subhan.esde@yahoo.com

Mereka Bikin Bangga, Kalian Bikin Malu

Baru saja kita larut dalam kebanggaan sebagai bangsa. Nama Indonesia begitu harum di arena Asian Games 2018. Aksi-aksi heroik para atlet, juga pelatih, ofisial, dan semua tim telah membawa euforia kebanggaan di mata bangsa Asia dan umumnya publik dunia. Berada di peringkat ke-4 dengan menggondol 98 medali (31 emas, 24 perak, dan 43 perunggu) olahraga menjadi panggung tempa membuncahnya energi bangsa. Namun, belum berlalu satu pekan, kebanggaan itu pun sudah dicoreng oleh tindakan tercela para politikus. Sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 menjadi tersangka korupsi. Benar-benar memalukan! Korupsi berjamaah, begitu masif.

Nyaris semua anggota DPRD Kota Malang tersangkut dugaan suap pembahasan APBD-P Kota Malang tahun anggaran 2015 dari Wali Kota Malang Moch Anton (non-aktif), yang telah ditahan KPK sejak 27 Maret 2018.

Kemungkinan sama bisa dialami anggota DPRD Provinsi Jambi. Dalam sidang tersangka Gubernur Jambi nonaktif Zumi Zola di Pengadilan Tipikor, Jakarta, berembus aroma busuk: dugaan korupsi massal di DPRD Jambi. Ada jatah uang ketok palu. Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Jambi Dodi Irawan yang menjadi saksi membeberkan bahwa anggota DPRD Jambi meminta uang untuk memuluskan Rancangan Peraturan Daerah APBD tahun 2017 dan 2018.

Korupsi bareng-bareng ini bukan yang pertama. Ada beberapa contoh kasus yang menjadi sejarah kelam di panggung politik negeri ini. Pada 2004 ada 43 anggota DPRD Sumatera Barat periode 1999-2004 juga tersangkut korupsi APBD senilai Rp 5,9 miliar. Tahun 2004, Pengadilan Tipikor mengadili sedikitnya 37 anggota DPRD Kota Padang karena tersangkut kasus anggaran tahun 2001-2002. Nilai korupsinya sekitar Rp 10,4 miliar. Di Medan ada 38 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 jadi tersangka setelah menerima suap dari Gubernur Gatot Pujo Nugroho yang juga telah dihukum.

Korupsi, apalagi bareng-bareng, adalah deviasi politik pascareformasi. Ketika reformasi 1998 menggelorakan misi utama pemberantasan korupsi, justru korupsi tumbuh subur. Sebuah kontradiksi yang aneh. Bisa jadi karena korupsi selalu berwajah ganda: dibenci banyak orang, tetapi rupanya lebih banyak lagi yang merindukan. Sanksi hukum tidak menakutkan dibandingkan dengan keuntungan besar dari korupsi. Padahal, korupsi sangat merusak jiwa-raga, keluarga-masyarakat, tanah-air, bangsa-negara. Namun, banyak orang, terutama para politikus, tak mampu menolak godaan korupsi yang menggiurkan.

Sungguh menyedihkan karena dalam 20 tahun reformasi ini, agenda pemberantasan korupsi tidak tuntas. Barangkali banyak orang bersiasat dengan korupsi walaupun perilaku dan dampak korupsi sangat merusak. Korupsi menandakan manusia tuna-moral. Seorang pejabat atau politikus sudah pasti tidak amanah. Bagaimana mungkin DPRD Kota Malang bisa tegak menjalankan tugas-tugasnya? Dengan sisa anggotanya, DPRD Kota Malang sudah pasti mengalami kelumpuhan. Inilah fase tatkala korupsi merusak sistem politik dan demokrasi. Penyelenggaraan pemerintahan berantakan. Pelayanan publik pun sudah pasti amburadul.

Maka, aneh saja soal napi korupsi masih diperdebatkan. Belajarlah dari pengalaman. Rusaknya sistem politik sekarang ini lebih banyak akibat perilaku koruptif di hampir semua institusi negara. Ikhtiar Komisi Pemilihan Umum yang menerbitkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada Juni lalu dapat dicatat sebagai sebuah terobosan. Bekas terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi memang tidak pantas menduduki kursi terhormat di legislatif, apalagi menikmati segala fasilitas yang diberikan negara. Seharusnya ”semangat pembersihan” negeri ini menjadi acuan, termasuk merevisi peraturan yang dinilai tidak mendukung. Ingat, negeri ini merdeka dengan pengorbanan jiwa-raga demi merengkuh tujuan mulia. Jadi, jangan dijejali dengan watak dan perilaku tercela.

Bayangkan saja, dari 41 anggota DPRD Kota Malang yang bermasalah, 18 orang di antaranya kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2019. Kabar buruk lainnya, ada 2.357 aparatur sipil negara (ASN) terpidana korupsi sejak periode Januari 2015-September 2018 belum diberhentikan dan masih terus menerima gaji. Inilah keanehan yang ganjil. Sulitnya mengambil keputusan seakan-akan masalah korupsi seperti ”mencari jarum di tumpukan jerami”.

Ini soal komitmen saja: apakah gerakan membersihkan negeri ini serius atau pura-pura? Coba simak Robert Zoellick, Presiden Bank Dunia 2007-2012: ”Korupsi adalah kanker yang mencuri dari orang miskin, menggerogoti pemerintahan dan moral, serta menghancurkan kepercayaan.” Tiba-tiba kebanggaan yang dipersembahkan para atlet dan semua tim di Asian Games yang menjadi energi bangsa tercoreng oleh perilaku korup para politikus. Mereka, para atlet kita, sudah mengharumkan dan membanggakan Indonesia, tetapi kalian para politikus korup yang bikin malu.

Kompas, Sabtu, 8 September 2018