Pesta Pemilihan Presiden 2019 telah usai. Ingar-bingar, kegaduhan, puja-puji, sumpah serapah, sudah berlalu. Lupakan semua perselisihan yang berkecamuk selama pilpres begitu Mahkamah Konstitusi memfatwakan putusannya. MK mematahkan semua dalil yang diajukan pemohon, tim kuasa hukum calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, lewat persidangan terbuka yang ditonton jutaan publik.
Sembilan hakim MK menguatkan keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang perolehan suara pilpres, dengan keunggulan Joko Widodo- Ma’ruf Amin. Seusai putusan MK, KPU menetapkan keduanya sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024. Kita sadari bahwa pesta telah usai. Itulah jalan konstitusional.
Maka, dalam struktur masyarakat demokratis dan terbuka, tak ada untungnya memelihara penolakan, apalagi mengabadikan kebencian. Tidak ada dasarnya pula jika tak percaya pada MK. Suara-suara seperti itu masih terdengar santer, terutama pelampiasan di media sosial. Sebagai bangsa, aturan main di negeri ini harus dihormati. Mereka yang berjiwa demokratis tentu akan mematuhi rule of game yang disepakati bersama. Negara ini dibentuk pada 1945 juga atas konsensus untuk kemaslahatan bersama.
Mereka yang tak puas dengan proses politik yang demokratis dan konstitusional barangkali perlu rehat untuk menemukan hakikat berbangsa dan bernegara. Berpolitik adalah soal kebaikan bersama (bonum commune), bukan memaksakan kehendak karena merasa benar sendiri. Kata-kata metafor novelis terkenal asal Brasil, Paulo Coelho, barangkali menyadarkan: ”Saya telah melihat banyak badai dalam hidup saya. Sebagian besar badai mengejutkan saya, jadi saya harus belajar sangat cepat untuk melihat lebih jauh dan memahami bahwa saya tak mampu mengendalikan cuaca, melatih seni kesabaran, dan menghargai amarah alam.”
Karena itu, jangan lagi menambah beban yang melelahkan setelah kelelahan selama pilpres. Di politik jangan norak, karena di kamus politik tak ada baperan, apalagi gagal move on. Politik itu, kata pemikir politik Harold Lasswell (1902-1978), adalah soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (Politics: Who Gets What, When, How; 1936). Coba ingat-ingat warisan filsuf Aristoteles (384-322 SM) bahwa politik itu tempat berlaga jiwa-jiwa mulia. Bukan jiwa-jiwa pembenci, pendengki, apalagi pecundang yang berjiwa kerdil.
Seusai pesta semestinya semua yang terserak kembali terkumpul. Rekonsiliasi jadi wacana krusial mengingat keterbelahan publik di pilpres sudah mengkhawatirkan. Namun, dalam rekonsiliasi, dituntut kesadaran untuk hidup bersama sebagai bangsa sebagaimana dikatakan filsuf Ernest Renan (1823-1892) saat munculnya bangsa-bangsa pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Penting ditekankan lagi tentang kesadaran moral (conscience morale) dan jiwa senasib untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble). Tentu saja komitmen, konsensus, dan pengorbanan jadi prasyarat utama hidup membangsa.
Kunci paling penting adalah political will elite politik untuk membuat rekonsiliasi jadi kenyataan. Elite politik tidak bisa berdiam diri atau lepas tanggung jawab. Selama ini, diakui atau tidak, merekalah yang menikmati keributan publik di arena politik. Sebab, rebutan pengaruh adalah kunci penting dalam berpolitik. Dengan demikian, elite politik merupakan aktor utama dalam menentukan putih-hitamnya panggung politik.
Sekarang, setelah pesta usai, yang terlihat mencolok adalah manuver politik terkait pembentukan kabinet. Banyak pihak yang merasa punya andil dalam pemenangan Jokowi-Amin. Partai politik sudah pasti. Setiap parpol merasa menanam saham demi kemenangan Jokowi-Amin. Memang, secara alamiah, orientasi parpol adalah kekuasaan. Maka, jatah kursi atau jabatan menteri tentu akan jadi rebutan banyak parpol seusai Pilpres 2019.
Dalam koalisi pasangan Jokowi-Amin ada PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, Hanura, PKPI, PSI, dan Perindo. Persaingan ketat antarparpol koalisi tidak terhindarkan. Lalu, ada lagi yang pelan-pelan mendekat, seperti Demokrat dan PAN, yang sebelumnya mencalonkan Prabowo-Sandiaga. Terdengar kabar di internal parpol itu, mulai ada riak-riak kecil perbedaan arah politik. Di sinilah parpol diuji kepiawaiannya dalam membangun komunikasi, lobi, pengaruh, guna menentukan konsensus akhir. Tentu saja perlu ada sparring partner agar terbangun check and balance.
Maka, oposisi harus tetap tumbuh. Tetapi, bukan asal beda, juga tak ”main mata”. Pandangan-pandangan konstruktif oposisi sangat dibutuhkan, bukan cara-cara destruktif. Andai kata relasi politik mutualisme simbiosa itu terjalin sehat, maka lima tahun ke depan mungkin dapat mengobati luka-luka pertarungan sebelumnya. ”Di sepak bola, Anda bisa menang atau kalah. Kami selalu harus bersama, dengan semangat sama yang kami miliki,” kata pesepak bola Kolombia yang banyak berlaga di Eropa, James Rodriguez.
Kompas, Sabtu, 6 Juli 2019