subhan.esde@yahoo.com

Manusia Termulia

Tatkala Nabi Muhammad wafat, banyak yang tak percaya. Nabi adalah manusia termulia, utusan Allah, pembawa wahyu untuk seluruh umat manusia. Umar bin Khattab pun tak percaya. Ia menduga nabi sedang pingsan. Umar sampai berbicara keluar masjid yang didengar banyak orang. Semua gundah. Semua pilu. Semua kebingungan. Mereka hidup bersama nabi, menyaksikan kehidupannya, mendengar tutur katanya yang lembut, menyaksikan kesantuan perilakunya. Para wanita memukul-mukul muka sendiri. Di luar Umar terus berbicara di depan banyak orang bahwa nabi hanya pergi kepada Tuhan seperti Nabi Musa yang menghilang dari tengah-tengah umatnya selama 40 hari.

Abu Bakar Ash-Shiddiq tiba di rumah Aisyah, di mana nabi wafat. Abu Bakar memperhatikan nabi. Diangkatnya kepala nabi. “Alangkah sedapnya di waktu engkau hidup, alangkah sedapnya pula di waktu engkau wafat,” kata Abu Bakar setelah memperhatikan paras nabi, “Maut yang sudah ditentukan Tuhan kepadamu sekarang sudah sampai kaurasakan. Sesudah itu takkan ada lagi maut menimpamu.” Abu Bakar meletakkan kembali kepala nabi di bantal. Ia keluar rumah. Ia mendapati Umar masih terus meyakinkan banyak orang bahwa nabi tidak meninggal. “Sabar, sabarlah Umar! Dengarkan!” kata Abu Bakar. Tetapi Umar tak mau diam. Umar yang tegas itu seperti kehilangan tenaga. Ia tak percaya nabi telah wafat.

Haekal (1984) mengisahkan, Abu Bakar lalu berbicara,”Saudara-saudara!” Orang-orang mulai beralih memperhatikan Abu Bakar, orang yang jujur. “Barang siapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barangsiapa mau menyembah Tuhan, Tuhan hidup selalu tak pernah mati”. Kemudian Abu Bakar membacakan firman Allah: “Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur” (QS. Ali Imran: 144).

Umar yang mendengar ayat yang dibacakan Abu Bakar itu itu langsung lunglai. Tubuhnya jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya tak bertenaga, tak mampu lagi menopang tubuhnya ketika dia benar-benar menyadari bahwa nabi telah wafat. Betapa pedihnya Umar dan kaum Muslim ketika benar-benar ditinggal nabi. Mereka hidup bersama, belajar langsung pada nabi. Sebuah pengalaman luar biasa yang nyaris sulit diungkapan dengan untaian kata-kata sekalipun. Seorang nabi, tetapi Muhammad menunjukkan manusia yang sangat mulia. Perilaku dan bahasanya teramat santun. Selalu menebar kebaikan, jauh dari kekasaran apalagi menebar kebencian. Menurut KH Mustofa Bisri atau Gus Mus (1995), keistimewaan nabi yang sulit ditiru oleh pemimpin lainnya justru adalah kemanusiaannya. Sebagai manusia yang paling manusiawi, paling memahami dan menghargai manusia.

Gus Mus melukiskan, nabi adalah manusia biasa: beribadah sebagai hamba, hidup bergaul biasa dengan masyarakat, pergi ke masjid juga ke pasar, bergembira dan bersedih meski tak keterlaluan, tertawa meski tidak pernah ngakak, menangis meski tak sampai tersedu-sedu. Nabi menjahit sendiri terompahnya yang putus atau pakaiannya yang robek. Nabi membantu urusan rumah tangga dan belanja ke pasar. Nabi memanjakan, bertengkar, dan bercanda dengan istri-istrinya. Nabi merangkak main kuda-kudaan dengan cucunya, Hasan dan Husain. Nabi juga pernah mentakziahi sahabatnya yang burungnya mati dan mendoakan semoga dapat ganti segera. Itulah kewajaran hidup manusia termulia. “Kalau neko-neko dan sulit dilakukan oleh umumnya manusia, jelas bukan—atau sudah dilewengkan—ajaran nabi,” sebut Gus Mus.  (MSubhan SD)

Ngabuburit Senja, 25 Ramadhan 1442H/7 Mei 2021