subhan.esde@yahoo.com

Jangan Taktik Negatif

Tahun 2002, Pedro Castillo beradu takdir politik. Ia ikut bertarung dalam pemilihan presiden Bolivia. Seperti banyak pilpres di negara lain, pilpres di Bolivia juga begitu sengit. Tekad Castillo untuk merebut kursi presiden tak main-main. Ia pun menyewa konsultan politik asal Amerika Serikat. Sang konsultan seorang perempuan, namanya Jane Bodine. Di tangan Bodine, Castillo bertarung dengan gaya lain. Bodine menyulap Castillo dengan menghalalkan segala cara. Strategi dan taktik kotor pun digunakan untuk memenangi pilpres dan merebut kursi presiden.

Bodine merancangnya secara serius. Castillo yang semula menolak cara-cara kotor tersebut akhirnya menyerah setelah ia dijebak dengan dibongkar masa kelamnya yang terlibat perselingkuhan. Castillo tak berkutik. Ia menuruti cara-cara kotor untuk menghadapi lawan-lawan politik pesaingnya. ”Jika Anda tidak negatif, Anda tidak menang,” kata Bodine meyakinkan Castillo. Sambil mengutip kata-kata Muhammad Ali (1942-2016), sang petinju kelas berat legendaris, Bodine mengatakan, ”Mengambil risiko tidak akan menghasilkan apa-apa dalam hidup. Jika Anda ingin menang, kita harus mengambil risiko. Kita harus melukai dan membakar.”

Bisa diterka, kampanye pilpres hari-hari berikutnya begitu panas. Tim sukses Castillo, di bawah komando Bodine, menyebarkan kampanye dengan mengumbar ketakutan. Mereka menjual ketakutan, dengan harapan rakyat akan memilih Castillo. Slogan mereka menjual ”krisis”.

Itulah kisah film Our Brand is Crisis. Film produksi tahun 2015 itu disutradarai oleh David Gordon Green dan skenario ditulis Peter Straughan. Film fiksi ini bercerita tentang keterlibatan kelompok ahli strategi kampanye politik AS, Greenberg Carville Shrum (GCS), dalam pemilihan presiden Bolivia tahun 2002. Kisah itu berdasarkan film dokumenter pada 2005 yang ditulis Rachel Boynton dengan judul yang sama. Aktris yang populer lewat film Speed (1994), Sandra Bullock, memainkan peran piawai sebagai Bodine yang memermak aktor Joaquim de Almeida yang berperan sebagai Castillo, yang merupakan versi fiksi Gonzalo Sanchez de Lozada, presiden Bolivia yang berkuasa tahun 1993-1997 dan 2002-2003.

Film Our Brand is Crisis yang saya tonton dua-tiga tahun silam itu terpaksa saya tonton ulang lewat Netflix beberapa jam setelah debat pertama pasangan calon presiden-calon wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada 17 Januari lalu. Rasa penasaran menonton ulang film tersebut setelah menyaksikan pertarungan sengit Pilpres 2019. Publik sudah mafhum bahwa panggung pilpres dalam lima tahun terakhir ini terasa keras. Suhunya selalu panas-dingin. Publik pun terpolarisasi, pendukung masing-masing kubu. Pilpres 2019 hanyalah episode ulangan Pilpres 2014, yang bahkan sempat mengalami puncak pembelahan dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2017.

Pertarungan politik sekarang di negeri ini bukan dilihat sebagai dialektika dan dinamika demokrasi, tetapi menjadi daya gempur yang destruktif. Tujuannya selalu ingin mengalahkan, bahkan dengan cara mempermalukan. Yang ada cuma menang, tetapi enggan kalah. Terkadang slogan ”siap menang siap kalah” mudah diucapkan, tetapi tidak gampang dipraktikkan. Maka, perang kata-kata nyinyir, ujaran kebencian, fitnah menjadi asupan negatif untuk kehidupan politik kontemporer kita. Rasanya lawan politik ingin dijatuhkan dan ditikam tanpa ampun. Padahal, berpolitik itu adalah transfer gagasan dan tindakan berfaedah yang dilakukan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama pula. Berpolitik itu saling melengkapi. Menambal untuk sesuatu yang kurang dan mencegah untuk sesuatu yang berlebihan. Makanya, yang namanya kekuasaan itu ada batasnya agar tidak ada kesewenang-wenangan.

Di politik itu bukan merasa paling benar, paling hebat, atau paling unggul; melainkan paling banyak berkontribusi kepada masyarakat. Berkiprah di politik modern justru mendidik politikus untuk menjadi pelayan masyarakat, bukan junjungan yang disembah. Sejarah mencatat para megalomania justru terkubur dalam lumpur sejarah terdalam yang kelam. Agar Pilpres 2019 ini tidak terus terjebak dalam wacana negatif dan tidak produktif, ada baiknya mengingat-ingat ungkapan Jawa, ”menang tanpa ngasorake”, bahwa kemenangan tanpa perlu merendahkan orang lain.

Maka, berpikir tentang Indonesia melalui pentas pertarungan pilpres bukanlah cerita tentang kepunahan bangsa atau negara bubar; melainkan tentang bagaimana mendidik bangsa agar berpikiran modern sehingga membawa negara semakin bergerak maju dan berperadaban adiluhung serta dapat menyelesaikan problem yang membelit bangsa. Masalah bangsa takkan teratasi dengan perang wacana saja, tetapi mari bersama-sama menyingsingkan lengan baju untuk bergerak bersama. Politik takkan selesai dengan ”our brand is crisis”. Berpikir Indonesia juga bukan klaim kesuksesan melulu. Sebab, berbangsa dan bernegara sebetulnya adalah proses. Negara-bangsa akan hidup manakala manusianya terus berpikiran maju, berjiwa juang tinggi, dan berbakti tanpa pamrih.

Kalau hanya kursi presiden yang diidam-idamkan, bangsa ini akan jalan di tempat. Sebab, sudah berkelahi di arena pilpres, justru terus-menerus membelah masyarakat. Apalagi jika kampanye menjadi alat demagogis, kita semua akan terkubur bersama janji-janji. Karena itu, debat pilpres semestinya menjadi arena untuk menawarkan pilihan solusi bagi penyelesaian masalah bangsa ini. Bukan sekadar menguasai panggung dan terkesan saling mencari momen untuk menjatuhkan.

Masih ada beberapa kali debat lagi, semoga perdebatan dapat menyegarkan pikiran bangsa ini. Taktik negatif mesti dibuat positif. Jangan sampai seperti Bodine, merasa kecewa memermak Castillo, yang setelah menang justru melanggar janji-janji kampanye.

Kompas, Sabtu, 26 Januari 2019