King Maker dan Tragedi Kanemaru

M Subhan SD

DALAM khazanah politik Jepang ada tokoh politik bernama Shin Kanemaru. Politikus Partai Liberal Demokratik (LDP) yang kiprahnya sangat menonjol sekitar era tahun 1970-an hingga awal 1990-an. Sosoknya sangat berpengaruh. Apa pun keputusannya sangat menentukan lansekap perpolitikan Jepang modern.

Padahal dalam karier politiknya ia tidak pernah berada di puncak kekuasaan. Paling tinggi jabatannya adalah Wakil Perdana Menteri Jepang (1986-1987) atau Wakil Presiden LDP tahun 1992. Ia pernah menjadi Dirjen Pertahanan Jepang (1977-1978) sebelum jabatan itu berganti status menjadi Menteri Pertahanan. Padahal dalam pasukan kekaisaran Jepang, Kanemaru  hanya berpangkat sersan.

Continue reading “King Maker dan Tragedi Kanemaru”

Ganjar Menjadi Ronin?

M Subhan SD

kompas.com/Riska F

GANJAR Pranowo bikin kikuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ganjar bisa jadi batu sandungan, bukan batu loncatan. Gara-gara Ganjar, PDIP justru diganjar gempar. PDIP seharusnya sudah bisa tidur nyenyak menyongsong Pilpres 2024. Sebab, satu-satunya partai yang sudah siap berlaga di ajang perhelatan demokrasi tersebut. Pertama, sudah mengantungi tiket Pilpres karena lolos presidential threshold. Kedua, sudah punya kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi.

Continue reading “Ganjar Menjadi Ronin?”

Jokowi dan Megawati, Dramaturgi yang Paradoks

M Subhan SD

dok PDI-P/kompas.com

RELASI akur-renggang antara Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri bukan hal baru. Hubungan Presiden RI yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Ketua Umum PDIP itu memang unik. Mungkin seperti karet. Kadang lengket, kadang melar. Kadang tampak akur, kadang terlihat renggang. Dalam dua pekan terakhir, situasi akur-renggang antara Istana (Presiden Jokowi) dan Teuku Umar (kediaman Megawati) menjadi pergunjingan politik.

Continue reading “Jokowi dan Megawati, Dramaturgi yang Paradoks”

Koalisi, Kala Singa Tak Berdaya Menghadapi Sekawanan Hiena

Subhan SD

PADANG sabana di benua Afrika adalah arena perburuan liar sesama satwa. Padang rumput luas itu adalah habitat mengerikan: terbuka, ganas, buas, bengis, tak ada ampun. Yang ada cuma kill or to be killed. Hidup di padang sabana itu harus punya nyali, modal, dan beking kuat. Harus kuat seperti singa, harus cepat seperti citah, harus licik seperti hiena. Satwa yang lemah, lambat, dan kecil akan menjadi mangsa yang empuk.

Continue reading “Koalisi, Kala Singa Tak Berdaya Menghadapi Sekawanan Hiena”

Sebelum Demokrasi Terjungkal, Reformasilah Watak Bangsa

M Subhan SD

KEMENANGAN Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr dalam pemilihan presiden Filipina pertengahan Mei ini, menjadi alarm bagi demokrasi di Indonesia. Belum genap empat dekade setelah people power yang menumbangkan sang ayah diktator Ferdinand Marcos Sr tahun 1986, dinasti Marcos kembali menguasai tampuk pemerintahan. Terlepas telah bersekutu dengan dinasti Duterte (wapres terpilih Sara Duterte, putri Rodrigo Duterte presiden saat ini), kemenangan Bongbong sepertinya kekejaman pemerintahan Marcos  (1965-1986) telah terlupakan.

Continue reading “Sebelum Demokrasi Terjungkal, Reformasilah Watak Bangsa”

Berhentilah Membenci!

