subhan.esde@yahoo.com

Pulau Kelapa Menggeliat

PULAU Kelapa, salah satu kelurahan di kawasan Kepulauan Seribu seperti “anak tiri” ibu kota. Letak geografinya yang dipisahkan lautan, membuat kawasan itu seperti tertinggal dalam semarak pembangunan metropolitan Jakarta.

Tak percaya? Lihat saja sarana transportasi reguler berupa angkutan kapal feri dari Jakarta ke pulau, yang baru diperoleh tahun 1994. Sistem penerangan lampu pun masih PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel), menggantikan lampu-lampu tempel dan petromaks. Itu pun hanya beroperasi malam hari.

Tak heran, pulau tersebut –sebagaimana semua kawasan Kepulauan Seribu– termasuk dalam wilayah IDT (Inpres Desa Tertinggal). Padahal potensi ada. Selain industri wisata yang terus berkembang, di perairan Pulau Kelapa dekat Pulau Pabelokan, juga ditemukan minyak.

Penduduk setempat lebih banyak menonton ketika orang-orang berduit Jakarta memburu pulau-pulau di sana. Sejak awal tahun 1980- an, secara bertahap pulau-pulau yang semula dimiliki warga setempat berpindah tangan.

“Sekarang mana ada lagi pulau-pulau orang sini. Pulau-pulau itu sudah dijualin. Semuanya milik bos-bos dari Jakarta,” kata salah satu warga, Abdul Kadir (64). Dari 24 pulau yang memegang izin wisata bahari Kepulauan Seribu, 16 pulau berada dalam wilayah Kelurahan Pulau Kelapa.

***

UNTUNGLAH perlahan-lahan Pulau Kelapa menggeliat. Perkembangannya boleh dikata cukup pesat. Transportasi yang semakin baik ke Jakarta atau Tangerang, membuat daerah itu semakin terbuka. Para pendatang bermunculan dan akhirnya menetap di pulau tersebut. Apalagi di pulau itu ternyata apa pun bisa dilakukan untuk sekadar mengais uang recehan. Maka para pedagang pun bermunculan menggelar dagangan.

Sekarang tak sulit mencari toko kelontong, penjual bakso, warteg, hingga supermarket, yang sepuluh tahun silam sangat sulit ditemui. Bisa dimengerti bila banyak pendatang yang tak mau kembali ke kampungnya, bahkan memilih menikah dengan warga setempat.

Maka jumlah penduduk pun meningkat. Tahun 1994 silam jumlahnya hampir 4.000 jiwa dan saat ini diperkirakan sekitar 6.000 jiwa. Muncullah persoalan lahan tempat tinggal. Pasalnya, lahan-lahan kosong sudah tidak ada lagi. Daratan pulau seluas 13,09 hektar itu sudah padat dengan rumah-rumah yang saling berdempetan.

Tak ada jalan lain kecuali menguruk laut. Di atas tanah urukan rumah-rumah pun mulai bermunculan. Ada untungnya juga, sebab setidaknya penduduk melakukan reklamasi pantai secara mandiri.

Sayangnya batu-batu karang atau pasir buat urukan diambil warga dari laut sekeliling pulau. Akibatnya permukaan pulau semakin turun, hingga bila air pasang bisa menerobos ke tengah pulau. “Zaman dulu mana pernah terjadi air laut pasang ke tengah kampung,” kata seorang warga, Hasan.

Soal lingkungan hidup memang paling dominan ketika pulau-pulau di Teluk Jakarta itu diperbincangkan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (P3O) LIPI, beberapa bulan lalu mengungkapkan kerusakan terumbu karang di kawasan Kepulauan Seribu sudah sedemikian parah.

Hasil pengamatan terus-menerus sejak tahun 1969 itu mengungkap, terumbu karang yang kondisi masih baik sekitar 30 persen. Padahal untuk mengembalikan terumbu yang rusak itu belum tentu bisa dalam 30-50 tahun.

