subhan.esde@yahoo.com

Kudeta

Blue Mosque, H+3 kudeta (Foto: Subhan SD))

Istanbul, Turki, masih terasa panas pada Senin (18/7), yang adalah hari ketiga pasca kudeta gagal sekelompok faksi militer, Jumat (15/7) malam. Bandara Attaturk sempat diambil alih. Penerbangan terhenti dan tertunda, termasuk rombongan tim Liga Kompas Gramedia yang transit sebelum terbang untuk bertanding di Piala Gothia di Swedia.

Tiga hari lalu, polisi masih berjaga di sejumlah jalan dan tempat-tempat vital. Rata-rata menenteng senjata laras panjang. Masih ada pemeriksaan kendaraan. Namun, situasi sudah normal. Tempat-tempat wisata sudah dipadati turis. Paling mencolok adalah pengibaran bendera nasional di mana-mana.

Jika saja kudeta militer berhasil menjadi pretensi buruk bagi pemerintahan sipil pada era demokrasi. Pada awal-awal lahirnya negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, kudeta menjadi cara pintas merebut kekuasaan.

Banyak contoh penguasa yang naik takhta karena kudeta, baik pada era demokrasi maupun non-demokrasi. Di Mesir, Jenderal Gamal Abdel Nasser menggulingkan Raja Farouk I pada 1952. Presiden Muhammad Najib yang menggantikan Raja Farouk I kemudian digulingkan kembali oleh Nasser yang menjadi penguasa Mesir pada 1954.

Di Libya, Kolonel Moammar Khadafi menggulingkan Raja Idris yang tengah berobat ke Yunani, 2 September 1969. Di Pakistan, Jenderal Zia Ul Haq menggulingkan PM Zulfikar Ali Bhutto, 5 Juli 1977. Jenderal Pervez Musharraf juga melakukan kudeta pada 1999.

Di Amerika Latin dan Amerika Tengah juga punya sejarah kudeta yang panjang, bahkan sejak akhir abad ke-19. Negara seperti Peru, Guatemala, Bolivia, Meksiko, Panama, Kuba, Haiti, Argentina, Nikaragua, Ekuador, Haiti, Kolombia, Brasil, dan Cile, memiliki tradisi kudeta yang melelahkan. Bahkan, di Bolivia terjadi lebih dari 50 kali.

Di antara tetangga kita, Thailand barangkali yang begitu sering terjadi kudeta. Belasan kali kudeta sejak kudeta militer pertama pada 1932. Di Tanah Air juga ada kudeta yang menurut Orde Baru dilakukan PKI pada 1965. Namun, menjadi perdebatan panjang karena beragam versi. Pasca Reformasi 1998, seperti banyak negara lain, Indonesia memilih jalan demokrasi langsung (electoral democracy).

Dalam kajian Ozan Varol (The Democratic Coup d’Etat, 2012), kudeta militer di negara demokratis, antara lain berciri: kudeta terhadap rezim otoriter/totaliter, respons perlawanan rakyat terhadap rezim, rezim otoriter/totaliter menolak mundur, militer memfasilitasi pemilu dalam waktu singkat.

Militer kita (TNI) yang lebih dari tiga dekade era Orde Baru sangat berkuasa dengan dwifungsi-nya, sekarang ini patut diacungi jempol. TNI kembali ke barak dan tidak tergiur lagi dengan politik. TNI menjadi contoh baik dalam menjalankan agenda reformasi.

Namun, pada era demokrasi ini muncul cara-cara yang terasa lebih halus dan demokratis, antara lain pemakzulan (impeachment). Memang konstitusional, tetapi pemakzulan terlihat lebih emosional. Kelompok sipil (politisi partai) sering sekali melontarkan wacana pemakzulan.

Jika tak sejalan dengan pemerintah, sedikit-sedikit melontarkan ”gertak sambal” pemakzulan. Ini sudah terbalik-balik. Militer semakin dewasa berpolitik. Sebaliknya, politisi sipil malah main gertak saja. Jangan sampai rakyat turun lagi, seperti yang terjadi pekan lalu di Turki.

Kompas, Kamis 21 Juli 2016