Oleh M Subhan SD

Sesuai konstitusi, Pemilihan Presiden 2024 digelar dua tahun lagi. Berarti kita mesti bersiap menghadapi suhu politik memanas kembali, meski sejak Pilpres 2014 narasi politik juga belum beranjak dari kekenesan dan kesinisan. Media sosial, kolom komentar di berita-berita daring, hingga saling lapor ke polisi, memperlihatkan ekspresi permusuhan.

Diksi negatif seperti bodoh, dungu, cebong, kampret, kadrun, jin buang anak, genderuwo, setan terpampang jelas di gawai, internet, dan media massa. Tak risih lagi mempertontonkan sikap reaktif, emosional, atau sumbu pendek.

Alhasil, ruang demokrasi minim perdebatan konstruktif. Kritik bukan pada isu substansial, melainkan menyasar gosip personal. Residu kontestasi, baik pilpres maupun pilkada, tampaknya telah mengikis pilar-pilar demokrasi. Setelah dua dasawarsa praktik demokrasi elektoral, negeri kita baru berada di kategori demokrasi cacat (flawed democracy) atau negara setengah bebas (partly free).

Continue reading “Berhentilah Membenci!”

Faksi dan Friksi

Setelah Nabi Muhammad wafat, timbul friksi di kalangan umat Islam. Belum lagi nabi dikebumikan, sudah timbul bibit-bibit perpecahan di antara dua golongan: Muhajirin dan Anshar. Mulai muncul faksi-faksi. Banyak orang Anshar bergabung kepada Sa’ad bin Ubadah, tokoh bani Khazraj, kaum Anshar Madinah. Beberapa sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah berkumpul di rumah Fatimah. Kaum Muhajirin berada di belakang Abu Bakar Ash-Shiddiq. Padahal, kala itu umat sedang bingung pasca wafatnya nabi, termasuk berkonsentrasi menangani urusan pemakaman nabi.

Continue reading “Faksi dan Friksi”

Seriuskah Parpol Ikut Memberantas Korupsi?

Oleh M Subhan SD

Partai politik pasca Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 mengenai pemberantasan korupsi, tampaknya mulai berada di atas angin. Berbeda saat era UU sebelumnya, UU No 30 Tahun 2002 yang begitu alot diteror revisi. Dulu tiada parpol yang bisa berkutik begitu KPK bertindak, walaupun puncak pimpinannya menduduki kursi tertinggi di negeri ini. Malah ada beberapa pucuk pimpinan partai yang ditangkap KPK seperti Lutfi Hasan Ishaaq (PKS), Anas Urbaningrum (Demokrat), Setya Novanto (Golkar), Romahurmuziy (PPP). Skenario saling melindungi sesama partai pun nyaris tak pernah mempan. Sebab, KPK ibarat buldozer yang melumat bangunan yang menghadangnya.    

Continue reading “Seriuskah Parpol Ikut Memberantas Korupsi?”

Korupsi Menenggelamkan Demokrasi

Sulit sekali membersihkan negeri ini. Kotoran tersebar di mana-mana. Keelokan negeri untaian Zamrud Khatulistiwa ini semakin memudar. Sapu-sapu bersih kian banyak terlumuri sampah. Awal tahun 2020 yang sejatinya disambut dengan harapan baru, justru disergap dengan operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Bupati Sidoarjo Saiful Ilah ditangkap pada 7 Januari 2020 . Ia diduga menerima suap pengadaan beberapa proyek infrastruktur.      

Continue reading “Korupsi Menenggelamkan Demokrasi”

Tirani Sosial

Ucapan John Stuart Mill (1806-1873) sungguh menggelitik. Bahwa ancaman utama terhadap kebebasan berbicara di negara demokrasi bukanlah negara, melainkan ”tirani sosial” dari sesama warga negara. Periode demokrasi pasca-Orde Baru, rakyat terlihat ”berkuasa”, sebaliknya negara tampak kehilangan kedigdayaan. Reformasi telah mengubah wajah negara melembut dan sebaliknya mengubah wajah publik yang lebih mengeras. Suara-suara publik (voice) justru terus bising (noise). Media sosial menjadi medium ekspresif. Suara dengungan begitu berisik.

Continue reading “Tirani Sosial”