subhan.esde@yahoo.com

Cara Beragama Orang Berilmu

Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i memiliki pertalian keilmuan teramat dekat. Pendiri mazhab Maliki adalah Imam Malik. Nama lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin `Amr Al-Asbahi Al-Madani. Lahir di Madinah sekitar tahun 93 H atau tahun 712. Imam Malik wafat sekitar tahun 795 atau 174 H. Pendiri mazhab Syafi’i adalah Imam Syafi’i atau Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Muthalibi Al-Qurasyi. Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina, tahun 150 H atau tahun 767. Imam Syafi’i wafat di Fustat, Kairo tahun 205 H atau tahun 820. Imam Syafi’i adalah seketurunan dengan Nabi Muhammad, melalui jalur Muthalib. Hubungan Imam Malik dan Imam Syafi’i ini memang begitu dekat, antara guru dan murid. Imam Malik adalah guru Imam Syafi’i.

Walaupun menimba ilmu di kolam sang guru, tetapi sang murid mempunyai pendapat berbeda. Buktinya mereka membangun mazhab berbeda. Meskipun demikian, keduanya saling menghormati. Ada kisah menarik tentang mereka. Suatu hari, dalam suatu majelis belajar, Imam Malik menyampaikan bahwa masalah rezeki sudah diatur oleh Allah. Rezeki datang tanpa sebab. Manusia cukup bertawakal. Allah yang akan memberikan rezeki. “Lakukan yang menjadi bagianmu, biarkan Allah mengurus lainnya,” ujar Imam Malik. Malik bersandar pada hadits nabi, “Andai kalian bertawakal kepada Allah sebenar-benarnya tawakal niscaya Allah akan berikan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang” (HR. Ahmad).

Tetapi sang murid berpendapat lain. Ia menyanggah, “Wahai guru, seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki?” Syafi’i berpendapat,  rezeki harus dicari. Tidak datang dengan sendirinya. Maka dibutuhkan usaha dan kerja keras. Kedua-duanya bertahan dengan pendapat masing-masing. Tetapi tidak ada rasa kesal apalagi sampai membenci satu sama lain. Sang guru tetap memperlakukan baik muridnya itu. Sebaliknya sang murid tetap menaruh rasa hormat pada guru yang mengajarkan ilmunya itu. Hubungan yang menyenangkan.

Sampai suatu hari, ketika Syafi’i sedang berjalan-jalan, tampaklah sekelompok orang tengah memanen buah anggur. Ia pun berinisiatif membantu mereka memetik buah anggur. Setelah pekerjaannya selesai, Syafi’i mendapatkan beberapa ikat buah anggur sebagai imbalan atas bantuan yang diberikannya. Syafi’i senang sekali. Peristiwa itu akan digunakannya sebagai bukti kebenaran argumentasi pendapatnya tentang rezeki. Kalau tidak berusaha membantu orang memanen anggur, mana mungkin mendapatkan buah anggur. Buru-buru ia pulang ingin segera membuktikan kebenaran pendapatnya pada sang guru.

Ketika ia tiba kebetulan sang guru sedang duduk santai. Syafi’i meletakkan buah anggur yang dibawanya itu. Lalu berceritalah ia kepada sang guru  tentang peristiwa yang baru saja dialaminya. “Kalau saya tidak keluar dan tidak membantu memetik anggur, pasti anggur ini tidak saya dapatkan,” ujar Syafi’i mempertegas argumentasinya. Sang guru tersenyum saja. Lalu mengatakan, “Seharian ini aku tidak keluar. Hanya mengambil tugas sebagai guru. Sedikit membayangkan alangkah nikmatnya jika di hari panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawa anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab?” “Cukuplah dengan tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, biarkan Allah yang mengurus lainnya,” kata imam Malik.

Guru dan murid akhirnya sama-sama tertawa. Baik Imam Malik maupun Imam Syafi’i sama-sama memiliki argumentasi yang kuat dan sama-sama dapat membuktikan pendapat masing-masing. Tidak ada yang merasa paling benar, dan tidak juga menyalahkan pihak lain. Mereka malah dapat mengambil hukum berbeda berdasarkan acuan yang sama. Begitulah karakter orang-orang berilmu. Rasanya jauh sekali dengan kondisi sekarang ini, ketika banyak orang merasa paling benar, lalu menuding-nuding orang lain yang salah. Seakan-akan perspektifnya sendiri yang paling benar. Sebaiknya, belajarlah dari kisah dua ulama besar itu! (M Subhan SD)

Ngabuburit Senja, 23 Ramadhan 1442 H/5 Mei 2021