subhan.esde@yahoo.com

Memori Rusak

Mereka yang ngotot untuk memenangkan jagoannya di ajang pilpres segera terjawab setelah 17 April 2019. Tetapi, yang perlu dicermati adalah perjalanan ke arah itu yang membuat energi bangsa nyaris terkuras habis dan langkah negeri ini yang tertatih-tatih. Politik gaduh tiada jeda. Ingar-bingar panggung politik yang begitu bising dan membuat suhu negeri ini panas-dingin.

Paling nyata adalah cara berpolitik sekarang yang semakin tidak demokratis. Banyak praktik politik, tetapi kontradiksi dengan demokrasi. Demokrasi mungkin lebih diwujudkan dalam bentuk, misalnya, kebebasan berpendapat, tetapi tidak sampai pada tahap apakah pendapatnya itu memperkuat atau malah menggergaji demokrasi. Gejala itu terekam kuat dalam memori bersama.

Pertama, pelapukan institusi demokrasi. Partai-partai politik bergerak tampaknya makin menjauh dari titik pusat demokrasi. Partai kian oligarkis, pragmatis, transaksional, dan korup. Sebagian besar kasus korupsi melibatkan orang partai, bahkan pimpinan puncaknya. Kasus terbaru adalah penangkapan Ketua Umum PPP Romahurmuziy oleh KPK pada 15 Maret 2019. Ia dicurigai memperdagangkan pengaruh (trading in influence) pengisian jabatan di Kementerian Agama.

Sebelumnya, pucuk parpol terborgol adalah Luthfi Hasan Ishaaq (PKS) pada 2013, Anas Urbaningrum (Demokrat) pada 2014, Suryadharma Ali (PPP) pada 2014, dan Setya Novanto (Golkar) yang juga Ketua DPR pada 2017. Pimpinan DPR yang kini juga sedang diadili adalah Taufik Kurniawan (PAN).

Dalam kasus korupsi memang banyak suara para politikus parpol yang teriak-teriak antikorupsi. Mereka terlihat sebagai garda terdepan yang mengawal agenda reformasi. Tetapi, banyak dari mereka yang berteriak-teriak itu akhirnya digelandang KPK. Mereka menampilkan citra baik di atas panggung yang disorot banyak mata, tetapi cepat berubah watak menjadi ganas ketika turun panggung.

Kalau sosiolog Erving Goffman (1959) punya teori dramaturgi, di mana saat di front stage akan tampil sosok sebagaimana yang diinginkan, dan akan berubah saat di back stage tatkala mereka tidak takut lagi dari peran sebelumnya, sekalipun dapat merusak penampilan. Maka, dalam kehidupan di belakang layar yang tanpa penonton justru watak asli kemaruk seperti berkeliaran di kegelapan.

Kedua, gagalnya perbaikan watak bangsa. Membersihkan negeri dengan memperbaiki mental manusianya adalah kondisi yang mendesak. Namun, revolusi mental rupanya harus terus digencarkan. Tidak berhenti pada wacana dan kampanye saja. Akhir pekan lalu saat ngobrol dengan seorang aparat yang bertanggung jawab terhadap keamanan di tingkat kecamatan, ia mengatakan, zaman sekarang ini sungguh sulit untuk ”bermain-main”, terutama di kalangan aparat sipil. ”Membuat sertifikat tanah itu dulu ada duitnya. Sekarang, kan, gratis,” kata aparat tersebut. Soal dukung-mendukung, itu amat demokratis. Dukung Prabowo boleh, dukung Jokowi juga boleh. Tetapi, kalau tidak mendukung kandidat gara-gara tidak bisa berkongkalikong lagi, itu namanya parasit yang merusak negeri. Mereka harus dipaksa membaca kembali agenda reformasi: berantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sampai ke akar-akarnya.

Ketiga, demokrasi dibangun di atas tumpukan kebohongan. Mungkin bisa meminjam istilah yang dikemukakan psikiater Ferdinand Dupre (1905) sebagai gangguan mythomania. Ini bukan bohong biasa, tetapi justru terus meyakini bahwa kebohongan itu adalah kenyataan. Tertanam khayalan-khayalan di dalam benak, bukan realitas yang sesungguhnya. Boleh jadi akibat merasa kurang diapresiasi atau kurang dihargai sehingga dikonstrusikanlah kisah-kisah ”heroik” yang hiperbolis.

Keempat, memori bangsa rusak. Barangkali ada pandangan bahwa rivalitas sengit dalam lima tahun terakhir bersifat sementara (momen opname). Namun, agaknya sudah terlalu banyak kepentingan yang intervensi dalam kontestasi politik sekarang. Politik identitas, misal, sedang mekar-mekarnya. Dan, itu bisa dijadikan template dalam setiap kontestasi. Aktornya bisa siapa saja.

Inilah yang merusak memori kolektif generasi muda: generasi milenial, generasi net, dan generasi alfa. Jangan sampai tertanam dalam memori mereka bahwa cara-cara di ataslah untuk memenangi kontestasi politik. ”Penting mengetahui apa yang terjadi dalam 20 tahun terakhir, karena akan menjadi dasar apa yang terjadi dalam 100 tahun ke depan,” kata George Friedman, penulis buku The Next 100 Years: A Forecast for the 21st Century (2010).

Kompas, Sabtu, 23 Maret 2019

Tags: