subhan.esde@yahoo.com

Ganjar Menjadi Ronin?

M Subhan SD

kompas.com/Riska F

GANJAR Pranowo bikin kikuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ganjar bisa jadi batu sandungan, bukan batu loncatan. Gara-gara Ganjar, PDIP justru diganjar gempar. PDIP seharusnya sudah bisa tidur nyenyak menyongsong Pilpres 2024. Sebab, satu-satunya partai yang sudah siap berlaga di ajang perhelatan demokrasi tersebut. Pertama, sudah mengantungi tiket Pilpres karena lolos presidential threshold. Kedua, sudah punya kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi.

Bandingkan dengan partai-partai lain. Mereka masih harus berjibaku dan bergerilya kesana-kemari siang-malam untuk mencari selembar tiket Pilpres. Mulai gencar komunikasi, lobi, silaturahim, antar pimpinan partai untuk membangun koalisi. Partai-partai lain juga umumnya masih bingung  mencari stok kandidat yang akan diusung di tahun 2024. Rupanya punya tiket Pilpres dan punya stok kandidat pun tak jadi jaminan. PDIP tampaknya tengah dilanda kegamangan.

Ini gara-gara Ganjar. Nama Ganjar yang kini Gubernur Jawa Tengah memang paling moncer. Pasca Presiden Joko Widodo, Ganjar menjadi figur yang dilirik publik untuk kandidat presiden bersaing dengan Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra) dan Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta). Survei SMRC (10-17 Mei 2022), misalnya, dengan simulasi tiga top of mind itu, Ganjar tertinggi yaitu 30,3 persen, disusul Prabowo 27,3 persen, lalu Anies 22,6 persen. Dengan simulasi sama, survei Charta Politika (25 Mei-2 Juni 2022) memperlihatkan elektabilitas Ganjar 36,5 persen, Prabowo 26,7 persen, dan Anies 24,9 persen.   

Ganjar vs Puan

Dilihat dari perspektif berbeda, popularitas dan elektabilitas Ganjar seakan-akan todongan terhadap PDIP. Pasalnya, menyangkut figur yang akan diusung pada Pilpres 2024 adalah kewenangan partai. Ketua Umum Megawati Sukarnoputri pun belum bertitah. Maka, dorongan terhadap Ganjar bisa diartikan semacam fait accompli. PDIP terkenal sikapnya yang teguh, ogah disetir pihak luar, terbukti sejak zaman Orde Baru. Namun, yang menjadi problem tampaknya PDIP tengah menyiapkan jalan untuk Puan Maharani, sang puteri mahkota.

Ditinjau dari teori klasik partai politik dalam sistem demokratis, PDIP terbilang partai yang berhasil menjalankan fungsi sarana rekruitmen politik. PDIP mampu membentuk dan menyeleksi calon-calon pemimpin. Dengan stok calon-calon memimpin, maka PDIP dapat dengan mudah menyuplai kader untuk posisi-posisi jabatan publik. Jadi tak perlu repot seperti dialami banyak partai lain.

Namun, di sisi lain menimbulkan problem ketika kompetisi dan kontestasi meruncing menjadi rivalitas tajam. Ganjar adalah banteng yang menjadi gubernur di kandang banteng, selama dua periode sejak 2013. Adapun Puan, yang kini Ketua DPR, adalah putri mahkota. Mantan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan itu adalah anak biologis Megawati atau cucu biologis-ideologis Sukarno. Artinya Puan itu berdarah biru, trah Sukarno. Selama ini Puan-lah yang disiapkan sebagai penerus Megawati. Dari sisi nasab atau genealogi, posisi Puan tak ada lawan.  

                                                          Elektabilitas dan Peluang di 2024  

Lalu bagaimana dengan peluang Puan di ajang Pilpres 2024? Mari kita lihat hasil survei. Dalam survei sama oleh Charta Politika, dengan menggunakan simulasi 10 nama, elektabilitas Puan hanya 1,8 persen. Posisinya di bawah Menteri BUMN Erick Thohir (2 persen) dan di atas Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (1,2 persen).  Bandingkan dengan Ganjar yang memiliki elektabilitas 31,2 persen. Namun Puan santai saja menanggapinya, “Yang penting saya kerja saja.”

Dari persentase tersebut, jelas  diperlukan kerja super ekstra dan akselerasi marketing yang jitu untuk menaikkan elektabilitas Puan. Persoalannya apakah cukup waktu mengejar panggung Pilpres 2024? Partai sebagai mesin politik akan diforsir seperti apa untuk dapat mencapai target tersebut dalam dua tahun ini. Ini kerja berat dengan skala nasional yang lebih kompleks dan luas, bukan  setingkat walikota, misalnya.