***

SEJUMLAH pulau di kawasan tersebut juga lenyap ditelan laut, terutama yang dekat dengan Teluk Jakarta. Sebagaimana dicatat oleh lembaga yang sama, pulau-pulau yang lenyap itu antara lain Pulau Nyamuk, Ubi Kecil, Ubi Besar, Air kecil, Air Besar, Vader Smith, Nirwana. Pulau-pulau lainnya seperti Onrust, Damar, Kelor, Cipir, Rambut, berada dalam kondisi memprihatinkan karena gerusan air laut terus-menerus menghantam pesisir pantainya.

Rusaknya kondisi lingkungan Kepulauan Seribu penyebabnya antara lain pengerukan sumber daya alam seperti penambangan pasir liar dan karang, dan pencemaran pantai. Dalam sebuah seminar tahun 1994, terungkap penambangan pasir banyak dilakukan ketika pembangunan jalan tol Prof Sedyatmo yang menghubungkan Jakarta-Bandara Soekarno- Hatta.

Studi yang pernah dilakukan IPB juga menyebutkan pencemaran laut di Teluk Jakarta mencapai lebih 20 km dari batas pantai. Maklum, tiga belas muara sungai mengarah ke Kepulauan Seribu. Jadi, sumber penyebab dan sekaligus penyelesaiannya berada di Jakarta. Sulitnya, banyak instansi lempar tangan.

Misalnya saja dalam soal izin penambangan pasir, Pemda DKI Jakarta saling lempar dengan departemen pertambangan dan energi (Kompas, 1/3/97). Demikian halnya dengan pemberian izin untuk tempat wisata. Kasus Pulau Bira dengan lapangan golf-nya sempat mencuat ke permukaan dua tahun silam, tetapi belakangan selesai begitu saja. Ancaman lain adalah penggunaan bom untuk memperoleh ikan dengan cara mudah. Mulanya kebiasaan ini dilakukan oleh nelayan dari daratan seperti dari Kamal atau Tangerang, tetapi belakangan penduduk setempat pun ikut-ikutan menggunakannya.

Akibat penggunaan bom itu, ekosistem menjadi rusak dan menurunkan jumlah biota laut. Ikan-ikan tidak lagi mudah ditangkap, karena karang-karang tempat ikan berlindung sudah musnah. Tak mengherankan bila hasil tangkapan nelayan sekarang agak berkurang. Untuk menangkap ikan, mereka terpaksa harus pergi jauh ke lepas pantai yang karang-karangnya masih utuh.

Karena hasil tangkapan ikan yang semakin hari semakin berkurang, serta seiring berkembangnya kawasan wisata, penduduk pun berubah profesi.

Beberapa tahun silam penduduk Pulau Kelapa umumnya nelayan. Jaring Jepang atau muroami menjadi populer di sana, tetapi belakangan yang tersisa hanya jaring manyang dan bagan. Anak-anak muda Pulau Kelapa saat ini lebih senang menjadi buruh atau pekerja di pulau-pulau wisata.

“Walaupun sebagai petugas kebersihan dan digaji Rp 100.000 sebulan tapi saya senang, karena hasilnya pasti,” kata pemuda yang memilih menjadi buruh di Pulau Bira. Memang, penghasilan sebagai nelayan tak menentu, karena sangat tergantung alam. Bila musim angin barat (badai) biasanya nelayan tak melaut.

***

SELAIN itu, akibat semakin terbuka dan maraknya pariwisata, perilaku masyarakat pun ikut terbawa arus. Anak-anak muda yang mudah naik pitam seringkali mudah tersinggung sehingga kerap terjadi baku hantam dengan penduduk pulau lainnya.

“Untunglah sekarang ini sudah bisa diatasi, sesudah kita memberikan berbagai penyuluhan,” kata Sa’ari (40-an), pemimpin lembaga swadaya masyarakat di sana. “Bahkan sekarang ini yang namanya pil ecstacy sudah diminum anak-anak muda. Dulu-dulu mana dikenal itu,” tambah Abdillah (34).

Dibandingkan dengan sekitar 15 tahun silam, kondisi Pulau Kelapa telah banyak berubah. Kala itu, ketika ada seorang yang membangun rumah, serta merta para tetangga banyak membantu. Kini amat jarang itu terjadi. Nilai-nilai kekerabatan tampaknya semakin longgar. Yang masih tersisa barangkali deburan ombak yang setiap saat menghantam pantai. (Subhan SD)

Kompas, Minggu 6 Juli 1997