Jokowi dan Megawati, Dramaturgi yang Paradoks

M Subhan SD

dok PDI-P/kompas.com

RELASI akur-renggang antara Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri bukan hal baru. Hubungan Presiden RI yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Ketua Umum PDIP itu memang unik. Mungkin seperti karet. Kadang lengket, kadang melar. Kadang tampak akur, kadang terlihat renggang. Dalam dua pekan terakhir, situasi akur-renggang antara Istana (Presiden Jokowi) dan Teuku Umar (kediaman Megawati) menjadi pergunjingan politik.

Continue reading “Jokowi dan Megawati, Dramaturgi yang Paradoks”

Sebelum Demokrasi Terjungkal, Reformasilah Watak Bangsa

M Subhan SD

KEMENANGAN Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr dalam pemilihan presiden Filipina pertengahan Mei ini, menjadi alarm bagi demokrasi di Indonesia. Belum genap empat dekade setelah people power yang menumbangkan sang ayah diktator Ferdinand Marcos Sr tahun 1986, dinasti Marcos kembali menguasai tampuk pemerintahan. Terlepas telah bersekutu dengan dinasti Duterte (wapres terpilih Sara Duterte, putri Rodrigo Duterte presiden saat ini), kemenangan Bongbong sepertinya kekejaman pemerintahan Marcos  (1965-1986) telah terlupakan.

Continue reading “Sebelum Demokrasi Terjungkal, Reformasilah Watak Bangsa”

Berhentilah Membenci!

Oleh M Subhan SD

Sesuai konstitusi, Pemilihan Presiden 2024 digelar dua tahun lagi. Berarti kita mesti bersiap menghadapi suhu politik memanas kembali, meski sejak Pilpres 2014 narasi politik juga belum beranjak dari kekenesan dan kesinisan. Media sosial, kolom komentar di berita-berita daring, hingga saling lapor ke polisi, memperlihatkan ekspresi permusuhan.

Diksi negatif seperti bodoh, dungu, cebong, kampret, kadrun, jin buang anak, genderuwo, setan terpampang jelas di gawai, internet, dan media massa. Tak risih lagi mempertontonkan sikap reaktif, emosional, atau sumbu pendek.

Alhasil, ruang demokrasi minim perdebatan konstruktif. Kritik bukan pada isu substansial, melainkan menyasar gosip personal. Residu kontestasi, baik pilpres maupun pilkada, tampaknya telah mengikis pilar-pilar demokrasi. Setelah dua dasawarsa praktik demokrasi elektoral, negeri kita baru berada di kategori demokrasi cacat (flawed democracy) atau negara setengah bebas (partly free).

Continue reading “Berhentilah Membenci!”

Bung Karno, Pancasila, dan Thor

Oleh M Subhan SD

Bung Karno, 1931
(Foto: Repro buku Di Bawah Bendera Revolusi I )

Bung Karno bercerita, ketika manusia berada dalam alam pikiran mitologi dengan ruang hidup di rimba raya, manusia menuhankan petir, awan, sungai, angin, batu, pohon, hujan, dan sebagainya. Misalnya, bangsa Skandinavia menyembah Thor. Dalam mitologi bangsa Nordik (Eropa utara), Thor adalah  adalah Dewa Petir yang paling berkuasa. Putra Odin dan Giantess Fjörgyn ini adalah pelindung penduduk Midgard. Dalam tradisi Jerman, yang juga masuk Nordik, Thor adalah dewa palu yang terkait dengan kilat, badai, kekuatan, perlindungan umat manusia, dan juga keramat. 

Continue reading “Bung Karno, Pancasila, dan Thor”

Peradaban Kita Pasca Pandemi

Oleh: M Subhan SD

Pelabuhan Sisilia, Italia, di bulan Oktober 1347. Orang-orang berkumpul di dermaga. Mereka gembira menyambut 12 kapal yang bersandar setelah berlayar dari Laut Hitam. Tiba-tiba dalam sekejap, kegembiraan berubah menjadi kengerian. Kerumunan orang-orang itu disuguhi kejutan mengerikan. Di kapal itu, sebagian besar pelaut telah meninggal. Pelaut-pelaut yang masih hidup terkapar sakit parah. Kondisinya amat mengenaskan. Di tubuh mereka terdapat  bisul hitam yang bernanah dan berdarah.

Continue reading “Peradaban Kita Pasca Pandemi”

New Normal dan Transformasi Abnormalitas

Oleh: M Subhan SD

Pandemi virus corona membuat penduduk bumi terpojok: memasuki kehidupan normal baru (new normal). Tiada cara lain setelah miliaran manusia tak berdaya, ratusan negara kelimpungan, ratusan rezim penguasa tak berkutik, partai politik membisu, ormas tak bersuara. Negara-negara seperti Amerika Serikat yang biasanya amat powerful tiba-tiba menjadi powerless menghadapi virus yang super mikro itu.

Continue reading “New Normal dan Transformasi Abnormalitas”

Peradaban Bangsa

Pahatan gunung batu di Petra

‘Ad dan Tsamud! Dua bangsa ini sangat hebat: bertubuh besar, kuat, kemampuan teknologi canggih, dan keahlian seni adiluhung. Kemungkinan hidup pada milenium k-3 sampai ke-2 Sebelum Masehi. Dua bangsa ini berasal dari keturunan sama: Nabi Nuh alias bapak manusia pasca banjir besar. Nasab ‘Ad bin Aush bin Iram bin Sam bin Nuh, sedang Tsamud bin Atsir bin Iram bin Sam bin Nuh. Kedua-duanya cikal-bakal bangsa Arab, cuma ‘Ad lebih dulu. ‘Ad diidentifikasi di wilayah selatan (kini Yaman dan Oman), sedangkan Tsamud di utara (Arab Saudi). ‘Ad ahli membuat bangunan tinggi: Irama Dzatil Imad (Iram of Pillars). “(Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi; yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, (QS Al-Fajr: 7-8).    

Continue reading “Peradaban Bangsa”

Imajinasi Kebangsaan yang Rapuh

Sumpah Pemuda 1928 adalah penemuan sejarah luar biasa. Rumusan ”Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa; Indonesia”, adalah konsep yang solid. Menyatu dari serakan multietnik, reruntuhan sejarah, dan tumpukan penderitaan manusia. Itulah identitas bangsa kita yang berangkat dari kesadaran bersama yang mengandung cita-cita, paham, ideologi, dan jiwa. Ada dua kondisi yang melandasi bangsa. Pertama, rakyat harus menjalani proses sejarah bersama-sama. Kedua, ada kemauan hidup untuk menjadi satu kesatuan.

Continue reading “Imajinasi Kebangsaan yang Rapuh”

Dua Tokoh

San Martin di Lima (kiri) dan Bolivar di La Paz (kanan)
(Foto: MSubhan SD)

Guayaquil, Ekuador, 26 Juli 1822. Kala itu musim panas. Di kota kecil di tepi Pasifik yang berpanorama teluk-sungai nan cantik itu, dua tokoh besar pembebas Amerika Selatan bertemu: Simon Bolivar (1783-1830) dan Jose de San Martin (1778-1850). Satu datang dari jazirah utara dan satunya lagi dari jazirah selatan.

Continue reading “Dua Tokoh”

Tatap Optimisme, Tutup Pesimisme

Warisan terbesar Muhammad Yamin (1903-1962) adalah membentuk imaji tentang keindonesiaan. Menelusuri jejak-jejak purba di Nusantara, menggali sampai akar di bagian terdalam. Ketika terjadi migrasi di zaman purbakala, penduduk di Nusantara (umumnya Austronesia) sudah menganut pemujaan terhadap matahari (aditya) dan bulan (chandra). Matahari perlambang ”merah” dan bulan perlambang ”putih”. Yamin membuat konstruksi dengan narasi besar bahwa Merah-Putih sudah ada sekitar 6.000 tahun sebelum proklamasi 1945. Terbitlah buku 6000 Tahun Sang Merah Putih (1958). Begitu hebatnya Yamin yang memiliki segudang atribusi (ahli hukum, politikus, sastrawan, budayawan, sejarawan) dalam membangun imaji keindonesiaan.

Continue reading “Tatap Optimisme, Tutup Pesimisme”