subhan.esde@yahoo.com

Meruwat Politik

Merawat demokrasi tak kalah sulit kala membangunnya. Dalam perjalanan 20 tahun pascareformasi 1998, demokrasi belum benar-benar terkonsolidasi. Demokrasi seperti ayunan, diombang-ambing pengayunannya. Banyak elite politik mendapat berkah dari demokrasi, tetapi berapa banyak dari mereka yang benar-benar memperlihatkan aksi memperkokoh demokrasi sebagai alat membangun negara-bangsa dan menyejahterakan rakyat. Sebaliknya, justru tak malu-malu mempertontonkan sepak terjang yang memperalat demokrasi untuk perburuan kekuasaan semata.

Seandainya tiada sistem demokrasi seperti sekarang ini, peluang banyak orang saat pemilihan langsung tak begitu besar. Walaupun masih banyak praktik oligarki, demokrasi jauh lebih banyak memberi ruang partisipasi publik ketimbang sistem otoritarian. Di zaman Soekarno juga ada demokrasi terpimpin (guided democracy). Di zaman Soeharto, ada demokrasi Pancasila. Namun, demokrasi lebih tampak sebagai jargon dan alat kekuasaan. Lebih tepat barangkali demokrasi pura-pura (pseudo-democracy) atau berpura-pura ada demokrasi. Institusi politik dan penyelenggaraan pemilu dilakukan untuk menunjukkan praktik demokrasi, tetapi sebetulnya yang dijalankan praktik-praktik otoritarian. Istilah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang kemudian menjadi presiden ke-4 RI di era pascareformasi, itu adalah ”demokrasi seolah-olah”.

Jika demokrasinya semu, pasti partisipasi politik tidak sehat karena yang ada mobilisasi politik. Kalau mobilisasi politik, berarti kebebasan cuma mimpi. Yang ada pemaksaan. Kalau kebebasan cuma mimpi, berarti rakyat hidup dalam tekanan. Kalau rakyat dalam tekanan, itu menunjukkan ketakberdayaan sebagai pemegang kedaulatan. Ketika suara dibungkam dan kebebasan dikekang, rakyat cuma bisa mengerang. Maka, bernostalgia meniru gaya kepemimpinan Orde Baru (Orba), misalnya, bukan cuma ilusi, melainkan juga mengkhianati reformasi.

Apalagi jika dalam kampanye Pilpres 2019 muncul berulang-ulang wacana meniru atau mengembalikan gaya Orba, sebaiknya berpijaklah pada reformasi. Memori kolektif kita masih membekas belum tuntasnya agenda reformasi: mengadili Soeharto dan kroninya; amendemen UUD 1945; menghapuskan dwifungsi ABRI; menghapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme; otonomi daerah seluas-luasnya; dan menegakkan supremasi hukum. Tahap perjalanan negara-bangsa ini seharusnya konsentrasi pada upaya penuntasan agenda reformasi. Bukan mengorek-ngorek ”romantika” yang dikoreksi lewat gelombang reformasi dan kini menjadi timbunan sejarah.

Beberapa tahun lalu pernah muncul gambar Soeharto di stiker atau di truk dengan tulisan: ”Piye kabareEnak jamanku to?”. Fenomena itu menimbulkan multitafsir. Namun, sebetulnya bukan karena kerinduan pada rezim Orba, tetapi orang kesal karena pemerintahan rezim reformasi tak juga menemukan jalan lebih baik dari rezim sebelumnya. Ironi era reformasi bahwa elite politik lebih suka bertengkar, dan sebagian besar juga masih banyak produk Orba. Berkah reformasi yang justru dapat menjadi petaka.

Mungkin salah satu agenda reformasi yang tak tuntas-tuntas adalah penyakit korupsi. Korupsi memang makhluk aneh. Sekali ditebang, justru tumbuh seribu. Bahkan, sampai timbul kecenderungan ”rasa imun” tatkala sikap permisif terhadap korupsi begitu besar. Indeks Perilaku Anti-korupsi (IPAK) Indonesia yang diterbitkan Badan Pusat Statistik, misalnya, harus memaksa bangsa mawas diri. Dengan skala 0-5 di mana angka semakin rendah memperlihatkan sikap masyarakat yang makin permisif, IPAK 2018 sebesar 3,66. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan capaian 2017, yaitu 3,71. Parahnya lagi, kondisi itu merasuk ke desa-desa di mana masyarakat pedesaan lebih permisif (3,47) dibandingkan dengan perkotaan (3,81). Data ini seharusnya menjadi ”lampu kuning” akan bayangan ”lonceng kematian” negara-bangsa digerogoti korupsi.

Harus disadari kita telah salah jalan. Lorong demokrasi sudah terlalu kumuh. Karena itu, kita harus kembali ke jalan lurus. Mungkin perlu semacam ruwatan politik agar kita terbebas dari tulah nasib buruk membersihkan ruang demokrasi. Pertama, meruwat aktor politik sebagai agen perubahan politik yang lebih banyak menyemai praksis politik konstruktif, bukan destruktif. Jika elite politik hanya berkutat pada perebutan kekuasaan, sistem demokrasi sebaik apa pun takkan mampu menjadi obat penawar problem yang membelit negara-bangsa. Masalah mental, pola pikir, dan kualitas aktor politik diberdayakan untuk penguatan demokrasi politik, bukan sebaliknya membuat demokrasi keropos.

Kedua, meruwat institusi partai politik. Partai semestinya dapat mengagregasi kepentingan publik dan mengakselerasi bentuk partisipasi politik sehat. Parpol tak cuma berpikir musiman seperti penjual buah-buahan yang berpikir panen saat pesta demokrasi. Kerja parpol adalah kerja jangka panjang yang mengedukasi tanpa henti, tak sebatas berburu musim lima tahunan sekali. Ketiga, meruwat perilaku politik yang aneh-aneh. Terlalu banyak penampakan buruk dan tak terpuji yang justru menularkan virus keburukan ke seantero negeri. Tanpa ruwatan politik yang krusial, mungkin kemunduran demokrasi akan lebih ekstrem.

Kompas, Sabtu, 24 November 2018