subhan.esde@yahoo.com

Robohnya Benteng Keadilan

Oleh M Subhan SD

Semula terbayang Mahkamah Agung akan marah besar sewaktu Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata dan Tata Laksana Perkara Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat (12/2) pekan lalu. Pasalnya, penangkapan itu bukan hanya memper- malukan MA, melainkan juga mengonfirmasi bahwa mafia di MA masih bercokol kuat. Padahal, MA adalah benteng terakhir tempat seluruh rakyat mendambakan keadilan.

Hampir sepekan kemudian, Ketua Kamar Pembinaan MA Takdir Rahmadi merespons bahwa kejadian itu ibarat setitik nila yang merusak susu sebelanga. ”Ini satu kecelakaan, satu musibah. Kita sangat mencela.” kata Takdir, Rabu (17/2). Namun sayang, kasus tersebut direduksi sebatas ”kecelakaan” atau ”musibah”. Padahal, sehari sebelumnya Juru Bicara MA Suhadi mengakui, kemungkinan ada pihak-pihak lain di MA yang terlibat.

Jika mencermati sebelumnya ketika hakim Setyabudi Tejocahyono, Wakil Ketua PN Bandung (2013), ditangkap KPK karena kasus suap, Ketua MA Hatta Ali bereaksi keras. Ia menganggap Setyabudi pengkhianat korps kehakiman. ”Kesejahteraan hakim sudah ditingkatkan, kok, masih ada hakim seperti itu. Di tengah ikatan hakim membangun kepercayaan publik, masih ada yang mengkhianati,” ujar Hatta. ”Saya akan bersikap tegas kepada hakim-hakim yang mencoreng lembaga peradilan,” ujar Hatta, Maret 2013.

Di republik ini memang nyaris tidak ada institusi pemegang mandat rakyat atau penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, bahkan korporasi yang terbebas dari wabah virus korupsi. Ibarat tubuh, virus korupsi telah mengalir dalam darah. Semakin diberi vaksinasi untuk membentuk antibodi, virus korupsi juga mencari cara baru untuk mengalahkan antibodi itu.

Parahnya, lembaga peradilan yang dipercaya sebagai benteng terakhir keadilan justru tak imun. Sudah 18 tahun reformasi, tetapi MA—dan institusi di lingkungannya—tak bisa bersih-bersih juga. Jika para penegak hukum tidak mampu memberi keadilan, lalu harapan apa lagi yang tersisa? ”Ketika kita tidak menghukum pelaku kejahatan, bukan hanya melindungi mereka, melainkan kita telah merusak dasar-dasar keadilan generasi baru,” kata Aleksandr Solzhenitsyn (1918-2008), novelis penerima Nobel Sastra (1970), pengkritik rezim Uni Soviet, dan penulis The Gulag Archipelago.

Padahal menjadi penegak hukum, terlebih hakim, adalah posisi teramat mulia. Di ruang sidang dipanggil ”Yang Mulia”. Tak heran, hanya hakim yang kerap dipandang sebagai ”wakil Tuhan”. Maka, di MA seharusnya merupakan kumpulan orang yang bermartabat, memiliki integritas dan moralitas tinggi, dengan noblesse oblige luar biasa.

Karena itu, menjadi hakim atau pegawai di MA haruslah mereka yang terpanggil untuk mengabdi, bukan sekadar pencari kerja, apalagi bermain mata memperdagangkan perkara. Justitia—dewi keadilan sejak era Romawi—dengan penutup mata, timbangan, dan pedang, adalah personifikasi penegakan hukum yang adil, tanpa pandang bulu, bukan membutakan hati nurani dan menutup mata dari keadilan.

Ada kisah hakim yang bisa jadi panutan: Syuraih al-Qadhi asal Yaman. Walaupun yang beperkara orang besar, yaitu Khalifah Umar bin Khattab (periode 634-644) dalam kasus pembelian kuda dan Khalifah Ali Bin Abi Thalib (periode 656-661) dalam kasus kehilangan baju besi, dia tak terpengaruh. Singkat cerita, setelah melihat bukti dan mendengar saksi, putusan Syuraih mengalahkan dua khalifah itu. Namun, karena dinilai adil, Umar justru mengangkat Syuraih menjadi hakim di Kufah, Irak.

Nah, dari Gedung MA, mengkhayalkan muncul sosok-sosok yang meniru Syuraih. Namun, kalau yang terjadi penangkapan oleh KPK terus-menerus, rasanya—meminjam judul novel AA Navis Robohnya Surau Kami—barangkali kian terasa robohnya benteng terakhir keadilan kami….

Kompas, Kamis, 18 Feb 2016