subhan.esde@yahoo.com

Berhentilah Membenci!

Oleh M Subhan SD

Sesuai konstitusi, Pemilihan Presiden 2024 digelar dua tahun lagi. Berarti kita mesti bersiap menghadapi suhu politik memanas kembali, meski sejak Pilpres 2014 narasi politik juga belum beranjak dari kekenesan dan kesinisan. Media sosial, kolom komentar di berita-berita daring, hingga saling lapor ke polisi, memperlihatkan ekspresi permusuhan.

Diksi negatif seperti bodoh, dungu, cebong, kampret, kadrun, jin buang anak, genderuwo, setan terpampang jelas di gawai, internet, dan media massa. Tak risih lagi mempertontonkan sikap reaktif, emosional, atau sumbu pendek.

Alhasil, ruang demokrasi minim perdebatan konstruktif. Kritik bukan pada isu substansial, melainkan menyasar gosip personal. Residu kontestasi, baik pilpres maupun pilkada, tampaknya telah mengikis pilar-pilar demokrasi. Setelah dua dasawarsa praktik demokrasi elektoral, negeri kita baru berada di kategori demokrasi cacat (flawed democracy) atau negara setengah bebas (partly free).

Politik seteru

Situasi tersebut tampaknya akan berlarut-larut manakala dua fenomena di arena politik tidak teratasi. Pertama, menguatnya politik seteru (contentious politics). Perbedaan bermuara pada pertengkaran. Beda gagasan, beda kelompok, beda partai, beda ideologi, berujung pada perselisihan. Praktik politik cenderung eskalatif: kontestasi-kontradiksi-polarisasi-konfrontasi.

Politik seteru, merujuk Charles Tilly dan Sidney Tarrow (Contentious Politics, 2007), adalah interaksi ketika aktor membuat klaim berkaitan dengan kepentingan pihak lain. Semula politik seteru dikenal dalam terminologi gerakan sosial tetapi kemudian berkembang dapat menjelaskan fenomena konfliktual lebih luas.  

Dalam kehidupan sosial, ada tiga ciri umum politik seteru, yaitu unsur perselisihan/contentious (satu pihak membuat klaim kebenaran dan kepentingan untuk mempengaruhi kelompok lain), aksi kolektif/collective action (gerakan mengatasnamakan kepentingan bersama), dan aktivitas politik/politics (berinteraksi dengan kekuasaan/pemerintahan). 

Ada tiga mekanisme yang membuat politik seteru dapat bekerja, yaitu ada perantara yang membangun koneksi baru (brokerage); penyebaran bentuk dan isu pertengkaran serta cara mengemasnya (diffusion); dan keterlibatan aktor menggerakkan aksi (coordination action). 

Dalam banyak kasus, mekanisme dan proses politik seteru berhasil mengubah kelompok nonpolitik menjadi aktor politik (social appropriation), mempertegas batas-batas kelompok (boundary activation), mendapat sinyal dukungan pihak luar (certification), dan terbentuknya identitas baru yang mengintegrasikan kelompok (identity shift).

Pada titik ini politik seteru bersifat instrumentalis. Kontestasi menciptakan insentif bagi partai, baik untuk membangun koalisi maupun untuk menggemakan ruang publik guna menggiring preferensi pemilih. Tak mengherankan, banyak sikap “asal beda” walau terlihat norak dan menambah kegaduhan di masa sulit Pandemi Covid-19 saat ini.

Dengan platform digital, amplifikasi isu disetting supaya viral  sehingga konfigurasi politik terus terbelah. Maklum saja target politik seteru di antaranya bargaining position. Tatkala  kepentingan “oposisi” terakomodasi dalam struktur pemerintahan (koalisi) pasca pilpres biasanya suhu politik otomatis menurun. Artinya, sebagai instrumen, politik seteru bisa dikendalikan dengan pembagian kekuasaan (power sharing).  

Permusuhan partisan

Situasi berbeda terjadi di akar rumput. Pertikaian tak berhenti seusai pesta. Inilah fenomena kedua di politik, yaitu mengentalnya permusuhan atau kebencian partisan (partisan animosity). Istilah ini kerap disejajarkan dengan polarisasi politik, intoleransi politik, atau sektarianisme politik. Perilaku elite yang mempertontonkan politik seteru turut menciptakan iklim kondusif suburnya permusuhan partisan.