Faktor lain yang penting diperhatikan adalah elektabilitas Puan di kalangan massa pemilih PDIP. Kita kutip lagi survei Charta Politika. Hasilnya hanya 6,2 persen pemilih PDIP yang akan memberikan suaranya untuk Puan. Masih kalah dengan raihan Prabowo yang 9,7 persen. Untuk Ganjar, sebanyak 68,5 persen  pemilih PDIP akan memilih Ganjar. Walau hasil survei sering dipandang sinis dan apriori tapi sejauh ini survei merupakan cara ilmiah  dan secara empiris terbukti.    

Tak ayal faktor Ganjar dan Puan memusingkan PDIP. Bisa mendera, menyandera, bahkan membelah PDIP. Beberapa kali Ganjar diabaikan. Misal, tak diundang di acara HUT PDIP di Jawa Tengah. Ganjar disindir hingga dikritik pedas oleh elite partai, termasuk dinilai ambisius dan kemlinthi mau nyapres. Bahkan sindiran Puan mengenai sosok ganteng tapi tak bisa apa-apa kecuali eksis di medsos, disinyalir dialamatkan ke Ganjar.

Apalagi setelah Jokowi dianggap memberi kode dukungan ke Ganjar, internal PDIP kian bergejolak. Akhirnya Puan  vis a vis Ganjar, berdiri dalam posisi diametral. Apabila Puan menjadi penerus Megawati, maka Ganjar dianggap penerus Jokowi. Padahal cara berpikirnya dapat dicari jalan tengah bahwa Jokowi merupakan tongkat estafet dari Megawati. Jadi, sebetulnya ada mata rantainya dalam lingkaran PDIP. Di sini PDIP diuji, apakah mampu menjalankan fungsi partai sebagai sarana pengatur konflik (conflict management) tau malah sebaliknya.

Berandai-andai

Masalahnya, sebagai putri mahkota, Puan  sudah lama digembleng dan dipersiapkan. Momentum Puan juga dianggap tepat mengingat faktor-faktor: kuatnya dan solidnya PDIP, kharisma Megawati,  efek ekor jas (coattail effect) Jokowi, dan tentu posisi Puan yang berada di puncak jabatan publik. Menunggu lima tahun lagi, mungkin situasi sudah berbeda. Peluang belum tentu datang dua kali. Namun, semua modal politik itu akhirnya harus berhadapan dengan tingkat elektabilitas Puan.

Mari berandai-andai. Andai Ganjar benar-benar diberi tiket Pilpres, urusan pun selesai. Tinggal  PDIP, sebagai mesin politik, punya waktu lima tahun untuk melipatgandakan modal politik Puan. Targetnya pada 2029, Puan betul-betul siap. Saat itu umur Puan pun baru memasuki 56 tahun. Usia yang benar-benar matang untuk memasuki bursa capres. Hanya terpaut 3 tahun lebih tua dibanding Jokowi saat nyapres pada 2014. Tentu saja ini cerita di atas kertas. Sebab, harus memperhitungkan dinamika dalam lima tahun ke depan yang unpredictable serta manuver partai-partai lain yang juga mengelus-elus jagonya.   

Lalu, andai Puan keukeuh dicalonkan, tampaknya ada opsi lain. Mengingat posisi elektabilitasnya rendah, bisa saja Puan dipasangkan sebagai calon wapres. Tampaknya tidak mustahil melihat komunikasi dengan Partai Gerindra. Prabowo sudah tak asing lagi dengan PDIP. Hubungan Megawati dan Prabowo begitu khusus.  Prabowo pernah mendampingi Megawati pada Pemilu 2009. Pada Idul Fitri yang baru berlalu, Prabowo sudah bersilaturahim ke kediaman Megawati. Jadi, kalau Puan mendampingi Prabowo mungkin rasional juga.

Tetapi apakah PDIP mau menyerahkan posisi presiden untuk Prabowo, padahal PDIP yang punya tiketnya. Tentu pilihan menyakitkan. Tetapi di politik itu tidak boleh gunakan emosi apalagi sampai baperan. Politik itu lumbungnya pikiran taktis. Lagi pula sudah ada preseden. Pada Pemilu 1999, ketika demokrasi masih diwakilkan di Senayan, sebagai pemenang pemilu PDIP pun menerima kursi wapres, setelah kalah menghadapi manuver koalisi lain. Megawati baru menjadi presiden setelah Presiden Abdurahman Wahid dilengserkan.

Andai sekarang opsi itu terpaksa diambil PDIP, maka menjadi pemanasan buat Puan menyongsong kursi presiden di Pemilu berikutnya (2029). Saat itu Prabowo pun sudah berusia 78 tahun. Dalam sepuluh tahun ini, kita sudah menyegarkan kepemimpinan nasional. Maksudnya saat ini usia presiden sudah tergolong muda, masih segar, tidak lagi tua. Kita tak ingin lagi terjadi praktik gerontokrasi ketika orang-orang tua memegang kendali pemerintahan. Namun dengan syarat apabila pasangan tersebut menang Pilpres.

