subhan.esde@yahoo.com

Waspadai Daya Tarik Korupsi

Di Kongo (Zaire) ketika dipimpin diktator Mobutu Sese Seko (1965- 1997), praktik korupsi benar-benar masif dan berkelindan dengan birokrasi. Para pegawai rendahan dan penduduk dibiarkan berkorupsi kecil-kecilan agar terhindar dari mati kelaparan. Korupsi yang merajalela dimaknai sebagai tindakan memberikan uang “untuk jajan anak- anak” atau “menambah uang belanja sampai akhir bulan”.

Dalam konteks yang mirip, kita tak ingin pemaknaan keliru itu terjadi di Indonesia. Namun, kasus-kasus korupsi yang setiap saat terbongkar membuat merinding. Kasus terakhir adalah tertangkapnya Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dengan barang bukti cek Rp 3,2 miliar serta uang tunai berupa 128.148 dollar AS, 13.070 dollar Australia, 1.955 euro, dan Rp 73,171 juta, yang diduga terkait suap pembangunan Wisma Atlet di Palembang untuk persiapan SEA Games.

Selain Wafid yang tertangkap tangan oleh KPK di kantornya, dua orang juga menjadi tersangka, yaitu Mohammad El Idris dan Mindo Rosalina Manulang. Kasus itu juga menyebut-nyebut politikus Partai Demokrat, yaitu Bendahara Umum M Nazaruddin dan Angelina Sondakh. Kini, semua dugaan itu tengah diurai KPK.

Perselingkuhan korupsi dan politikus memang bukan yang pertama terdengar. Beberapa kasus korupsi umumnya melibatkan politikus yang mengendalikan negeri ini. Sejak reformasi tahun 1998 yang menolak korupsi kolusi dan nepotisme (KKN), korupsi justru malah tumbuh subur. Pelaku korupsi makin meluas, terlebih aparat negara yang seharusnya bertanggung jawab mengelola dan mengamankan uang rakyat. Pejabat pemerintahan (eksekutif), pejabat legislatif (parlemen), bahkan penegak hukum (yudikatif), seperti hakim polisi, kejaksaan, ternyata sangat rapuh.

Meningkat

Dalam dua tahun terakhir ini, kasus-kasus korupsi makin bertambah. Berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch, pada tahun 2009 dan 2010 kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi jumlahnya sama, yaitu 23 kasus, tetapi jumlah uang yang dikorupsi dan jumlah pelakunya bertambah. Tahun 2009 jumlah pelaku korupsi ada 42 tersangka, tetapi tahun 2010 meningkat menjadi 69 tersangka. Tahun 2009 jumlah uang kerugian negara Rp 470,6 miliar, meningkat jadi Rp 619,13 miliar pada 2010.

Pada 2010 ada tiga mantan menteri yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, yaitu Bachtiar Chamsyah (Menteri Sosial 2004-2009), Paskah Suzetta (Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas 2005-2009), dan Hari Sabarno (Menteri Dalam Negeri 2001-2004). Tentu saja yang menyita perhatian adalah 26 anggota DPR 2004-2009 yang dijebloskan ke penjara dalam kasus suap cek perjalanan pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonescejkia tahun 2004 yang dimenangi Miranda S Goeltom. Paskah Suzetta terjerat dalam kasus ini ketika menjadi anggota DPR.

Kasus pegawai pajak golongan IIIA Gayus Tambunan sungguh mencoreng wajah negeri ini dengan arang hitam. Kasus itu membuktikan jaringan korupsi benar-benar kronis karena semua penegak hukum terlibat. Parahnya lagi, ketika menjalani hukuman di tahanan polisi, ia masih bisa memperdaya polisi sehingga bisa bebas menonton pertandingan tenis di Bali dan pergi ke luar negeri. Indonesia yang berpenduduk 235 juta orang itu tak berdaya menghadapi permainan seorang Gayus.

Sesungguhnya negeri apakah yang tengah kita diami ini?  Kita hampir tak bisa mengerti, mengapa korupsi tidak bisa diberantas. Semakin genderang pemberantasan korupsi dipukul, semakin kuat pula perlawanannya. Bukan rahasia umum lagi, KPK yang dikenal sebagai lembaga superbody justru ingin dilumpuhkan. Ingatkah kasus pemenjaraan pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah?

Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disiapkan jelas-jelas terlihat adanya upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Beberapa pasal penting dihilangkan, antara lain hukuman mati dan wewenang KPK.
Cara-cara laten dengan kasus-kasus yang irasional itu semoga tak menjadi pemahaman salah soal korupsi.

Dalam studi David J Gould (1987) di Kongo itu, pemahaman kelompok revisionis soal perilaku koruptif sungguh aneh, yaitu antara lain untuk mendorong perkembangan politik dalam memperkuat partai-partai politik. Inilah yang mesti diwaspadai.
Sesungguhnya pengumpulan kekayaan di satu pihak, ujar Karl Marx, melahirkan penumpukan kesengsaraan dan penderitaan yang mendalam di pihak lain.

Kompas, Senin 16 Mei 2011

Tags: ,