subhan.esde@yahoo.com

Pengampunan Koruptor: Negeri yang Bisa Merugi

Hampir seribu tahun silam, seorang tokoh besar pada masa Dinasti Song di China, Wang An Shih (1021-1086), mengingatkan, ada dua sumber korupsi yang senantiasa berulang, yaitu buruknya hukum dan buruknya manusia. Sejarah membuktikan tidak mungkin menyelamatkan pemerintahan dengan cuma bertopang pada hukum untuk mengendalikan pejabat, sementara mereka bukan orang yang tepat untuk pekerjaannya,” ujar Wang.

Pernyataan itu mengusik kita ketika pemberantasan korupsi menemui ujian. Beberapa hari lalu, sejumlah terpidana korupsi mendapatkan remisi, grasi, dan bebas. Dari 58.400 narapidana yang diberikan keringanan hukuman, 341 orang di antaranya terpidana korupsi. Beberapa di antaranya adalah mantan petinggi Bank Indonesia, seperti Aulia T Pohan, Bunbunan Hutapea, Aslim Tadjudin, dan Maman Soemantri, serta mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani HR.

Terlepas apa pun alasannya, pembebasan itu dinilai mencederai rasa keadilan rakyat. Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, pemberian grasi dan remisi itu paradoks dengan berbagai sikap atau pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa koruptor sebagai musuh besar bangsa. “Ini mencederai nurani rakyat yang menjadi korban praktik korupsi itu,” ujar Edy.

Pembebasan itu menghambat upaya pemberantasan korupsi. Padahal, pemerintah selalu menggembar-gemborkan perang melawan korupsi. Bahkan, dalam sidang bersama DPR dan DPD, 16 Agustus lalu, Presiden menegaskan telah melaksanakan program antikorupsi secara sistemik, berkesinambungan, mulai dari atas, dan tanpa pandang bulu.

Namun, pengampunan terhadap terpidana korupsi itu dirasakan bertentangan dengan perang melawan korupsi (corrupt, corruptie, corruptio) yang bermakna kebusukan, keburukan, kebejatan. “Ini preseden burukbagi pemberantasan korupsi di masa depan,” kata Syarifuddin Sudding, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Runyamnya, dalam kasus korupsi, sebagian besar terpidana boleh dikatakan mendapat hukuman ringan. Contohnya, Syaukani yang terbukti korupsi Rp 49,367 miliar hanya menjalani hukuman selama tiga tahun dari vonis enam tahun. Nurdin Halid, Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia, divonis dua tahun penjara (kasasi) dengan nilai korupsi Rp 169,7 miliar. Baru mantan jaksa Urip Tri Gunawan, yang diduga menerima suap senilai Rp 6,1 miliar, yang dihukum 20 tahun.

Lebih parah apabila dibandingkan dengan hukuman yang diterima pencuri kecil. Koruptor yang mengeruk uang rakyat lebih baik nasibnya ketimbang pencuri yang hasil curiannya kecil. Tidak adil rasanya membandingkan dengan hukuman terhadap orang kecil yang mencuri karena “terpaksa” akibat terbelit kemiskinan, bukan karena ketamakan.

Contohnya, kasus yang menimpa Manisih (40) dan Sri Suratmi (19), yang divonis satu bulan penjara di Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah, Januari silam, karena terbukti mencuri buah randu satu karung (berat 14 kilogram) seharga Rp 12.000.

Walaupun tidak bisa diukur secara matematis, mari kita buatperbandingan iseng saja. Untuk hasil curian Rp 12.000, Manisih harus dihukum 30 hari. Artinya, hukuman sehari setara dengan nilai curian Rp 400. Bandingkan dengan Syaukani. Apabila nilai korupsi Rp 49,367 miliar untuk hukuman yang dijalani tiga tahun, hukuman sehari setara dengan nilai korupsi sekitar Rp 45 juta. Jika diperbandingkan dengan kasus Nurdin Halid, lebih tidak adil lagi. Kalau nilai korupsinya Rp 169,7 miliar dihukum dua tahun (sekitar 730 hari), korupsi Rp 232 juta hanya dihukum sehari.

Perbandingan itu memang bukan bagian dari materi hukum. Namun, kita bisa mendapatkan gambaran, Manisih yang mencuri uang receh Rp 400 dihukum 24 jam. Hukuman yang sama diterima Syaukani yang menguras Rp 45 juta atau Nurdin yang mengeruk Rp 232 juta. Pedang hukum hanya tajam pada orang kecil, tetapi majal pada orang yang berkuasa?

Penegak hukum

Dalam konteks ini, peran penegak hukum sangatlah penting. Mereka yang takut melukai keadilan justru enggan memegang tanggung jawab berat itu. Kisah penolakan jabatan hakim (kadi) pada zaman Dinasti Abbasiyah di Irak, terutama pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dan Al-Mahdi, barangkali bisa menjadi catatan penting. Ahli hukum, seperti Sofyan Tsauri(715-778) atau Abu Hanifah (669-767), sama-sama menolak jabatan hakim.

Menurut Syed Hussein Alatas dalam buku Sosiologi Korupsi, hal itu mencerminkan sikap menentang korupsi yang paling jelas.Namun, di negeri ini justru sebaliknya. Dalam kasus pegawai pajak, Gayus HP Tambunan, misalnya, penegak hukum malah sepakat “korupsi berjamaah”. Padahal, saat bersamaan, energi bangsa ini ditumpahkan untuk melawan korupsi. Seharusnya tidak ada toleransi terhadap korupsi.

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Banyak rakyat terbelit kemiskinan karena uang yang seharusnya menetes ke mereka dimakan oleh orang berkuasa.

Peringatan Wang An Shih memberikan kesempatan bagi kita untuk menegakkan hukum seadil-adilnya dan memperbaiki moral manusianya. Apabila setengah hati, negeri ini bisa benar-benar bakal membusuk.

Kompas, Kamis 26 Agustus 2010