subhan.esde@yahoo.com

Baju Gembel Kampungan yang Modis, Nyentrik, dan “High Class”

Boro, baju orang-orang kampung jadi tren lagi
(Foto: Subhan SD).

Bayangkan baju gembel yang selama ini Anda ketahui? Pasti compang-camping, penuh tambalan, kumal, kusam, bau, dan mungkin menjijikkan. Akan tetapi, buanglah jauh-jauh pikiran dan bayangan Anda itu. Kalau pikiran itu tetap bersemayam di benak Anda, pasti Anda keliru. Sebab, ”baju gembel” di Jepang justru statusnya high class, eksklusif, nyentrik, dan nyeni.

Itulah boro, pakaian asli orang-orang kampung di Jepang yang berubah menjadi pakaian modis dan eksentrik. Tentu saja dibutuhkan kerja kreatif di tangan orang-orang yang memiliki keahlian seni yang artistik, serta kemauan untuk merawat tradisi dari masa lampau itu.

Sebagai karya seni  (Foto: Subhan SD)

Buktikan saja keunikan dan keeksentrikan boro di Museum Amuse di Asakusa, Taito, Tokyo, Jepang, persis di sisi kiri Kuil Asakusa. Boro sesungguhnya adalah pakaian sehari-hari penduduk Jepang, terutama yang tinggal di wilayah utara, seperti Pulau Hokkaido dan bagian utara Pulau Honshu. Di wilayah-wilayah tersebut kondisinya bersalju dan musim dinginnya panjang sehingga suhunya sangat dingin. Karena itu, boro adalah baju hangat yang berfungsi mencegah tusukan dingin suhu udara.

Baju hangat

Pakaian itu ditambal berulang-ulang dengan potongan kain-kain kecil atau semacam kain perca. Karena, di masa lalu, tidak mudah juga menemukan potongan kain yang utuh. Jadi, potongan kain kecil-kecil yang barangkali sisa-sisa kain ternyata ada gunanya. Tambalan akan semakin tebal jika tubuh masih terasa menggigil. Semakin tebal tambalan, baju akan semakin berat. ”Beratnya bisa sampai 15 kilogram,” kata seorang staf museum, beberapa waktu lalu.

Koleksi Chuzaburo Tanaka, etnolog dan penulis (Foto: Subhan SD)

Lewat proses kreatif dan inovatif, boro yang semula pakaian sehari-hari, yang digunakan dari generasi ke generasi, sekarang berubah drastis menjadi produk canggih dan artistik. Dari ruang lingkup lokal meluas ke lingkup global. Dari properti rumahan kini menjadi produk desain seni tekstil yang artistik. Statusnya pun meningkat luar biasa menjadi high class dengan cita rasa tinggi. Apalagi sejumlah pesohor, seniman, perancang busana, kolektor menghidupkan kembali boro menjadi tren gaya hidup.

Koleksi Tanaka

Kelanggengan pakaian tradisional itu seakan menghidupkan kembali zaman Edo (1603-1868). Pakaian itu sampai menjadi mode pakaian eksentrik saat ini tak lepas dari peran Chuzaburo Tanaka, seorang etnolog dan penulis, yang mengoleksi pakaian kampung tersebut. Tanaka yang lahir di wilayah utara Pulau Honshu di Prefektur Aomori pada 1933 memiliki sekitar 30.000 koleksi penting berupa kekayaan budaya, kesenian rakyat, barang antik, dan pakaian. Koleksinya tersebut berkualitas tinggi.

Sepatu dan sarung tangan untuk musim dingin (Foto: Subhan SD).

Hal itu diakui dan dipuji oleh tokoh-tokoh penting, terutama seniman, seperti Akira Kurosawa (1910-1998) dan Shuji Terayama (1935-1983), yang bahkan menggunakan beberapa koleksi Tanaka dalam film atau buku karya mereka.

Museum Amuse menggelar pameran boro untuk pertama kalinya setelah 100 tahun berlalu sejak penggunaan terakhir boro. Boro bukanlah baju limbah, tetapi bermetamorfosa sebagai apa yang disebut keindahan praktis (Yuyo-no-Bi) yang barangkali telah lama terlupakan.

Jika Anda berkunjung ke museum itu, koleksi boro dapat dilihat di lantai 2 dan 3. Jam buka museum antara pukul 10.00 sampai pukul 18.00. Namun, hari Senin, museum itu tutup. Barangkali saja Anda tertarik baju kampung yang high class itu.

Kompas.web, Kamis, 23 Juli 2015, CATATAN DARI JEPANG; Terbit juga di Tribunnews.com, 23 Juli 2015