Otoritas Megawati

Mengenai pasangan calon memang menarik. Sejumlah lembaga survei pun bikin simulasi perkawinan pasangan. Contohnya, Poltracking menyusun tiga simulasi (16-22 Mei 2022). Pertama,  Ganjar-Erick (27,6 persen), Prabowo-Puan (20,7 persen), dan Anies-Agus Harimurti Yudhoyono (17,9 persen). Kedua, Ganjar-Sandiaga Uno (26,7 persen), Prabowo-Erick (22,5 persen), dan Anies-Puan (12,2 persen). Simulasi ketiga, Ganjar-Erick (26,4 persen), Prabowo-Puan (19,8 persen), dan Anies-Sandiaga (18,9 persen).

Angka-angka itu sekadar gambaran ssja. Memang tidak sedikit yang memandang sinis pada hasil survei, terutama bila elektabilitasnya rendah. Tidak seharusnya survei dilihat sebagai  sesuatu yang final. Bukan juga dicurigai  sebagai bandwagon effect, efek ikutan bahwa hasil survei untuk mempengaruhi. Perlakukan saja survei (asumsinya kredibel) untuk membaca prediksi, melihat peta dukungan, dan membaca tren di lapangan.

Terlepas dari kemelut internal partai dan hasil survei, tentu saja keputusan pengusungan calon PDIP merupakan otoritas Megawati. Selain berpegang pada hasil survei, kalkulasi politik, dan juga insting akan menjadi pertimbangan. Memutuskan “putri mahkota” atau “petugas partai”, tentu harus siap dengan segala risikonya. Dengan pengalamannya yang luas, insting politik Megawati tak sedikit terbukti tepat, karena memadukan aspek rasionalitas. Salah satunya saat memberi tiket Pilpres kepada Jokowi tahun 2014.

Seperti Jokowi, Ganjar  bukan “darah biru”. Ganjar adalah “petugas partai”, seperti halnya Jokowi. Seperti Jokowi juga, Ganjar memiliki elektabilitas tertinggi dalam survei-survei. Dalam berbagai kasus, Ganjar memperlihatnya dirinya adalah banteng sejati. Saat digoda kemungkinan diusung koalisi lain, Ganjar bilang, “Aku PDI Perjuangan!” Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto pun secara retoris mengingatkan partai lain agar tidak melakukan pembajakan. Jadi mungkinkah Megawati mengulangi peristiwa 2014?

                                         Ronin dan Musashi, Sungkowo dan Pranowo

Atau sebaliknya Ganjar akan “terbuang”. Apakah Ganjar bakal menjadi ronin, karena tidak punya tuan pelindungnya. Dalam tradisi Jepang zaman feodal abad ke-12 hingga ke-19, ronin adalah prajurit samurai yang kehilangan tuannya (daimyo) atau kehilangan hak istimewanya. Karena tidak ada patron, samurai-samurai itu pun berkelana menjadi pengembara. Ada yang liar dan menggelandang, tetapi ada yang  menjadi petarung hebat.

Ronin paling masyhur adalah Musashi (1584-1645), yang novelnya ditulis Eiji Yoshikawa. Dalam pengembaraannya, sebagai orang bebas, Musashi justru sangat legendaris karena mampu menaklukkan lawan-lawannya. Akankah Ganjar menjadi ronin yang tanpa tuan, jika benar-benar putri mahkota yang akan diputuskan?

Saya sih kurang yakin. Apalagi di seberang sana tak sedikit tuan-tuan (baca: koalisi partai lain) saling mengamati gerak-gerik kompetitornya. Ibarat pepatah PDIP pun bisa keliru melepaskan punai di tangan demi mengejar sesuatu yang belum pasti. Maka, di sinilah pentingnya bersiasat. Politik tak cukup adu kuat dan adu cepat saja. “Mencegah kekalahan tergantung pada diri kita, sedangkan peluang untuk menang dikondisikan pula oleh musuh,” kata jenderal ahli strategi perang asal China Sun Tzu.

Kalau hitungan mistik, Ganjar kemungkinan terhindar dari kesulitan, setelah nama kecilnya Sungkowo (arti: belasungkawa, dikaitkan dengan kesusahan) diganti Pranowo oleh orangtuanya. Pra berarti sebelum, sedangkan Nowo berarti sembilan. “Sebelum sembilan” mungkin maksudnya bisa “delapan”. Jokowi adalah presiden RI yang ketujuh. Dan, Pilpres 2024 nanti mencari Presiden RI yang kedelapan. Nah loh!

Tenang! Itu cuma ilmu “cocoklogi” berbau mistik saja. Sedangkan politik itu rasional. Kalau rasional bertemu mistik, mungkin koinsiden saja. Di Indonesia, dengan alam pikiran tradisi agraris, memang terkadang mistik suka bercampur dengan pikiran rasional. Istilahnya klenik politik. Ah, daripada mikirin klenik, mending kita tunggu saja titah Megawati, apakah Ganjar diganjar menjadi putra mahkota atau malah terbuang menjadi ronin seperti Musashi?

Terbit di Kompas.com, 16 Juni 2022