Jokowi dan Megawati, Dramaturgi yang Paradoks

M Subhan SD

dok PDI-P/kompas.com

RELASI akur-renggang antara Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri bukan hal baru. Hubungan Presiden RI yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Ketua Umum PDIP itu memang unik. Mungkin seperti karet. Kadang lengket, kadang melar. Kadang tampak akur, kadang terlihat renggang. Dalam dua pekan terakhir, situasi akur-renggang antara Istana (Presiden Jokowi) dan Teuku Umar (kediaman Megawati) menjadi pergunjingan politik.

Awalnya ketika Megawati tak hadir dalam resepsi pernikahan adik Jokowi, Idayati dan Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi, di Solo, 26 Mei 2022. Seminggu kemudian, Megawati absen di Ende, Flores, dalam peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2022. Padahal Megawati adalah Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Makin banyak yang percaya situasi yang sedang renggang itu tatkala “putri mahkota” Puan Maharani, yang kini menjabat Ketua DPR juga tak hadir. Padahal koleganya di Senayan, Ketua MPR Bambang Soesatyo hadir bersama Presiden.  

Faktor kandidat pilpres

Banyak pihak berspekulasi ketidakhadiran Megawati di dua acara penting itu sebagai reaksi terhadap sikap Jokowi yang dinilai berbeda dengan garis partai. Di internal PDIP tampaknya tengah bergeliat. Walaupun belum ada sikap resmi, tapi sudah menjadi pergunjingan publik  bahwa kemungkinan besar “putri mahkota” Puan Maharani akan didorong dalam bursa Pemilihan Presiden 2024. Sinyal-sinyal ke arah itu semakin kentara.

Padahal, dalam berbagai survei, kader PDIP yang memiliki elektabilitas tertinggi adalah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah saat ini. Deklarasi Ganjar sebagai kandidat presiden juga sudah dilakukan beberapa kali oleh relawan. Sejumlah elite PDIP pun meradang. Ada dua kubu. Kubu elite partai yang menolak Ganjar yang diusung oleh kader di akar rumput. Sampai-sampai lahirlah fenomena banteng versus celeng. Pendukung Ganjar di Jawa Tengah malah meneguhkan logo celeng, yang semula dilontarkan sebagai ejekan. Bahkan elite partai sekelas Trimedya Panjaitan mengkritik keras Ganjar yang dianggap kemlinthi (sok).

Di kegaduhan internal ini, Jokowi dinilai cenderung mendukung Ganjar. Jadi, pada minggu sebelumnya, tepatnya 21 Januari 2022, Jokowi hadir membuka rapat kerja nasional (Rakernas) V kelompok relawan Projo (Pro Jokowi) di kawasan Borobudur, Magelang. Saat itu Jokowi berujar, “Urusan politik ojo kesusu sik. Jangan tergesa-gesa, meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini.” Semua perhatian mengarah ke Ganjar yang hadir di acara itu.

Gandeng tangan Jokowi

Namun, seminggu berikutnya, Jokowi dan Megawati bertemu di Istana saat pelantikan Dewan Pengarah dan Ketua serta Wakil Ketua BPIP periode 2022-2027, 7 Juni 2022. Keduanya bertemu empat mata. Bahkan saat menuju mobil, Jokowi berjalan menggandeng tangan Megawati. Menggandeng tangan tokoh yang dihormati adalah kebiasaan Jokowi. Misalnya pernah dilakukan saat menyambut Presiden RI yang ketiga Prof BJ Habibie di Istana Merdeka (2017), kemudian ulama-ulama seperti Habib Luthfi bin Yahya (2017), KH Masbuhin Faqih (2018), KH Maimun Zubair (2018), KH Ma’ruf Amin (2018). 

Bahkan Jokowi menggandeng tangan Raja Salman bin Abdul Aziz saat berkunjung ke Istana Bogor (2017). Gaya Jokowi itu mengingatkan Bung Karno yang juga menggandeng tangan Raja Saud bin Abdul Aziz (1962). Tak heran di media sosial banyak yang memposting kolase foto gandengan tangan Presiden Jokowi dan Raja Salman bersanding foto gandengan tangan Presiden Sukarno dan Raja Saud.

