subhan.esde@yahoo.com

Langkah Merah: Gerakan PKI 1950-1955

“Sesungguhnya buku ini bisa dipakai sebagai bahan untuk mempertebal kewaspadaan nasional dan kearifan sejarah”

Prof Dr Taufik Abdullah

Subhan SD, Langkah Merah: Gerakan PKI 1950-1955, Pengantar Prof Dr Taufik Abdullah, Yogyakarta, Bentang Budaya, cetakan pertama (1996), cetakan kedua (1999), tebal xvi + 130 halaman

Fenomena politik dunia yang endemik sepanjang akhir abad ke-20 adalah perubahan-perubahan sangat drastis dan radikal dalam ideologi komunis. Perubahan itu memberikan indikasi bahwa komunisme yang di awal abad ke-20 begitu mempunyai daya tarik dengan munculnya revolusi proletar tahun 1917 sehingga memunculkan negara Uni Soviet, pada akhirnya berhadapan dengan kondisi di mana ideologi itu tidak mampu mengikuti derasnya zaman. Belum lagi melampaui satu abad, komunisme sudah tertelan zaman.

Masyarakat komunis menyadari bahwa komunisme cenderung tidak membawa ke arah kemajuan, melainkan melahirkan berbagai stagnasi dan degradasi, terutama di sektor ekonomi yang sangat diyakini kaum komunis sebagai point kemenangan mereka. Kekecewaan masyarakat di negara-negara komunis itu terekspresi dalam gelombang  revolusi kolosal yang berlangsung di daratan Eropa Timur. Implikasi utama revolusi itu adalah runtuhnya Tembok Berlin sebagai perlambang konflik ideologi, tumbangnya rezim-rezim komunis yang otoriter seperti Ceausescu dari Rumania atau Honecker dari Jerman Timur, merosotnya citra partai komunis, dan berbagai perubahan sistem dan pola pemerintahan.

Gerakan dekomunisasi itu, bagi kita bangsa Indonesia punya catatan penting. Gerakan itu merupakan bukti kemenangan terhadap kampanye antikomunis yang digelar sejak Orde Baru tampil. Sikap antikomunis itu bisa dimengerti, sebab dalam konteks historis, komunisme telah membuat cacatan khusus yang sangat kelam dalam perjalanan bangsa. Komunisme telah melahirkan trauma politik yang sungguh sukar dilupakan dari memori sejarah. Partai Komunis Indonesia (PKI) telah melakukan, setidaknya dua kali gerakan politik yang dikenal sebagai suatu pemberontakan terhadap RI.

…komunisme dianggap sebagai penyelamat manusia, gerakan yang tertib, sumber perdamaian; tetapi di sisi lain komunisme merupakan suatu kejahatan, suatu kekuatan pemecah-belah, dan merupakan sandiwara perdamaian.

Ketchum dan Brumber, 1971

Pertama, pada saat negara dihadapkan pada berbagai masalah dan kendala pasca-proklamasi kemerdekaan, PKI di bawah pimpinan Muso melakukan gerakan yang dikenal Pemberontakan Madiun (Madiun Affair) tahun 1948. Gerakan Muso yang bertujuan merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno itu, dirasakan sangat menghantam eksistensi RI. Karena, dilakukan ketika RI di tengah ancaman kolonial Belanda yang hendak mencaplok kembali Indonesia. Meskipun dalam situasi yang sangat kritis, pemerintah Soekarno berhasil menumpas gerakan itu. Kekuatan mereka dihancurkan oleh TNI, tokoh-tokohnya ditembak mati, dipenjara, atau menghilang. Meski begitu pemerintah Soekarno tidak memberikan sanksi politik yang berarti terhadap mereka. Pertimbangannya bahwa potensi golongan komunis masih sangat besar, terutama untuk menghantam kolonial Belanda.

Sikpa lunak pemerintah ini tidak membuat PKI melakukan introspeksi guna melakukan perbaikan-perbaikan di masa mendatang. Bahkan PKI mengulangi kembali aksi kedua yakni G-30-S di tahun 1965. Peristiwa itu merupakan tragedi nasional dalam sejarah kontemporer Indonesia. Dan, PKI pun dilarang hidup di Indonesia. Keputusan pembubaran  PKI oleh pengemban Supersemar dengan Keppres Nomor 1/3/1966, yang kemudian dikukuhkkan oleh Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.

