subhan.esde@yahoo.com

Sumbangan Buku Membuat Wajah Siswa SD Maros Tersenyum

Murid-murid SD 224 Pangia belajar di lantai. (Foto: Subhan SD)

NURAINI, siswi kelas VI SDN 224 Pangia di Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, termenung memandangi bangunan sekolahnya yang hancur. Bersama 43 temannya yang lain, dia tak punya sekolah lagi, tempatnya selama bertahun-tahun menimba ilmu.

SAYA sedih karena sekolah tempat belajar hancur, tetapi saya harus tetap belajar,” ujar Nuraini. “Ya, sedih karena tidak ada lagi tempat untuk sekolah. Saya ingin ada gedung baru agar saya dan kawan- kawan bisa terus bersekolah,” ujar Ardiansyah (10), siswa kelas IV.

SDN 224 luluh lantak ketika diterjang longsoran tebing batu sebulan lalu, pada hari Sabtu (5/3) dini hari setelah hujan turun berhari-hari tanpa henti. Parahnya lagi, longsoran tebing batu menutup aliran sungai yang lokasinya di samping sekolah. Ibarat tsunami, air sungai setinggi 1,3 meter itu pun menjebol dinding- dinding sekolah. Fondasi tiang bendera tercerabut dan terlempar beberapa meter.

Bukan hanya itu. Sebagian besar perabot sekolah hanyut ditelan air, antara lain meja, kursi, lemari, alat peraga, buku-buku, dan peta. Hanya sebagian saja yang terselamatkan. “Banyak buku yang hanyut. Kursi, meja, peralatan sekolah lainnya, juga hanyut. Kini kami tak punya buku-buku dan alat peraga lagi,” ujar H Husain SPd, Kepala SD 224.

Belajar di kolong rumah panggung (Foto: Subhan SD)

Di tengah kegundahan itu, para murid tetap ceria meskipun terpaksa belajar di kelas darurat. Begitu juga para guru, tetap disiplin mengajar anakanak itu. Kelas darurat itu berupa kolong rumah panggung yang dipinjamkan seorang warga bernama Daeng Sangaji.

Namanya saja darurat, kondisinya pun memprihatinkan. Ukurannya kira-kira 7 x 5 meter yang disesaki enam rombongan belajar, kelas I sampai kelas VI. Lantai kelas itu berupa tanah yang bila hujan turun akan tergenang dan becek.

Agar tidak terlalu mengganggu proses belajar, sekeliling kolong rumah itu ditutup seng karatan yang diambil dari sisa-sisa atap sekolah yang hancur itu. “Ini benar-benar darurat. Anak-anak juga sulit untuk konsentrasi. Masih untung ada warga yang memberikan kolong rumahnya untuk dijadikan kelas,” ujar Husain.

Ketika Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) datang memberikan sumbangan buku-buku pelajaran, wajah Husain, guru-guru, serta para siswa terlihat gembira. “Terima kasih,” ujar Nuraini lirih pada 5 April lalu seraya membuka halaman demi halaman buku-buku itu. Begitu pula Arpah, siswa kelas IV, serta siswa lainnya.

Husain tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. “Kami sangat berterima kasih kepada DKK, juga terima kasih atas kepedulian para pembaca Kompas. Apalagi hanya inilah bantuan yang kami terima sejak musibah menimpa sekolah kami,” ujar Husain.

DKK memberikan sumbangan buku dalam dua tahap. Tahap pertama pada 7 Maret, dua hari setelah bencana, yaitu 21 buku untuk kelas I sampai kelas VI. Buku-buku itu terdiri atas empat mata pelajaran, yaitu Matematika, IPS, Sains, dan Bahasa Indonesia. Tahap berikutnya disampaikan pada 5 April, sebanyak 110 buku, juga untuk kelas I sampai VI dari empat mata pelajaran tersebut.

Tertimpa longsor (Foto: Subhan SD)

Sebelum bantuan buku pelajaran diserahkan, Kompas melakukan penelitian dan pendataan terlebih dulu di sekolah tersebut. Setelah itu barulah DKK membeli buku pelajaran. Dengan demikian, buku pelajaran itu menjadi bermanfaat.

PERISTIWA memprihatinkan itu seakan semakin melengkapi keprihatinan yang selama ini diderita SD 224 Pangia. Husain dan guru- guru selama ini kesulitan dalam mengelola sekolah itu. Harapannya agar sekolah menjadi layak untuk kegiatan belajar dan mengajar menjadi sesuatu yang tidak mudah tergapai. Keterbatasan sekolah, termasuk kendala yang dihadapi para guru, membuat Husain harus bisa membuat siasat agar kegiatan belajarmengajar lancar.

Bayangkan saja, selama ini SD 224 hanya memiliki empat lokal (ruangan), masing-masing seukuran 7 x 8 meter. Padahal di SD itu ada enam rombongan belajar, mulai kelas I sampai kelas VI. Kelas I ada 11 murid, kelas II 9 murid, kelas III 6 murid, kelas IV 6 murid, kelas V 5 murid, dan kelas VI ada 7 murid. Satu lokal digunakan untuk kantor, berarti hanya tersisa tiga lokal untuk aktivitas belajar dan mengajar.

“Terpaksa setiap lokal kami bagi dua. Dalam setiap ruangan ada dua rombongan belajar, misalnya kelas I bersama kelas II, kelas III bersama kelas IV, dan kelas V bersama kelas VI. Agar tidak bercampur, setiap kelas kami pisahkan dengan papan tulis. Jadi dalam satu ruangan ada dua (kelas) rombongan belajar dan ada dua guru,” ujar Husain.

Belajar seperti itu bukanlah suasana yang diidam-idamkan. Di dalam ruangan seukuran 56 meter persegi itu, dengan dua guru yang mengajarkan pelajaran berbeda, otomatis membuat suasana belajar tidak tenang. Hampir bisa dipastikan konsentrasi para murid pun tidak bakal 100 persen.

Nasib guru sama sulitnya dengan kondisi sekolah. Di SD itu ada enam tenaga guru yang memegang kelas masing-masing, plus satu guru olahraga dan seorang kepala sekolah. Tetapi hanya dua guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Ada empat guru berstatus kontrak yang mendapat honor Rp 460.000 per bulan. Ada dua guru lain yang berstatus tenaga sukarela yang diberi honor Rp 100.000 per bulan. Padahal untuk ongkos transportasi saja, sebulan sudah Rp 96.000.

Kompas, Senin 11 April 2005