subhan.esde@yahoo.com

Kursi Empuk Pembesar

Kedudukan bukanlah kursi empuk bagi Anda, tetapi adalah amanat di pundak.

(Ali bin Abi Thalib)

Kita terlalu kecil untuk dipersamakan dengan para pendiri bangsa. Generasi hebat di zaman kebangkitan nasional awal abad ke-20 berbeda jauh dengan generasi sekarang di ”zaman now” awal abad ke-21. Orang besar tempo doeloe mampu menyemai panggung politik dengan spirit optimisme, heroik dengan semangat kebersamaan, dan meriah dengan tugas-tugas suci yang mulia.

Buat mereka, politik bukan tujuan, melainkan alat. Politik menjadi instrumen kekuasaan untuk mengabdi kepada rakyat serta memajukan bangsa dan negeri. Mereka mengemban ”amanat” ketimbang ”kursi empuk” seperti diingatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib (601-661) dalam suatu waktu pada periode pemerintahannya tahun 656-661 kepada Gubernur Azerbaijan Asy’ats Ibn Qays.

Generasi hebat dulu mewariskan bangsa dan negeri yang indah: Indonesia. Mereka tak peduli merana, tetapi selalu gelisah apabila negeri dijajah dan bangsa dihina. Maka, ketika negeri merdeka, mereka tak mengharap balas jasa. Sebab, berjuang adalah mission sacre, bukan berselimut pamrih. Bung Hatta, misalnya, adalah tokoh bersih yang menolak memanfaatkan jabatan, apalagi korupsi. Kisah Hatta yang tak bisa membeli sepatu Bally, kecuali cuma bisa menyimpan guntingan iklannya sampai akhir hayat tahun 1980, adalah ironi untuk sosok sekaliber Hatta. Tetapi, begitulah kisah sang tokoh besar sejati.

Tak heran Gustika Jusuf Hatta, cucu Bung Hatta, protes ketika sang kakek ditarik-tarik ke arena Pilpres 2019 yang dinilai terlalu gaduh dan banyak bumbu kebencian dan kebohongannya. Gustika merespons juru bicara capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak, ”Mereka seperti bagian baru dari model Bung Karno dan Bung Hatta. Pak Prabowo itu seperti kombinasi Bung Karno dan Jenderal Soedirman. Sedangkan Bang Sandi adalah bagian baru dari Bung Hatta.”

Lalu Gustika mencuit: ”Tidak kenal dengan Bung Hatta tidak usah mengibaratkan sebagai Bung Hatta. Tidak elok menggunakan nama beliau (dan Eyang Karno) demi kepentingan politik. I’m so done, setiap pilpres nama beliau digadai-gadai. It’s getting old @Dahnilanzar.”

Akhirnya Dahnil merevisi kalimat semula ”menyamakan sosok” menjadi ”ingin meneladani sosok”. Ini terasa lebih pas. Sebelumnya ada juga yang menyamakan Ratna Sarumpaet—kini ditahan kasus hoaks—dengan Cut Nyak Dien.

Ini membuka mata dan menyadarkan bahwa dalam berpolitik apa adanya saja, tak perlu lebay. Publik lebih sering mendengar promosi kehebatan sosok ketimbang kehebatan karyanya. Itulah kampanye, semua sedang berjualan. Tidak ada kecap nomor dua, semuanya nomor satu. Barangkali karena perspektifnya ”kursi empuk” sehingga setiap pesta demokrasi selalu ribut berebut. Jika perspektifnya ”amanat”, pasti sedih karena takut gagal mengemban tugas besar.

Namun, sekarang memang zaman now yang salah kaprah. Zaman now itu sindiran untuk perilaku generasi sekarang yang nyeleneh dan aneh-aneh. Karakter zaman now memang kelewatan. Di politik mirip zaman Kaliyuga ketika orang menjadi beringas dan memperebutkan kedudukan tinggi. Semua jalan dianggap sah. Tak peduli ditempuh dengan cara curang dan licik. Membongkar kelemahan dan aib pihak lawan menjadi trik saat ini. Alhasil di panggung politik makin banyak bertebaran kotoran: ujaran kebencian, fitnah, hoaks, saling lapor ke polisi, berita adu domba dan pemecah-belah. Panggung politik jauh dari keindahan irama musik yang menghibur rakyat. Politik terlalu gaduh dengan musik ingar-bingar bernada sumbang.

Makanya perilaku politik pun aneh-aneh. Ramai-ramai menjunjung demokrasi modern, tetapi ramai-ramai juga membangun dinasti politik yang feodalistik. Ramai-ramai menolak korupsi sejak reformasi, tetapi ramai-ramai pula membiarkan diri tergoda korupsi. Padahal, korupsi kian merusak demokrasi. Semalam giliran Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan ditahan KPK setelah dua kali absen dari panggilan KPK. Taufik menjadi tersangka menerima suap Rp 3,65 miliar terkait perolehan anggaran dana alokasi khusus (DAK) fisik dalam APBN-P 2016. Ia menyusul Ketua DPR Setya Novanto yang telah mendekam di sel. Sudah ratusan pejabat ditangkapi KPK. Tak kapok-kapok membuat panggung politik berkabut. Watak-watak mulia makin tersingkir. ”Mikir!” kata Cak Lontong.

Kemarin ada cerita kecil dari Dusun Prumpon, Desa Suruh, Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur. Para pengendara sepeda motor turun dan menuntun sepeda motornya saat melewati rumah salah satu korban pesawat Lion Air yang jatuh di perairan Karawang. Itulah empati orang desa yang orisinal. Kata Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam Mukaddimah (1377, 1982), watak orang desa itu dekat dengan kebajikan dan jauh dari sifat-sifat tercela. Sebaliknya orang kota punya kebiasaan untuk bermewah-mewah, sehingga sering hilang rasa malu di kalangan mereka, dan melahirkan kekejian-kekejian, baik perkataan maupun perbuatan. Bisa jadi ”orang kota” yang ”pembesar” itu lebih bernafsu menduduki kursi empuk ketimbang memanggul amanah.

Kompas, Sabtu, 3 November 2018