subhan.esde@yahoo.com

Sepotong Kaus Bergambar Spiderman

Teungku Dahlan

SEBAGAI imam Meunasah Darul Amal, Pasar Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar, Teungku Dahlan (40) bukanlah lelaki yang suka berkeluh kesah, bersedih, apalagi cengeng. Dia justru sosok yang selalu memberi nasihat, mengajarkan kesabaran dan ketabahan. Tetapi, sampai hari ke- 44 setelah gempa dan tsunami melumat kampungnya, air mata Teungku Dahlan seakan tak berhenti menitik.

Selasa (8/2) siang, tatkala panas matahari memanggang kulit, Dahlan tampak tengah mengais-ngais di reruntuhan tembok di kawasan Pasar Lhok Nga di Kelurahan Mon Ikeun, Kecamatan Lhok Nga, sekitar 12 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Seperti hari-hari sebelumnya, Dahlan datang ke reruntuhan bekas rumahnya. Di kawasan padat berjarak 200-300 meter dari bibir pantai itu tidak satu pun bangunan yang berdiri tegak. Yang tersisa hanya bongkahan tembok.

Setiap hari selama sebulan lebih Dahlan melakukan rutinitasnya itu. Dia memang tak berharap lagi menemukan belahan hatinya, sang istri bernama Nuraini (28), dan tiga buah hatinya, Maesarah (7), Maulana Aziz (3), dan Masyitah (1,2). Tetapi bayangan istri dan ketiga anaknya tak pernah lepas dari benaknya.

“Ini baju anak saya,” katanya seraya mengangkat sepotong kaus berwarna biru dan berlengan berwarna merah. Menemukan kaus itu, air matanya menetes di pipi. Kaus itu masih tampak utuh, tetapi sudah lusuh dan tertutup butiran pasir.

Pantai barat Aceh (Foto: Subhan SD)

Di kaus itu masih terlihat gambar Spiderman, “si laba- laba” yang menjadi ikon jagoan anak-anak. Buliran air mata terus membasahi pipinya. Kepedihan yang menggelayutinya seperti tidak mau lepas dari hatinya. “Saya juga menemukan jilbab anak saya yang pertama,” katanya. “Saya sudah menemukan 10 potong baju anak-anak dan istri.”

Baju-baju lusuh dan kotor itu dibawanya ke tempat pengungsian di Kamp Jenggala, 2,5 kilometer dari rumahnya yang hancur. Di tempat pengungsian itulah, satu per satu dicucinya baju-baju itu. “Saya cuci dan saya simpan. Hanya pakaian itulah kenangan yang bisa saya kumpulkan,” katanya.

Meskipun berusaha pasrah, rasa bersalah tebersit di wajahnya. Beberapa hari sebelum tragedi, anaknya, Maulana Aziz, ingin sekali mengenakan baju baru yang dibelikannya untuk persiapan Idul Adha 1425 Hijriah pada 21 Januari. Tetapi, setiap Maulana memintanya, Dahlan selalu membujuknya, “Nanti ya Nak, dipakai pada hari Lebaran (Idul Adha) saja.” Namun, sebelum Idul Adha tiba, bencana gempa dan tsunami datang. “Saya menyesal sekali, baju itu belum dipakainya,” katanya.

MATA Dahlan yang berurai air mata tampak menerawang. Hanya bongkahan puing-puing yang terhampar di sekelilingnya. Saat melempar pandangan ke laut lepas di Samudra Indonesia, terlihat ombak laut yang biru nan indah, nyaris tak disangka bisa menjadi pembunuh ganas pada Minggu 26 Desember silam. Yang lebih memedihkan hati, ketika bencana datang, Dahlan tidak bersama keluarganya.

Foto: Subhan SD

Seperti biasanya, setiap pagi selepas shalat subuh, Dahlan belanja ke Pasar Keudah di Banda Aceh. Maklumlah, meskipun dikenal sebagai pembuat peci, Dahlan juga berdagang sayur-mayur di Pasar Lhok Nga. Bermodal uang Rp 200.000, dia membeli pisang dan sayur- sayuran. “Ketika gempa, saya di Pasar Keudah,” katanya. Dia pun segera pulang naik labi-labi. Tetapi, di tengah perjalanan di sekitar Tanjung, orang-orang panik. Ada yang naik ke rumah-rumah berlantai dua, ada yang lari ke arah gunung. Orang-orang berteriak, “Air naik, air naik!”

Dahlan teringat istri dan anak-anaknya di rumah. Barang dagangannya tak dihiraukan lagi. Dia berusaha menembus kepanikan orang tetapi gagal karena air terus datang. Sampai-sampai dia terendam sebatas dada. Tak kuasa melawan air laut, dia berusaha menembus sampai ke gunung.

Begitu air surut, dia berlari ke rumahnya. Tetapi melihat kampungnya yang rata dengan tanah, lututnya semakin gemetar. Tidak ada lagi yang tersisa. Rumahnya dan bangunan lainnya tidak ada yang berdiri. Tak ada seorang pun yang ditemukannya di kampung kecuali mayat bergelimpangan. Diperkirakan, dari 2.500 penduduk di daerah itu, yang tersisa 500 orang. Dia membayangkan betapa keluarganya begitu dicekam ketakutan saat tsunami menerjang kampungnya.

Kapal terseret tsunami (Foto: Subhan SD)

“Saya tidak punya harapan lagi. Tetapi semua itu milik Allah dan sudah diambil-Nya, saya pun rela,” katanya. Tangannya masih meremas- remas kaus bergambar Spiderman itu.

Kehampaan itulah yang nyaris mengisi relung-relung hati warga Aceh sekarang ini. Kebingungan, kecemasan, dan ketiadaan harapan terpancar jelas dari wajah mereka. Tak semua orang bisa menerima kehilangan keluarga dan orang- orang tercinta dengan hati ikhlas. Namun, bencana itu telah mengajarkan orang-orang Aceh untuk semakin kukuh. “Bagaimana kita tidak ikhlas. Bukan hanya saya sendiri yang jadi korban, ribuan orang Aceh mengalaminya,” ujar Mauludin yang kehilangan ibunya, Rohana (70), dan empat saudaranya.

Mauludin yang tinggal di Medan langsung pergi ke kampungnya di Lorong Tenggiri, Ulee Lheue, Banda Aceh, begitu tsunami menyapu kampung halamannya. Tetapi dia tidak pernah menemukan ibunya dan saudara-saudaranya, termasuk jasadnya sekalipun.

“Sepanjang hari saya mengangkat 20 mayat yang bergelimpangan. Selama dua minggu itu saya mengevakuasi 280 mayat. Tetapi saya tidak menemukan mamak dan saudara- saudara. Karena muka dan tubuh mayat sudah hancur, tak bisa dikenali lagi. Biarlah di antara mayat-mayat itu saya anggap ada mamak dan saudara saya,” katanya.
Mata Mauludin berkaca-kaca. “Saya pernah telepon ke mamak bahwa Idul Adha mau pulang ke rumah. Mamak saya bilang, “Kalau pulang, belikan baju ya Din”. Saya bilang, “iya, akan saya belikan”,” katanya.

Rata tanah (Foto: Subhan SD)

Namun, baju itu tak pernah sampai ke ibunya. Bagi Mauludin, Teungku Dahlan, dan ribuan warga Aceh lainnya, di saat hati tersayat-sayat kehilangan orang-orang tercinta, maka sepotong baju pun bisa sangat bermakna. 

Kompas, Sabtu 12 Feb 2005