subhan.esde@yahoo.com

Budak-budak Politik

Di musim hoaks yang masif akhir-akhir ini, orang membangkitkan kembali ”hantu” Goebbels, sang master orator dan propagandis Nazi. Ia adalah ahli desain kebohongan nomor wahid di dunia. Nama lengkapnya Paul Joseph Goebbels. Lahir di Rheydt pada 29 Oktober 1897 dan meninggal di Berlin pada 1 Mei 1945. Sejak muda Goebbels adalah sosok yang pintar dan tipikal pekerja keras.

Memang, pasca-Perang Dunia I (1914-1918)*, umumnya anak-anak muda Jerman keranjingan gejolak intelektual dan gejolak politik dari Republik Weimar (1919-1933). Goebbels meraih gelar doktor dari Universitas Heidelberg pada 1921. Secara fisik ia tak tampak sebagai postur manusia ”ras super” Aria, mitos yang dibangun Nazi tentang ras unggul bangsa Nordik. Tubuh Goebbels terbilang kecil dibandingkan dengan rata-rata postur orang Barat. Tingginya cuma 165 sentimeter. Ia pun pincang akibat penyakit polio di masa kecil. Cacat fisik itu pula yang membuatnya gagal menjadi tentara ketika hendak bergabung melawan pendudukan Perancis di daerah Ruhr pada 1923.

Gagal menjadi ”tentara” bukan berarti kiamat buat Goebbels. Dia malah diberi tawaran tugas di tempat lain yang justru membuatnya masyhur seantero bumi hingga hari ini: bekerja sebagai penggerak propaganda. Kehebatan Goebbels adalah mendesain fanatisme buta yang mengabdi pada kekuasaan. Dalam sejarahnya, Goebbels sukses menciptakan seorang Adolf Hitler menjadi ”dewa”. Goebbels berhasil menjadikan Hitler sebagai sosok yang dipuja oleh para pendukungnya. Sebaliknya, ia juga sukses menciptakan barisan fans yang mengabdi kepada Hitler. Ia berhasil memanipulasi publik yang memberikan penghormatan tanpa reserve kepada sang fuhrer.

Goebbels mengajarkan para kader partai untuk terus menciptakan kebenarannya sendiri. Apa pun yang diungkapkan demi kemajuan partai adalah suatu kebenaran. Kebenaran terbesar, kebenaran absolut, ialah bahwa partai dan fuhrer itu benar. Mereka selalu benar. ”Kebenaran adalah yang saya buat,” kata Goebbels (James Combs dan Dan Nimmo, 1994). Ketika sudah demikian, kebenaran bersifat subyektif. Kebenaran dibangun di atas tumpukan kebohongan, dan itu dirancang secara terstruktur dan sistematis. Semua yang berasal dari pihak lain, seberapa pun benarnya kebenaran itu, tetap saja bukan kebenaran. Itu tak lain adalah sebuah cara untuk merebut ruang publik guna menancapkan kekuasaan.

Cara-cara Goebbels tiba-tiba ditiru banyak pihak saat ini. Banyak orang menyebar kebohongan, mengonstruksi kebenaran berdasarkan persepsinya sendiri. Berita bohong soal tujuh kontainer surat suara yang telah dicoblos untuk pasangan nomor urut 01 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, adalah peristiwa buruk dan memalukan dalam membuka lembaran awal tahun 2019. Alih-alih mencari kebenaran soal isu tersebut, justru banyak pihak, terutama politikus, yang justru mengamplifikasi isu tersebut sehingga menjadi kehebohan yang justru memperlihatkan kedunguan.

Tentu saja isu seperti itu tak bisa dianggap remeh. Setidaknya ada tiga ekses yang bisa ditimbulkan dari hoaks tersebut. Pertama, ada upaya mendelegitimasi Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pesta demokrasi. Kedua, tudingan keberpihakan pemerintah karena pemerintah yang dianggap memiliki otoritas dan peluang yang dapat melakukan itu, sehingga berarti juga mendelegitimasi pemerintah. Ketiga, menebarkan rasa tidak percaya ke tengah-tengah publik terhadap pesta demokrasi yang akan digelar pada 17 April 2019. Inilah bahayanya karena politik itu soal kepercayaan.