Rachel Hartman dkk (Interventions to Reduce Partisan Animosity, Februari 2022) mendefinisikan permusuhan partisan sebagai pikiran, perasaan, atau perilaku negatif terhadap kelompok berbeda. Dalam konteks ini terlihat tiga situasi: othering (memandang pihak lain secara fundamental berbeda dari kelompoknya), aversion (rasa tidak suka dan tidak percaya kepada kelompok lain), dan moralization (memandang kelompok lain bermoral rendah).

Kalau politik seteru di level elite tampak instrumentalis, permusuhan partisan di akar rumput cenderung ideologis. Semakin mencemaskan bila dikendalikan oleh para operator militan, dengan memainkan isu-isu lain semisal politisasi agama yang marak diusung di pilkada dan pilpres. Permusuhan partisan dapat menolak suatu kebijakan publik, hanya gara-gara kebijakan itu bukan bersumber dari kelompoknya. Di sini permusuhan partisan membuntukan gagasan dan menihilkan kerja nyata.

Belajar mencintai  

Lalu bagaimana mereduksi permusuhan partisan? Hartman dkk menawarkan konsep menarik, bahwa diperlukan intervensi di tiga aras dengan kerangka TRI, yakni Thoughts, Relationships, dan Institutions. Pada aras thoughts (pemikiran), targetnya ada koreksi terhadap mispersepsi  mengenai kelompok berbeda, seraya menemukan kesamaan masing-masing kelompok.

Pada aras relationship (hubungan), berfokus pada dialog dan interaksi dengan lawan politik. Selama ini anggota kelompok minim berinteraksi dengan kelompok lain. Mereka cenderung berkomunikasi sesama anggota kelompok. Situasi inilah yang bisa terjebak efek ruang gema (echo chamber effect) yang menolak pandangan berbeda. Di media sosial kita biasa menyaksikan aksi blokir, unfriend, unfollow, atau left grup. Untuk itu, intervensi relasi ini penting guna membangun hubungan positif yang produktif.

Pada aras institutions (kelembagaan), mendesaknya perubahan wacana publik dan institusi, mulai dari media hingga struktur politik. Tujuannya agar terbentuk budaya masyarakat berperadaban.  

Penting disadari bahwa menghormati perbedaan adalah prinsip demokrasi. Entitas politik berbeda ibarat lawan di arena pertandingan bukan medan peperangan. Chantal Mouffe (Deliberative Democracy or Agonistic Pluralism, 2000), memandang relasi demokratis sebagai persaingan antarkelompok, bukan bentuk permusuhan. Entitas politik berbeda dipandang sebagai lawan (adversary), bukan musuh (enemy).

Kita memaklumi politik selalu berkemelut, karena sejatinya tempat beragam kepentingan bertemu. Namun, membiarkan politik terjebak template kebencian terus-menerus, tentu mustahil menghadirkan politik sebagai medium kemaslahatan bersama (bonum commune).  

Oleh karena itu, mengedepankan kebajikan (virtue) sebagai bentuk tanggung jawab berpolitik, harus menjadi kesadaran kolektif. Ini membutuhkan komitmen kuat, baik elite maupun publik berbeda kelompok, untuk sama-sama mewujudkan Pilpres 2024 benar-benar sebagai ajang kontestasi sehat. Kita semua harus berani memutus mata rantai permusuhan yang telanjur mengusutkan arena politik.

Sebagai acuan, demokrasi AS yang terlepap akibat permusuhan partisan sejak kampanye Pilpres 2016, pun berproses menyembuhkan diri. Kajian Pew Research Center (2020) terhadap postingan Facebook anggota Kongres pada 2017 dan 2018, menemukan reaksi “marah” (angry) lebih banyak 5 juta dibanding emotikon “cinta” (love).  Tetapi, pada 2019 situasi berbalik, bahkan pada tujuh bulan pertama tahun 2020, postingan anggota Kongres itu mendapat emotikon “cinta” lebih banyak 2 juta dibanding reaksi “marah”.

Saya jadi teringat ucapan Nelson Mandela (1918-2013), bapak bangsa Afrika Selatan.  Meski menjadi korban kebrutalan kebencian politik Apartheid, Mandela justru memberi pelajaran,  “Jika mereka dapat belajar membenci, mereka dapat diajari untuk mencintai.” Dan, mencintai Indonesia adalah noblesse oblige kita semua. Maka, berhentilah membenci!

Artikel opini ini terbit di www.kompas.id, 10 Maret 2022