Melihat gestur penghormatan terhadap tokoh-tokoh yang digandengnya, terlihat bahwa Jokowi menghormati Megawati. Foto Jokowi menggandeng tangan Megawati seakan menjadi bukti, yang mematahkan spekulasi keretakan hubungan keduanya. Foto itu membantu para politikus PDIP yang berusaha keras  memberi klarifikasi bahwa tiada kerenggangan antara Megawati dan Jokowi.

Esoknya Jokowi bertemu kembali dengan Megawati saat meresmikan Masjid At-Taufiq di kompleks sekolah partai PDIP di Lenteng Agung, Jakarta.  Seusai peresmian, saat ditanya wartawan mengenai kemungkinan perbedaan pilihan politik dengan Megawati, Jokowi lebih memberi senyuman. Saat itulah Megawati terlihat melirik ke Jokowi (Kompas.com, 8 Juni 2022). Kalau menafsir bahasa tubuh, lirikan bermakna ketertarikan. Sepertinya Megawati tertarik menunggu jawaban Jokowi.

Tetapi Jokowi menguncinya, “Ibu Mega itu seperti ibu saya sendiri. Saya sangat, sangat, sangat menghormati beliau. Dan hubungan anak dengan ibu ini hubungan batin. Saya sangat hormat kepada beliau yang selalu penuh dengan rasa kepercayaan yang tidak pernah berubah. Kemudian dalam perjalanan panjang kadang-kadang ada perbedaan anak dan ibu ya itu wajar-wajar saja, biasa saja.”

Ibu dan anak, dan petugas partai

Sekali lagi, hubungan “anak” dan “ibu” ini memang unik. Penuh dinamika. Megawati adalah seorang tokoh sentral PDIP. Di PDIP, Megawati tak pernah tergantikan. Dalam tiga gelaran Pemilu (1999, 2004, 2009), Megawati menjadi calon presiden. Walaupun PDIP pemilik suara terbesar pada Pemilu 1999 tetapi Megawati gagal menjadi presiden setelah dikerjai koalisi di parlemen. Ia menjadi wakil presiden dan kemudian menggantikan Presiden KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur setelah dilengserkan.

Pada dua ajang pemilihan langsung (2004 dan 2009), Megawati gagal meraih kursi orang nomor satu di negeri ini.  Pada Pilpres 2014, Megawati tak lagi mengikuti bursa capres. Tiket Pilpres diserahkan ke Jokowi, kader PDIP yang punya elektabilitas tinggi, yang kemudian sukses merebut kursi presiden dalam dua gelaran Pilpres (2014 dan 2019). Kerelaan Megawati mengusung kader terbaiknya patut diacungi jempol.  

Setelah menjadi presiden, Jokowi menjadi tokoh sentral di negeri ini. Sebagai presiden, Jokowi memberi perlakuan sama pada semua partai, tiada privilese. Di permukaan, PDIP tidak terlihat mendapat perlakuan khusus. Rupanya mungkin inilah yang ditafsir hubungan Jokowi berjarak dengan PDIP. Sampai ada yang menggambarkan dengan ungkapan “kacang lupa kulitnya”. Tak heran pula Megawati pun kerap mengingatkan bahwa Jokowi adalah “petugas partai”, sebagaimana berlaku juga terhadap politikus PDIP lainnya.

Barangkali pilihan diksi ini yang kerap diperbincangankan. Banyak pihak bertanya-tanya penggunaan istilah tersebut. Di telinga sebagian orang, istilah “petugas partai” terkesan minor. Terbayang dalam pikiran, hubungan itu antara superordinasi dan subordinasi. Sebetulnya istilah “kader partai” lebih umum, normal, netral, dan lebih diterima banyak kalangan. Ketika istilah “petugas partai” disematkan pada kader partai yang notabene terpilih sebagai presiden, terdengar peyoratif.

