subhan.esde@yahoo.com

Retorika Politik

Ketika beretorika, banyak politikus mengambil posisi sebagai ”orang luar”. Mereka terlihat mengaburkan identitas sebagai orang politik. Mereka justru mengidentifikasi sebagai bagian dari publik. Hadir bersama-sama publik, memiliki aspirasi dan harapan sama dengan publik. Politikus seperti itu ingin mengatakan bahwa dirinya bukan bagian dari politikus yang berkontribusi terhadap kekusutan politik. Persoalan identifikasi itu ternyata terletak di jantung semua retorika persuasif untuk membujuk seseorang agar dapat berbicara dalam bahasanya dengan ucapan, gerak tubuh, nada suara, gambar, sikap, ide, dan identifikasikan cara Anda seperti cara dia (Burke, 1969).

Pauline Hanson, politikus anggota parlemen Australia yang kontroversial dan anti-imigran, misalnya, pernah berposisi seperti itu. Analisis Rapley (1998) menyebutkan Hanson tidak mengklaim kesamaan dengan sesama politikus anggota parlemen. Dia justru menekankan kesamaannya dengan publik. Hanson mengaku berbicara ”sebagai orang Australia kebanyakan”, bukan sebagai ”politikus”. Kira-kira dia menegaskan bahwa ”pandangan saya tentang suatu persoalan didasarkan pada akal sehat dan pengalaman saya sebagai ibu dari empat anak, sebagai orangtua tunggal, dan sebagai perempuan wirausaha yang membuka toko ikan dan keripik”.

Dengan berdiri di posisi ”orang-orang biasa atau masyarakat kebanyakan” dan berarti bertentangan dengan posisi ”elite”, Hanson secara retoris memberlakukan komitmennya untuk ideologi politik kerakyatan (Susan Condor, Cristian Tileagaă, dan Michael Billig, Political Rhetoric, 2013). Dengan begitu, Hanson dapat masuk di tengah-tengah publik.

Retorika seperti itu memang lumrah di arena politik. Banyak politikus atau partai politik mengidentikkan diri sebagai bagian dari masyarakat. Ada partai politik yang mengambil posisi sebagai ”partai wong cilik”. Sejumlah partai juga menonjolkan identitas sebagai partai agama (terutama Islam). Ada juga partai yang menunjukkan identitasnya sebagai partai nasionalis. Memang identitas itu dikaitkan dengan ideologi partai meskipun dalam praktiknya tidak terlalu menonjol karena umumnya justru memperlihatkan praktik transaksional dan pragmatisme.

Positioning seperti di atas juga tampak dalam pidato Prabowo Subianto di Sleman pada 28 November 2018. Pidato Prabowo kali ini boleh dibilang berbobot dan substantif. Tidak lagi bernada meledek seperti ”tampang Boyolali” yang sempat bikin heboh. Prabowo bicara tentang elite politik. Dalam pidatonya di depan warga, calon presiden nomor urut 02 itu mengatakan bahwa rakyat tidak bodoh dan sudah tahu banyak elite yang tersangkut kasus korupsi. ”Mereka tahu elite di Jakarta itu pinter, tapi juga suka minterin, pinter… pinter mlintir, pinter… pinter nyolong. Untuk nyolong itu harus pinter dan nekat, dan mukanya tebal, apa istilah orang Jawa?” tanya Prabowo yang langsung dijawab warga secara serempak: ”rai gedhek”. Artinya tak tahu malu alias ”muka tembok”. Prabowo pun melanjutkan, ”Saya lihat elite-elite di Jakarta itu rai gedhek bener, mukanya itu loh, seolah-olah ndak berdosa. Padahal rakyat enggak bodoh, rakyat tahu.”

Dari pernyataan itu Prabowo ingin menegaskan bahwa dirinya bersama masyarakat, bukan bagian dari elite yang bermuka tembok itu. Dalam konstelasi politik sekarang ini yang didominasi rivalitas akut, pernyataan dan positioning seperti itu bisa dibaca ”mengarahkan moncong meriam” ke arah lawan politik. Tak heran reaksi balik dari kubu calon presiden nomor urut 01 cepat sekali. Akhirnya muncullah saling tuding dan saling bongkar siapa saja rezim yang korup dan partai apa saja yang terlibat korupsi. Seperti selama ini, dua kubu itu pun terjebak dalam komunikasi saling tangkis.

Sebetulnya pidato Prabowo itu dapat dilihat sebagai otokritik. Sudah banyak elite politik ditangkapi karena terjerat kasus korupsi. Semestinya pernyataan itu disadari terarah ke semua elite politik, bahwa komitmen terhadap pemberantasan korupsi masih rendah atau lip service saja. Penindakan oleh KPK tidak henti-hentinya, tetapi korupsi tidak mati-mati juga. Isu korupsi bukanlah semata komoditas politik, tetapi agenda reformasi yang belum tertuntaskan. Apabila para elite politik cuma saling tuding dan saling tangkis, percayalah korupsi justru makin berpeluang untuk terus beranak-pinak. Bukti terbaru, penangkapan Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolanda Berutu dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK. Beberapa hari lalu KPK juga menangkap hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, juga panitera pengganti dan pengacara.

Kalau cuma beretorika, korupsi takkan lenyap. Karena itu, pemegang mandat politik yang kerap beretorika semestinya punya basis komitmen moral yang kuat dalam mengurus kemaslahatan publik. Bahkan, seorang Gorgias (483-375 SM) yang membuat sekolah retorika pun mengemukakan pentingnya moral bagi orator politik. Kata Aristoteles (384-322 SM), publik dapat terpengaruh retorika politik bukan cuma oleh gaya dan isi argumentasi, melainkan juga karakter yang diproyeksikan oleh pembicara (etos). Dan, etos itu ada tiga kategori: phronesis (melibatkan kebijaksanaan dan keterampilan praktis), arete (moralitas dan kebajikan), serta eunoia (niat baik terhadap publik). Kira-kira begitulah retorika.

Kompas, Sabtu, 1 Desember 2018