subhan.esde@yahoo.com

Egalitarianisme

Jauh sebelum doktrin persamaan (egalite) dikumandangkan dalam Revolusi Perancis 1789, prinsip itu sudah diwarisi lama dalam tradisi Islam. Semua orang setara. Kalangan elite atau rakyat jelata, tidak ada pembedaan perlakuan. Kasus ini dapat ditelusuri tatkala Rasulullah sibuk berdakwah pada masa awal-awal Islam. Suatu waktu nabi melakukan pertemuan dengan para pembesar Quraisy. Di antaranya Utbah bin Rabiah, Abu Jahal ibnu Hisyam, dan Abbas ibnu Abdul Muttalib, Umayah bin Khalaf, dan Walid bin Mughirah. Nabi begitu serius berbicara dengan mereka, karena nabi sangat berharap mereka masuk Islam. Tiba-tiba, sedang seriusnya pembicaraan, datanglah Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat yang tunanetra.

Ketika penyebaran Islam masih sembunyi-sembunyi, Abdullah sudah beriman. Ia adalah sepupu Khadijah binti Khuwailid, istri nabi. Abdullah langsung menyela pertemuan, menanyakan suatu masalah yang ingin segera jawabannya. Padahal nabi serius sekali memberi penjelasan kepada para pembesar Quraisy itu.  Kontan saja, kedatangan Abdullah mengganggu pertemuan. Nabi pun cuek saja dan tetap berbicara dengan para pembesar itu. Sampai raut wajah nabi pun berubah masam atau cemberut.

 Namanya nabi, Allah langsung memberi teguran. Sepulang dari pertemuan itu, turunlah wahyu Al-Quran surat Abasa: “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling; karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum); dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa); atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya?; Adapun orang yang merasa  dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy); maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya; padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman) (QS Abasa: 1-7). Allah mengingatkan nabi dengan cara yang indah; “Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan (QS Abasa: 11).

Islam mengajarkan semua manusia itu setara. Bukan tergantung status sosial, jabatan, atau kekayaannya. Inilah prinsip egalitarianisme. Semua diperlakukan sama. Spirit kesetaraan ini alangkah indah bila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali dijumpai, “orang-orang atas” ingin mendapatkan privilese, lebih dari orang lain. Jangan mentang-mentang pejabat atau orang kaya, merasa boleh melewati bahu jalan tol, misalnya. Atau banyak mobil pribadi yang menggunakan sirine dan rotator (strobo), meskipun melanggar UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Padahal, “Allah memerintahkan Rasulullah agar tidak mengkhususkan pemberian peringatan itu hanya kepada seseorang saja, tetapi hendaklah bertindak sama, antara orang mulia, orang lemah, orang miskin, orang kaya, orang terhormat, hamba sahaya, laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang-orang dewasa,” tulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Ngabuburit Senja, 25 Ramadhan 1441/18 Mei 2020

2 thoughts on “Egalitarianisme”

  1. Satriwan Salim says:

    Prinsip kesetaraan. Itulah sejatinya Islam. Bahwa yg tinggi kedudukannya hanya Yang Maha Tinggi.

    Bahwa manusia itu hanya dipandang takwanya, bukan lahirnya.

    But anyway, di masyarakat Islam tradisionalis prinsip “maqom/tingkatan” (walau lebih ke rohani/relasi santri dan Kyai, dst) tetap eksis. Bahkan direproduksi. Kira-kira itu sesuai dg prinsip egalitarianisme Islam ndak yah, menurut Buya Subhan?

  2. M Subhan SD says:

    Prinsip kesetaraan dipegang teguh dalam konteks adanya diskriminasi dan ketidakadilan. Tetapi dalam konteks sosial kita dididik juga untuk memiliki rasa hormat, misal pada orang yang lebih tua. Relasi kiai dan santri tampaknya lebih dalam konteks sosial, terlebih lagi dalam satu komunitas.
    Terima kasih mas Satriwan, pandangan kritisnya bisa dijadikan artikel menarik tuh.

Comments are closed.