subhan.esde@yahoo.com

Bukan Pemuas Syahwat Politik

Di masa silam ketika demokrasi mati suri, tingkat apatisme politik begitu tinggi. Tingkat kepercayaan juga tinggi. Maksudnya, publik akar rumput lebih melimpahkan urusan politik ke organ politik alias tidak campur tangan lagi. Tetapi, ketika sekarang demokrasi bermekaran, dan partisipasi politik tinggi, justru ketidakpercayaan juga tinggi. Mekanisme demokrasi langsung yang diteguhkan sejak reformasi bisa tak diakui. Buktinya, Pilpres 2019 malah meninggalkan residu dan jelaga hitam di perpolitikan negeri ini.

Memang, elite politik sudah mulai rukun. Sudah tak kelihatan lagi wajah garang seperti saat perhelatan pilpres. Bahkan, Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, sudah menikmati nasi goreng bersama Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P. Pada dua pilpres (2014 dan 2019), Megawati, yang mengusung Joko Widodo, berseberangan dengan Prabowo. Tetapi, pada Pilpres 2009, Prabowo sebiduk dengan Megawati. Begitulah watak asli politik, tidak ada yang kaku. Politik itu lentur dan kenyal. Daya elastisitasnya luar biasa.

Tak ada lagi dua kubu koalisi yang saling memperlihatkan amarah. Sekarang malah ada yang duduk berdekat-dekatan. Ada yang ingin masuk kubu pemerintah. Bahkan, ada yang mengincar kursi menteri sampai ketua MPR. Ada juga yang sok jual mahal atau pasang wajah angker minta kuota kursi kabinet sebagai syarat rekonsiliasi. Mungkinkah punya posisi tawar yang tinggi? Apalagi, harus bertarung dengan koalisi pemerintah yang pasti lebih punya hak.

“Oposisi itu membawa kerukunan.
Di luar perselisihan muncul harmoni yang paling indah,”

Heraclitus

Rebutan kursi-kursi kekuasaan sekarang tetap sama alotnya dengan yang terjadi pada tahun 2014. Tahun 2014, parlemen (legislatif) dikuasai Prabowo, pemerintah (eksekutif) dikuasai Jokowi. Dulu persaingan sengit ketika awalnya koalisi pemerintah yang minoritas di parlemen, dikerjai. Pemenang pemilu tidak diberi jatah kursi ketua DPR. Partai-partai koalisi pemerintah tidak dapat posisi puncak, dan terpaksa menerima posisi wakil. Sekarang koalisi pemerintah gemuk sekali (lebih 60 persen). Di situlah masalahnya karena persaingan akan terjadi di internal partai koalisi pemerintah yang berebut kursi strategis. Sekarang saja sudah banyak yang mengusulkan kandidat untuk posisi puncak di legislatif. Bertambah rumit ketika partai non-koalisi pemerintah ikut-ikutan mengincar posisi strategis itu.

Lalu di manakah oposisi? Sejatinya demokrasi membutuhkan oposisi agar checks and balances tetap berjalan. ”Oposisi itu membawa kerukunan. Di luar perselisihan muncul harmoni yang paling indah,” kata filsuf kelahiran Ephesus, Turki, Heraclitus (535-475 SM). Oposisi dapat menjadi faktor penentu sehingga pemerintahan berjalan sesuai harapan publik. Bahkan, oposisi menjadi pengaman terhadap pemerintahan yang fungsional. ”Tidak ada pemerintah yang bisa aman lama tanpa oposisi yang kuat,” kata Benjamin Disraeli (1804-1881), mantan pemimpin oposisi dan Perdana Menteri Inggris.

Jikalau kubu oposisi juga tergiur untuk masuk ke pemerintahan, rasa-rasanya dinamika politik bakal kurang bergairah. Jangan-jangan sikap oposan selama ini cuma untuk memburu kursi-kursi jabatan, bukan memainkan peran politik sesuai fungsinya. Kekuasaan memang naluri alamiah di politik, tetapi menjaga muruah kekuasaan agar bermanfaat bagi publik merupakan tugas mulia di politik.

Karena itu, elite politik baik di pihak penguasa maupun oposisi tidak semestinya hanya fokus pada urusan kekuasaan, tetapi juga harus berkonsentrasi untuk membangun demokrasi dan cara-cara berpolitik yang sehat. Problem paling mendesak adalah banyaknya residu pilpres yang melekat di pikiran publik. Masih banyak yang tidak puas dan belum move on. Rekonsiliasi yang terbangun di tingkat elite tidak merembes ke akar rumput.

Masih ingat pilpres, semua keresahan publik dikapitalisasi sampai ke titik sakit hati, tetapi tidak ada upaya untuk menetralisasi kembali seusai pilpres. Adakah elite politik yang turun kembali ke akar rumput, memberikan pendidikan politik pada rakyat sekaligus menata ulang praktik demokrasi? Sebaiknya jangan tinggal glanggang colong playu (lepas tanggung jawab).

Atau, memang situasi politik di akar rumput itu tetap dibiarkan agar mudah dimobilisasi pada masa mendatang. Sebab, suara publik oposan (pemilih Prabowo pada pilpres lalu) tidaklah sedikit. Bagi elite politik, bisa jadi tak peduli instrumentalisasi politik identitas atau isu populisme, asalkan dapat panen lumbung suara. Tak mengherankan jauh-jauh hari sudah ada partai politik yang curi start mengelus-elus jago untuk Pilpres 2024 walaupun semula dipandang tidak sehaluan politik. Tetapi, sekali lagi politik itu elastis.

Ada pula yang menggadang-gadangkan orang tertentu sebagai kandidat bupati. Hanya gara-gara dia anak presiden atau istri calon wapres, misalnya. Padahal, rekam jejak sangat penting bagi seorang pemimpin, bukan faktor kekerabatan. Kalau politik dinasti yang disuburkan, percayalah negeri ini sulit maju. Sebab, dinasti politik itu cairan korosif dalam demokrasi.

Cara-cara berpolitik seperti itu bisa jadi pemuas syahwat politik jangka pendek berebut suara setiap gelaran rutin lima tahunan. Itulah praktik politik yang menjauh dari peneguhan kebangsaan dan kemajuan negara. Kekuasaan memang penting, tetapi akan bermakna rendah bila digunakan bukan pengabdian pada Tanah Air. Negeri ini tak membutuhkan tipikal perilaku politik pemuas syahwat politik.

Itulah mengapa saya terkesima menyaksikan cerita Simon Bolivar (1783-1830) yang dikenang di seantero Amerika Latin. Dua pekan menyusuri kota Lima, Peru, dan La Paz, Bolivia, jejak Bolivar abadi dikenang sebagai el libertador Venezuela, Kolombia, Ekuador, Bolivia, Peru, dan Panama. Warisan politiknya adalah mengutamakan kepentingan Tanah Air. Dia menolak kepentingan partai dan faksi politik. ”Jika kematian saya berkontribusi pada lenyapnya faksi-faksi dan justru persatuan terkonsolidasi, saya bisa pergi dengan tenang ke kuburan saya,” katanya. Pantas saja ia melegenda. Bagaimana dengan politikus kita: pemuas syahwat politik atau pengabdi Tanah Air?

Kompas, Sabtu, 3 Agustus 2019