subhan.esde@yahoo.com

Demokratisasi: Menakar Pertarungan Politik di Pilkada Sulsel

Kendati dijadwalkan November 2007, namun pemilihan kepala daerah Sulawesi Selatan sudah menghangat. Pertarungan bakal kandidat makin seru. Tak terelakkan, pertarungan politik yang dibumbui sentimen kepentingan, ideologi, dan etnik menjadi aroma yang menyengat.


Saat ini figur calon Gubernur-Wakil Gubernur Sulsel 2008-2013 tengah disorot. Beberapa nama sudah beredar. Dua tokoh yang paling santer adalah Amin Syam (Gubernur saat ini) dan Syahrul Yasin Limpo (Wakil Gubernur). Dua tokoh yang berpasangan memimpin Sulsel selama 2003-2008 ini dipastikan tak sebiduk lagi dalam pilkada tahun depan.

Nama lain yang melambung, adalah tokoh Sulsel yang berkiprah di panggung nasional, seperti anggota DPD Abdul Aziz Qahar Mudzakkar, Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud, anggota DPR semisal Tamsil Linrung (PKS) dan Fachri Andi Leluasa (Partai Golkar), Ketua PPDK Prof Dr Ryaas Rasyid, Kepala Badan Litbang Depdiknas Prof Dr Mansyur Ramli, dan sejumlah tokoh lainnya.

Di Sulsel, hanya Partai Golkar yang bisa mencalonkan kandidat secara tunggal. Dengan 33 kursi di DPRD Sulsel, Golkar melampaui 15 persen sebagaimana UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Partai lain berkoalisi karena jumlah kursi yang kurang, yaitu PPDK dengan 8 kursi, PAN (8), PKS (8), PPP (7), PDI-P (6), dan lima partai, yaitu PBR, Merdeka, Demokrat, PDS, dan PBB, yang masing- masing mendapatkan satu kursi.

Gerakan politik

Sejak awal tahun ini tokoh-tokoh itu tampak melakukan gerakan meretas jalan pilkada. Misalnya, Amin Syam dan Syahrul Yasin Limpo, paling banyak disorot. Berulang kali Amin melakukan kunjungan ke daerah- daerah atau intens dalam program “kampanye” antisipasi flu burung. Syahrul meluncurkan buku dengan mengundang tokoh nasional atau tampil di radio.Aziz Qahar, Tamsil Linrung, dan Aksa Mahmud berulang kali berkunjung ke konstituennya di Sulsel.

Namun, gerakan itu, bila diukur dalam bingkai pilkada, tidak bisa dikatakan salah. Siapa saja yang berhasrat menjadi calon tidak dilarang berpromosi, selama belum masuk dalam tahapan pilkada.

“Itu justru lebih baik karena ketika nanti pilkada, masyarakat sudah tahu siapa calon yang bakal dipilihnya,” kata Ketua KPU Provinsi Sulsel Aidir Amin Daud. Barangkali satu-satunya yang bisa dijadikan parameter adalah hati nurani, apakah langkah itu memanfaatkan fasilitas negara atau tidak?

Fenomena Amin dan Syahrul memang cukup menarik, terlebih keduanya sama-sama dari Partai Golkar. Namun, tidak mungkin bagi Golkar memilih keduanya bila sama-sama maju sebagai calon gubernur. Sepertinya kans Amin yang pensiunan jenderal bintang dua itu cukup besar, terlebih saat ini ia menjabat Ketua DPD Partai Golkar Sulsel. Sementara Syahrul adalah Ketua Kosgoro 1957 Sulsel. Namun, konvensilah yang akan menentukan hal itu. Tak mustahil restu Ketua Umum Partai Golkar HM Jusuf Kalla pun agaknya tak lepas dari seberapa besar andil mereka dalam pencalonan Jusuf Kalla dalam pemilihan pilpres-pilwapres silam.

Persoalannya, apakah parpol yang merupakan mesin politik itu mampu memberi jaminan mendulang suara? Dalam pilkada, kerja mesin politik tidak selamanya efektif. Dalam beberapa kasus, seperti di Sulut, Sulteng, Irjabar, dan Papua, Golkar justru tumbang. Mesin politik memang bisa menjadi penentu dalam pilkada, tetapi ada faktor lain yang menentukan, yaitu figur, popularitas, atau militansinya tim sukses.

“Ideologi (politik) di Sulsel tidak terlalu mengakar. Tergantung dari siapa calonnya. Kalau dilihat dari 10 kabupaten yang melaksanakan pilkada pada tahun lalu, suara Golkar tidak mencapai 50 persen. Padahal dalam pemilu legislatif 2004, Golkar mampu mencapai lebih (50 persen). Berarti harusnya mereka bisa menang besar saat pilkada. Ini artinya mereka bukan pemilih ideologi partai,” ujar Kausar Bailusy, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Makassar.

Ideologi

Berdasarkan pemetaan politik, bagaimanapun juga pilkada bisa menjadi pertarungan ideologi. Dalam beberapa tahun ini, kelompok Islam cukup menguat, terutama dalam mengusung pemberlakuan syariat Islam di Sulsel. Warna Islam sepertinya berupaya mencari peran yang dominan dalam pentas pilkada. Aziz Qahar, Tamsil Linrung, Aksa Mahmud, Mansyur Ramli disebut-sebut dalam lingkaran ini. Hanya saja, tidak mudahnya terjadi koalisi partai-partai yang berbasis massa Islam karena masing-masing memiliki calon tersendiri.

