan mengakar. Artinya, mereka yang tidak punya pengalaman dalam organisasi yang independen tiba-tiba mencalonkan diri. Kalaupun ada yang punya pengalaman berorganisasi, itu pun lebih banyak pada organisasi yang berada di bawah institusi besar.

Dalam organisasi seperti itu, kepemimpinan, gagasan, kreativitas, independensi, pengambilan keputusan, tak bisa jadi ukuran karena umumnya berada di ketiak organisasi besar itu. Padahal dalam organisasi independen itulah para calon pemimpin itu ditempa dan digodok. Ini artinya harapan Mendagri Moh Ma’ruf bahwa pilkada seharusnya menjadi proses seleksi kader-kader pemimpin nasional telah meleset.

Gaya propaganda atau kampanye pada kandidat justru memperlihatkan menguatnya sentimen tradisional yang justru bisa mencoreng asas demokrasi.Rekonstruksi nilai-nilai lokal tidak mengarah pada nilai- nilai demokrasi, melainkan ke dalam sistem etnis. Padahal nilai-nilai lama seperti itu tidak bisa lagi diangkat dalam konteks demokrasi karena memang bukan merupakan elemen yang bisa memperkuat demokrasi.

Unsur kedaerahan

Begitu banyak kasus dijumpai terkait upaya-upaya membangkitkan unsur kedaerahan, keturunan (klan), etnis, atau kelas-kelas sosial di masyarakat. Ada kandidat yang selalu membawa- bawa asal-usulnya, baik sebagai putra daerah ataupun berdarah bangsawan.

Kandidat A, misalnya, mengidentifikasi dirinya sebagai “pewaris” penguasa daerah itu di zaman silam. Kandidat B selalu berkampanye bahwa putra daerahlah yang memahami persoalan di daerah itu. Kandidat C bilang, kita sama-sama satu suku, ini kesempatan untuk memajukan suku kita, jadi jangan pilih suku lain!

Jelas hal itu bukan cara berdemokrasi. Sebaliknya malah membentuk pola pikir yang tidak rasional dan sempit. Cara-cara seperti itu justru mengingatkan paradigma di masa tribalisme. “Demokrasi adalah kemampuan dan kematangan rasional untuk memilih calon- calon yang memiliki kapabilitas, kapasitas, popularitas,” ujar Kautsar.

Kekisruhan pilkada juga tercoreng karena KPU daerah sering menjadi bagian dalam lingkaran setan itu. Akibat tekanan-tekanan, baik yang dilakukan kandidat, pimpinan organisasi/partai politik, tokoh, juga masyarakat, membuat KPU daerah tak netral, tak mandiri, dan tidak tegas.

Menurut Kautsar, melihat tahap demi tahap, paling tinggi ukuran demokrasi pilkada hanya sekitar 30 persen. Karena, sebagian besar terjadi kecurangan dan manipulasi, termasuk dilakukan oleh KPU daerah sendiri. Benar juga yang dikatakan Darwis, pilkada baru sebatas pembajakan demokrasi.

Lantas di mana ruang bagi publik dalam pilkada selain saat dimobilisasi pemungutan suara dan eforia dalam kampanye? Bagi Kautsar, pilkada malah membuka peluang rakyat dijadikan tameng yang bisa melindungi atau mendukung calon tertentu. Posisi publik lebih berorientasi pada kelompok kepentingan parsial. Dalam waktu bersamaan, rakyat juga bisa dijadikan domba yang siap diadu dengan kelompok-kelompok lain. Sangat ironis!

Target memilih seorang kepala daerah memang telah terpenuhi dalam pilkada, tetapi pilkada justru menjadi mainan dan kepentingan bagi segelintir elite. Yang terjadi justru demokrasi oligarki, yang dilakukan pejabat birokrasi lokal, pemimpin parpol/ormas, atau pengusaha yang umumnya menjadi peserta pilkada. Desentralisasi demokrasi yang dicita-citakan bisa memberikan ruang luas bagi publik di daerah-daerah, malah tidak terjadi.

Kompas, Selasa 20 Desember 2005

Tags: