subhan.esde@yahoo.com

Wahyu

Tanggal 17 Ramadhan diperingati sebagai turunnya wahyu (Nuzulul Quran) saat Nabi Muhammad bertafakur, merenung, mengasingkan diri di gua Hira, sekitar 4 kilometer dari pusat kota Mekkah. Nabi sering menyendiri ke gua Hira setelah mendapatkan tanda-tanda wahyu lewat mimpi baik.  Pengasingan diri atau khalwat atau tahannuth adalah latihan-latihan spiritual penuh disiplin,  yang juga sudah ada dalam tradisi-tradisi religius lainnya (Armstrong, 2001). Nabi kembali ke rumah ketika bekal habis. Setelah mengambil perbekalan yang disiapkan Khadijah, sang istri, lalu nabi balik lagi ke gua Hira.

Sampai suatu waktu didatangi malaikat Jibril. “Bacalah!” kata Jibril. “Aku tidak pandai membaca,” jawab nabi. Kala itu nabi memang tak bisa baca dan tulis (ummi). Nabi malah ditarik dan didekap Jibril sampai kepayahan dan sulit bernapas. Jibril mengulangi lagi, “Bacalah!”. Nabi tetap menjawab, “Aku tidak pandai membaca”. Kemudian Jibril kembali mendekap, nabi kembali kepayahan. “Bacalah!” Jibril mengulangi lagi. Tetapi nabi tetap menjawab, “Aku tidak pandai membaca.”  Jibril kembali mendekap nabi untuk ketiga kalinya. Begitu melepaskan tubuh nabi, Jibril mengatakan, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Demi Tuhanmu Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” Itulah bagian awal Surat Al-Alaq (surat ke-96).

Nabi menggigil ketakutan. Nabi pulang ke rumah. “Selimuti aku, selimuti aku! Sesungguhnya aku cemas atas diriku (akan binasa),” kata nabi kepada Khadijah. Khadijah menenangkan, “Jangan takut ! Demi Allah Tuhan sekali-kali tidak akan membinasakan Anda. Anda selalu menghubungkan tali persaudaraan, membantu orang  sengsara, mengusahakan barang keperluan yang belum ada, memuliakan tamu, menolong orang kesusahan karena menegakkan kebenaran.” Khadijah pun membawa nabi menemui sepupunya, Waraqah bin Naufal, imam Nasrani. Setelah mendengar kisah nabi di gua Hira, Waraqah berkata, “Inilah Namus (malaikat) yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Semoga saya masih hidup ketika itu, yaitu ketika Anda diusir oleh kaum Anda.” “Apakah mereka akan mengusirku,” tanya nabi. “Belum pernah seorang pun yang diberi wahyu seperti Anda  yang tidak dimusuhi orang. Apabila saya masih mendapati hari itu, niscaya saya akan menolong Anda sekuat-kuatnya,” kata Waraqah yang tak lama kemudian meninggal.

Wahyu rurun tidak selamanya dalam bentuk verbal. Terkadang berupa suara yang datang dari langit atau seperti bunyi lonceng. Nabi harus berpikir keras memahami isi wahyu tersebut. “Kadang-kadang wahyu datang kepadaku (kedengaran) seperti bunyi lonceng . Itulah yang sangat berat  bagiku. Setelah bunyi itu berhenti, lantas aku mengerti apa yang dikatakannya,” kata nabi. Peristiwa turun wahyu adalah situasi atau momen yang begitu berat dan sulit dirasakan nabi. Bahkan Aisyah bercerita, pernah nabi menerima wahyu pada suatu hari di musim dingin sekali. Tetapi Aisyah melihat sekujur tubuh nabi terlihat bermandi keringat. (M Subhan SD)

Ngabuburit Senja, 16 Ramadhan 1442 H/28 April 2021