subhan.esde@yahoo.com

Imajinasi Kebangsaan yang Rapuh

Sumpah Pemuda 1928 adalah penemuan sejarah luar biasa. Rumusan ”Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa; Indonesia”, adalah konsep yang solid. Menyatu dari serakan multietnik, reruntuhan sejarah, dan tumpukan penderitaan manusia. Itulah identitas bangsa kita yang berangkat dari kesadaran bersama yang mengandung cita-cita, paham, ideologi, dan jiwa. Ada dua kondisi yang melandasi bangsa. Pertama, rakyat harus menjalani proses sejarah bersama-sama. Kedua, ada kemauan hidup untuk menjadi satu kesatuan.

Secara semantik, bangsa (nation) berasal dari bahasa Latin, yakni natio yang berakar dari kata nascor yang punya makna ”saya lahir”. Namun, dalam perjalanan sejarah, nation mengalami perkembangan menjadi ideologi politik yang jauh lebih kompleks dari sekadar transformasi semantiknya. Karena itu, bangsa sesungguhnya lebih berorientasi ke depan ketimbang terpaku pada latar belakangnya. Jadi, bukan melulu karena faktor kesamaan ras, budaya, bahasa, agama, wilayah, dan identitas lainnya yang tak lain adalah kondisi obyektif.

Tak heran, Ernest Renan (1882), filsuf paling terkenal mengenai nasionalisme, menyatakan bahwa kebangsaan (nasionalisme) merupakan jiwa yang dipengaruhi kesamaan sejarah, nasib, tetapi memiliki tujuan sama dan sepakat untuk hidup bersama-sama (le desir de vivre ensemble). Nasionalisme adalah kondisi subyektif yang tak bisa diukur dengan faktor-faktor obyektif. Ras, budaya, bahasa, agama, dan wilayah adalah faktor pendorong munculnya sebuah bangsa, tetapi bukan faktor pembentuknya.

Apabila ada pikiran yang menyatakan bangsa merupakan batas ras atau identitas lainnya, itu adalah pikiran kolot yang telah dibantah sejak lampau. Tokoh bangsa Gatot Mangkoepradja pada 1932 sudah memberikan pencerahan bahwa ”satu bangsa (natie) itu tak tergantung asal keturunan atau ras, tak tergantung persamaan bahasa, tak tergantung persamaan agama, tak tergantung dari bestuur dan organisasi, tetapi hanyalah terutama tergantung dari syarat nasib dan kebutuhan atau kepentingan sama”.

kebangsaan (nasionalisme) merupakan jiwa yang dipengaruhi kesamaan sejarah, nasib, tetapi memiliki tujuan sama dan sepakat untuk hidup bersama-sama (le desir de vivre ensemble)

Ernest Renan

Bangsa Indonesia, seperti juga Amerika Serikat atau Swiss, bukan terkungkung satu ras atau bahasa, melainkan kemauan untuk hidup bersama itulah yang menjadi fondasi kebangsaan mereka. Artinya, pandangannya amat visioner jauh ke depan. Itulah yang disebut Hugh Seton-Watson (1977) sebagai nasionalisme politik. Sebaliknya, ada juga bangsa-bangsa yang nasionalismenya terbentuk berdasarkan budaya (nasionalisme budaya), seperti China, Jepang, Jerman, dan Perancis.

Walaupun konsep Indonesia sebagai bangsa dianggap paling final dan sempurna, bangsa adalah ruang hidup yang tidak boleh membeku. Menurut Hans Kohn (1976), bangsa adalah hasil tenaga hidup dalam sejarah. Ibarat api yang tidak pernah padam. Seperti air yang terus mengalir. Semisal angin yang terus bertiup. Dan, seperti tanah yang terus subur menghidupi tanaman. Maka, kebangsaan tidak berhenti pada diskursus era HOS Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo, Agus Salim, Tan Malaka, Soekarno, Ki Hadjar Dewantara, Abdul Rivai, Achmad Soebardjo, Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, Moh Hatta, AA Maramis, dan para pejuang lainnya.

Proses membangsa bukan cerita masa silam atau hanya menjadi mission sacre pejuang di masa lampau saja. Setiap generasi memikul noblesse oblige untuk mengisi ruang-ruang kebangsaan agar terus hidup dan dinamis. Menjaga, merawat, dan menghidupi kebangsaan kita adalah tanggung jawab bersama setiap anak bangsa. Karena itu, adalah sikap pengecut apabila di antara kita bukan saja tidak mau memikul tanggung itu, melainkan lebih parah lagi justru merobek-robek rajutan kebangsaan. Politik identitas yang menguak perbedaan ras, etnik, agama, dan identitas lain menjadi ancaman terhadap kebangsaan. Praktik kekerasan, diskriminasi, ketidakadilan, dan kemiskinan justru merusak kebangsaan kita.

Apabila dalam proses membangsa ini hampir selalu ada praktik-praktik yang bertentangan dengan prinsip kebersamaan, tentu saja bukan kebangsaannya yang dituding sebagai ”tertuduh”. Apabila ada etnik yang terlihat mendominasi, tentu bukan kebangsaannya yang dipersalahkan. Begitu juga jika terjadi diskriminasi atau kekerasan (kelompok etnik atau agama), tidak lantas direduksi sebagai kegagalan membangsa. Membenahi praktik yang keliru adalah tanggung jawab bersama, bukan menuding ”bangsa” sebagai kegagalan.

Tentu banyak paradoks dalam proses membangsa. Tetapi, pengalaman sejarah menunjukkan kita bukan termasuk bangsa fatalis. Apabila Ben Anderson (1983) menyebut bangsa adalah komunitas terbayang (imagined community), rasanya perlu disadari bahwa bisa jadi imajinasi kebangsaan kita yang teramat rapuh. Sering kali ”bangsa” dikesankan elitis, seperti air hujan yang jatuh dari langit, bukan dipandang sebagai mata air yang menyembul dari akar-akar bumi Indonesia: dari Aceh (Sabang) sampai Papua (Merauke), dari Sulawesi Utara (Miangas) sampai Nusa Tenggara Timur (Pulau Rote). Nah, mata air itulah yang harus dirawat bersama, bukan berebut, apalagi saling benci.

Kompas, Sabtu, 24 Agustus 2019