Karena itulah, Kausar Bailusy meragukan kuatnya faksi Islam dalam menentukan hasil pilkada. Katanya, Ideologi bersifat agama cenderung menurun. “Kalau memang agama menjadi ideologi, semestinya di zaman Soeharto, PPP-lah yang harusnya menang di Sulsel. Namun, ini tidak terjadi. Malah Golkar yang menang. Ini menandakan di Sulsel bukan ideologi agama ataupun politik, tetapi kepentingan dan ekonomi yang menentukan,” ujar Kausar.

Dalam pilkada, ideologi agama bisa jadi terkalahkan dengan persaingan etnik. Pengalaman pilkada lalu, sentimen lokal dan unsur-unsur primordial menjadi salah satu peluru banyak kandidat. Sulsel ditopang oleh empat etnik besar, yaitu Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Namun,sejak Sulawesi Barat berdiri tahun 2004, orang Mandar pun pulang kampung. Juli lalu, mereka menggelar pilkada. Orang Toraja agaknya kurang tertarik berlaga di tingkat provinsi apabila tak ingin disebut kurang mendapat porsi. Alhasil pertarungan diprediksikan terjadi antara Bugis dan Makassar. “Rekonstruksi nilai-nilai lokal yang terjadi pada saat pilkada cenderung menguat,” kata Kausar lebih lanjut.

Dalam peta geografis, kantong-kantong dua etnik tersebut bisa dipilah, meski sesungguhnya pencampuran dua etnik itu terjadi di seluruh kabupaten. Basis tradisional orang Makassar di bagian selatan, terutama Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, serta mungkin pula Selayar, dan juga Maros yang campuran. Adapun wilayah orang Bugis di bagian utara, meliputi Kabupaten Bone, Pangkep, Barru, Sinjai, Wajo, Soppeng, Pinrang, Parepare, juga Bulukumba, serta mungkin pula Enrekang.

Geopolitik

Dalam sejarahnya, sejak peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, lima gubernur yang memimpin Sulsel semuanya bisa dikatakan berasal dari Bugis, yaitu Ahmad Lamo (1966-1978), Andi Oddang (1978-1983), A Amiruddin (1983-1993), ZB Palaguna (1993-1998 dan 1998-2003), dan Amin Syam (2003-2008). Kalau mencermati lagi, ternyata yang dominan berasal dari wilayah Bosowa (Bone-Soppeng-Wajo).

Tak heran pula tren yang mencuat menjelang pilkada adalah pemetaan geopolitik. Selain Bosowa, ada Ajattapareng (Barru, Sidrap, Pinrang, Enrekang, dan Parepare), Selatan-Selatan (Maros, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Sinjai, Makassar, Pangkep), dan Luwu Raya (Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Tanatoraja, Palopo).

Kalau agama menjadi ideologi, semestinya di zaman Soeharto, PPP-lah yang harusnya menang di Sulsel.

Kausar Bailusy

Bosowa dan Ajattapareng dikenal sebagai basis orang Bugis. Tak ayal lagi tantangan kuat diperkirakan muncul dari aliansi Selatan- Selatan. Dengan perkiraan naik 2 persen, pemilih di Sulsel tahun 2007 diprediksi 5.101.780 orang. Di Selatan-Selatan ada 2.644.216 pemilih, di Bosowa 892.133 orang, Ajattapareng 686.410 pemilih, dan Luwu Raya 879.021 orang.

“Sebetulnya kalau kita lihat frekuensi dukungan etnis voting pemilih tradisional, wilayah voting masih didominasi Amin Syam. Karena dominasi etnisBugis,” kata Kausar Bailusy seraya menegaskan orang Bugis tersebar di semua wilayah di Sulsel. Kubu Selatan-Selatan juga bisa pecah. Menurut Kausar, 7 kecamatan (pegunungan) di Gowa rasanya tak akan memilih Syahrul. Karena dalam pilkada bupati tahun lalu adik Syahrul, Ichsan Yasin Limpo, mengalahkan Andi Maddusila Idjo, calon dari 7 kecamatan tersebut. Karena itu, pelantikan Maddusila sebagai Wakil Kepala Dinas Sosial dan Linmas Sulsel beberapa waktu lalu dinilai sebagai upaya menghambat jalan Syahrul.

Meskipun nilai-nilai lokal dan primordial ikut menentukan, namun bagi Anwar Ibrahim, pengamat budaya politik Unhas, sebetulnya pertentangan antaretnik tidak terlalu diperbincangkan di tingkat akar rumput. “Di Bosowa tidak akan mendukung satu orang saja, suara-suara akan terbagi. Di Bone ada yang mendukung Syahrul, sebaliknya di Jeneponto ada yang mendukung Amin Syam, keduanya juga punya dukungan dari Luwu dan Toraja,” katanya.

Oleh karena itu, Luwu patut diperhitungkan. Namun, di Luwu juga menguat calon-calon sendiri, seperti Aziz Qahar Mudzakkar dan Fahri Andi Leluasa. Luwu beberapa tahun terakhir ini menguakkan isu provinsi sendiri, Luwu Raya. Ada selentingan bahwa isu provinsi baru bakal menguat ketika Luwu tidak mendapatkan porsi di tingkat provinsi. Dalam konteks itulah, Anwar Ibrahim menegaskan pembagian geopolitik potensial menguak fanatisme wilayah.

Karena itu, pilkada Sulsel mesti dilihat dalam konteks yang lebih luas. Para kandidat dan tim sukses bukan saja menyusun kalkulasi politik yang strategik, antara lain mengawinkan kekuatan partai, ideologi, etnik, atau juga uang, demi merebut kekuasaan yang lima tahun ke depan, tetapi bisakah pilkada menjadi babak baru tersemainya demokrasi lokal di Sulsel. Di sisi lain warga agar tidak terkecoh memilih pemimpin yang bersih, berhati nurani, populis, dan menjadi perekat masyarakat.

Kompas, Jumat 11 Agustus 2006