Masalah komunisme seringkali mengundang berbagai kontroversi. Menurut Ketchum dan Brumberg (1971) masalah komunisme ini umumnya dipandang dua sisi, satu sisi komunisme dianggap sebagai penyelamat manusia, gerakan yang tertib, sumber perdamaian; tetapi di sisi lain komunisme merupakan suatu kejahatan, suatu kekuatan pemecah-belah, dan merupakan sandiwara perdamaian. Brzezinski (1990) berpendapat “komunisme menarik bagi orang yang bodoh maupun bagi orang yang canggih. Ia memberikan kesadaran arah, penjelasan yang memuaskan dan pembenaran moral. Ia membuat para penganutnya mempunyai rasa bahwa dirinya adil, benar, dan rasa percaya diri sekaligus”.

Itulah latar belakang yang tertulis dalam bagian “Pendahuluan” buku ini. Buku ini menganalisis pergulatan dan memetakan friksi antar faksi di internal PKI pasca Madiun Affair. Partai ini bekerja efektif hanya sekitar dua tahunan untuk sampai menjadi kekuatan politik terbesar keempat pada Pemilu 1955. Modal politik itulah yang menentukan langkah PKI sampai pada tahun 1965. “Seperti juga partai komunis lainnya di dunia, PKI selalu tampil dengan easy solution terhadap berbagai persoalan. Seakan-akan semua masalah bisa diselesaikan ketika persatuan berada  di bawah pimpinan PKI. Salah satu keunggulan PKI adalah kemampuan berkomunikasi yang sangat tinggi. Kalau dilihat retorika politik PKI selama tahun 1950-an itu, kita seakan-akan bertemu dengan PKI yang banyak. Karena di setiap daerah, waktu, atau situasi, PKI akan memperkenalkan rumusan yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Satu-satunya landasan ideologis yang ditampilkan adalah penguasaan kata “rakyat”. .. Penguasaan makna kata seperti itu adalah suatu strategi wacana PKI,” tulis sejarawan Prof Dr Taufik Abdullah yang memberi kata pengantar buku (hal xiii).

SISTEMATIKA BUKU

Bab 1 – Pendahuluan

Bab 2 – Keputusan yang Lunak (Tahun-tahun yang Hilang dan munculnya Jalan Baru Muso)

Bab 3 – Dampak Krisis Politik (pergolakan ideologi-partai, aksi-aksi separatis-primordial

Bab 4 – Kamuflase, Friksi, dan Razia (kemunculan great oldman Alimin, friksi golongan tua versus golongan tua, peristiwa Razia Agustus 1951)

Bab 5 – Perubahan Strategi dan Konsolidasi Partai (ketidakpuasan kelompok Aidit terhadap kelompok tua Alimin, rebutan kekuasan partai hingga konsolidasi partai)

Bab 6 – Merebut Suara Pemilu (Strategi menghadapi Pemilu dan posisi partai yang meraih kekuatan terbesar ke-4 dalam Pemilu)

Bab 7 – Mengincar Kursi Parlemen (Menjadi Kekuatan pengimbang di parlemen)

Bab 8 – Penutup

Buku yang diangkat dari skripsi S1 di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung itu, menurut Taufik Abdullah, “…adalah sebuah studi sejarah. Tetapi bukanlah tentang masa lalu yang telah mati. Meskipun bercerita tentang masa yang telah lewat tetapi buku ini memberikan pada kita pengetahuan dan wawasan tentang pertumbuhan dan berkembangnya sebuah kekuatan politik yang kemudian di suatu saat yang tidak diduga menghasilkan tragedi nasional yang sampai kini masih membekas. Jadi, sesungguhnya buku ini bisa dipakai sebagai bahan untuk mempertebal kewaspadaan nasional dan kearifan sejarah” (hal xiii-xiv).

RESENSI & PERINGKAT