Dramaturgi: panggung para aktor

Kalau memandang lewat teori dramaturgi yang dikemukakan Erving Goffman  pada 1959 (Ritzer dan Goodman, 2013), justru terlihat paradoks. Dalam dramaturgi, kehidupan atau interaksi seperti pertunjukan drama atau teater. Manusia adalah aktor. Tentu saja ada penonton. Ini artinya menyangkut peran. Peran-peran yang dimainkan para aktor membentuk makna, yang kemudian meninggalkan kesan pada lawan interaksi.

Ada dua area, yaitu panggung depan (front stage) dan belakang panggung (back stage). Di atas panggung, di bawah sorot mata penonton, para aktor memainkan peran sebaik-baiknya. Di panggung, ada ukuran “pantas-memantasi”. Permainan peran sebaik-baiknya memudahkan penonton memahami tujuan dari aktor, bukan malah membingungkan.  Di panggung, para aktor melakukan penyesuian diri, menghindari disrupsi. Karena itu, pentingnya manajemen kesan (impression management). Maka tentu saja penting memahami situasi, setting panggung, kata (dalam dialog), hingga kostum dan instrumen lainnya.

Mencermati panggung politik antara dua aktor di atas justru terlihat menjauh dari peran-peran dramaturgis. Tampak paradoks. Seakan-seakan terbalik. Back stage menjadi front stage. Ini juga nyaris tidak ada teknik mistifikasi yang disyaratkan dalam dramaturgi. Dengan mistifikasi ada jarak sosial antara aktor dan penonton. Tanpa mistifikasi, penonton bisa mempertanyakan pertunjukan, tidak terpesona sama sekali dengan adegan-adegan yang dipertontonkan. Kesan yang muncul posisi Jokowi sebagai presiden mengalami reduksi.

Akhir kesetiaan pada partai

Ketika menduduki kursi presiden, aktor bukan lagi “petugas partai” melainkan pemimpin yang mengabdi kepada seluruh rakyat. Presiden bukan milik dan untuk satu kelompok, partai, atau golongan tertentu saja. Maka, seorang presiden haruslah independen dan otonom, termasuk dari partai  pengusungnya. Dalam teori klasik, posisi partai politik di sebuah negara demokratis adalah sebagai jembatan antara pemerintah (the ruler) dan pihak yang diperintah (the ruled). Dalam menjalankan fungsinya, partai politik sering disebut perantara (broker). Bagi pemerintah, partai politik bertindak sebagai “alat pendengar”, sedangkan bagi masyarakat partai politik sebagai “pengeras suara” (Budiardjo, 1994).

Berhadapan dengan partai, posisi presiden haruslah superior, bukan inferior. Superioritas ini pernah ditunjukkan Presiden Sukarno sewaktu menggertak partai-partai yang selalu bertengkar dan bikin kisruh. Pada tahun 1956, setidaknya dua kali Presiden Sukarno mengancam akan membubarkan partai-partai. Padahal, kala itu posisi partai begitu kuat setelah panen pada Pemilu 1955.

Dalam pidatonya, Presiden Sukarno bersuara lantang, “Ada penyakit yang kadang-kadang lebih hebat daripada rasa suku dan rasa daerah! Yaitu penyakit apa? Penyakit kepartaian saudara-saudara!….. lha mbok ya pemimpin-pemimpin partai-partai ini berjumpa satu sama lain, mengadakan musyawarah satu sama lain, dan lantas mengambil keputusan satu sama lain: marilah sekarang ini bersama-sama kita menguburkan semua partai!”

Kita semua memahami bahwa seorang presiden bekerja berdasar amanat konstitusi, bukan garis partai. Konstitusi mengacu bangsa dan negara. Tampaknya penting untuk mengingat wasiat Presiden Persemakmuran Filipina Manuel Quezon. Pada tahun 1941, Quezon mengatakan, “Kesetiaan saya pada partai berakhir tatkala kesetiaan pada negara dimulai (Ang katapatanko sa aking partido ay magwawakas sa pagsibol ng katapatan ko sa aking bansa)”. Sepenggal kata-kata sakti itulah yang mesti tertanam di benak para politikus.***

terbit di Kompas.com, 10 Juni 2022