Begitulah anomali politik saat ini. Kita berada di labirin demokrasi digital yang kian canggih dalam mewadahi partisipasi politik, tetapi watak dan perilaku berpolitik seperti era para gladiator yang bertarung secara ganas sampai titik darah terakhir. Sebab, tidak sedikit politikus yang terjebak (atau menjebakkan diri) dalam rezim hoaks. Mungkin hoaks menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan lawan politik. Cara-cara seperti itu akan subur dengan sendirinya ketika mereka tidak mampu bertarung dalam ruang kontestasi secara sehat.

Biasanya, mereka yang menggunakan cara hoaks itu karena tak memiliki peluru mematikan untuk mengalahkan lawan politik, kecuali lewat hoaks. Bersamaan pula, mereka tidak percaya dengan cara-cara bermartabat. Sebab, mungkin kita tak suka melihat ada orang yang berhasil, tetapi kita sendiri tak mampu memberikan performa terbaik. Mereka yang berbeda adalah musuh yang harus ditumbangkan. Tak mengherankan, politik kita begitu sarat gaya Machiavellian: suka menyerang dengan ganas seperti singa dan licik-manipulatif seperti rubah.

Sadarkah kita bahwa rezim hoaks melahirkan budak-budak politik yang membelenggu pikirannya sendiri? Cakrawala terasa sempit. Dunia terasa mengecil. Dada pun terasa sesak karena ketiadaan jiwa besar. Yang ada cuma kebohongan, kebencian, kemarahan, dan nafsu ingin menjatuhkan. Arena politik direduksi menjadi ruang privat untuk melampiaskan kekuasaan pribadi, kelompok, partai; bukan untuk berbakti kepada kepentingan publik di republik. Dulu, di masa perjuangan, bangsa ini melahirkan para panglima politik yang memiliki pikiran seluas samudra, jiwa besar, berjuang bukan untuk mencari kekuasaan, menyerahkan jiwa-raga untuk bangsa dan negeri ini. Mereka para pengukir sejarah dengan tinta emas.

Sekarang, rezim hoaks melahirkan budak-budak politik yang menghamba pada kekuasaan yang diraih dengan segala cara. ”Monster itu nyata, dan hantu juga nyata. Mereka hidup di dalam diri kita, dan kadang-kadang, mereka menang,” kata Stephen King, penulis kisah horor dan science fiction Amerika Serikat. Jadi teringat novel distopia karya George Orwell berjudul 1984 yang saya baca di akhir dekade 1980-an. Novel itu berkisah tentang zaman yang sampai pikiran pun dibelenggu. Di zaman Orde Baru yang juga terkekang kala itu aura novel itu sangat terasa pas. Suatu kebenaran dikonstruksikan oleh mereka yang punya tujuan. Maka, sumber kebenaran boleh jadi tidak berasal dari kebenaran. Kebohongan yang dipropaganda terus-menerus akan membentuk kebenaran, seperti dilakukan Goebbels.

Ada yang menarik dari novel itu, yaitu tentang kejahatan pikiran. Mereka dianggap kriminal ketika punya pikiran lain dengan keputusan partai. Di zaman terbelenggu, Orwell memang berkisah tentang satire politik. Namun, di zaman serba bebas, terbuka, dan setransparan seperti saat ini; kejahatan pikiran justru mereka yang terkekang dengan nafsu politik. Mereka membiarkan pikiran terbelenggu. Mereka menjadi budak-budak politik.

Kompas, Sabtu, 12 Januari 2019

*Ralat: dalam naskah yang terbit tertulis Perang Dunia I (1939-1945)