subhan.esde@yahoo.com

“Kitorang” Hanya Ambil “Dorang” Punya Sampah…

Kawasan Banti di Tembagapura menjadi salah satu titik bagi para pendulang emas liar. Para pendulang yang umumnya suku Amungme itu mengais emas dari sisa-sisa pertambangan di limbah tailing Freeport. (Foto: Subhan SD)

Kesunyian jalan menuju areal pengolahan konsentrat tambang PT Freeport Indonesia di Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, kembali terusik awal Oktober lalu. Ratusan pendulang liar “marah” dan menyerbu pabrik konsentrat di Mil 74 karena merasa “diingkari” PT Freeport Indonesia.

Ketika itu para pendulang mendorong sebuah forklif ke pintu pagar pabrik. Tiga drum oli ditaruh di tengah jalan. Satu drum dibuat bocor sehingga oli tumpah di jalanan. Mereka membakar ban bekas menimbulkan asap hitam membubung ke angkasa. Para pendulang juga menutup pintu pagar dan melarang setiap kendaraan melintas.

Aksi itu, kata koordinator Wally Kogoya, karena PT Freeport Indonesia (PT FI) mengingkari kesepakatan ganti rugi. “Pada 19 Juni 2006, tiga staf sekuriti PT FI mendatangi kami, para pendulang yang biasa mencari emas di dam Kaswang di Mil 73. Mereka meminta kami berhenti mendulang tailing di dam Kaswang,” kata Kogoya.

Para pendulang setuju asalkan mendapatkan ganti rugi, yaitu sepuluh truk pasir (konsentrat) emas dan uang Rp 500 juta bagi setiap pendulang. Kogoya mengatakan, saat itu salah satu staf PT FI menyanggupi. “Tetapi sampai sekarang ganti rugi itu tidak dibayarkan,” keluhnya.

Aksi pada hari Selasa (3/10) itu akhirnya dibubarkan polisi pada Rabu (4/10) dini hari. Ada 47 pendulang yang membarikade jalan PT FI itu diangkut ke Markas Kepolisian Resor Mimika di Timika. Setelah diperiksa hingga Sabtu (7/10), 44 pendulang dilepas, tetapi tiga pendulang, termasuk Kogoya, jadi tersangka, dengan tuduhan membawa senjata tajam.

Walaupun dilarang oleh PT Freeport Indonesia, masyarakat tetap melakukan kegiatan pendulangan emas di areal pembuangan tailing. Tampak warga dari suku Amungme mendulang emas di Banti, Distrik Tembagapura. (Foto: Subhan SD)

“Kenapa kami dijadikan tersangka? Kami tidak merusak apa-apa. Kalau kami mendulang emas, kitorang (kami) hanya ambil dorang (PT FI) punya sampah. Kalau membawa panah dijadikan tersangka, itu lucu. Kami ini makan dan tidur juga selalu membawa panah, karena begitulah nenek moyang kami,” kata Kogoya.

Kasus tersebut merupakan kesekian kalinya terjadi antara para pendulang liar dengan PT FI. Konflik terus berulang, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Konflik mutakhir yang terjadi berlarut-larut sehingga PT FI sempat tak beroperasi selama tiga hari ketika para pendulang memblokir jalan menuju areal tambang terbuka (open pit mine) di Grasberg, Februari silam.

Pemblokiran itu buntut bentrokan beberapa hari sebelumnya ketika aparat melakukan penertiban pendulang liar di kawasan terlarang di Mil 72-74. Tiga pendulang tewas tertembak, dua satpam PT FI terkena panah, dan banyak lagi yang luka-luka baik pendulang maupun anggota Brimob. Tak sampai di situ, protes mahasiswa dan warga pascabentrokan itu malah meletupkan kerusuhan di depan Kampus Universitas Cenderawasih, Abepura, yang menewaskan lima aparat, 16 Maret 2006.

Penjual pinang (Foto: Subhan SD)

Penertiban dilakukan karena kawasan beroperasinya para pendulang itu merupakan daerah terlarang. Senior Manager of Public Affair, Siddharta Moersjid, menjelaskan, PT FI berkeberatan dengan pendulangan tailing karena membahayakan keselamatan para pendulang.

“Ketika tailing dibuang, seperti banjir besar yang bisa mengempaskan para pendulang. Jadi memang berbahaya. Sudah banyak ditemukan kerangka manusia di sungai pembuangan tailing itu,” kata seorang aparat yang bertugas di areal konsesi PT FI seraya menyatakan pendulang tak jera walau berulang kali ditertibkan. “Memang berbahaya, tetapi di sini emasnya besar-besar,” kata seorang pendulang yang ditemui di Banti, Tembagapura, beberapa waktu lalu.

Magnet ribuan orang

“Sampah tambang” itu, menurut peneliti Universitas Negeri Papua, Agus Sumule, dihasilkan dari pengolahan ribuan ton bahan baku tambang. “Dari setiap bahan baku tambang, hanya sekitar 2 persen yang dijadikan konsentrat tambang. Sisanya, menjadi tailing yang dibuang. Tidak ada data berapa tailing yang dibuang setiap hari, tetapi berdasarkan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan produksi PT FI 1997, kapasitas terpasang PT FI mampu mengolah 330.000 ton bahan baku tambang per hari,” kata Sumule.

Aksi demo. (Foto: Subhan SD)

Meski bagi PT FI tailing itu hanya limbah, nyatanya menjadi magnet bagi ribuan pendulang emas, lantaran kaya kandungan emas. Bendahara Forum Pembinaan dan Pengendalian Pendulang PT FI (FP3), Anton Alom, menuturkan, para pendulang “sampah tembaga” PT FI itu bisa mendapatkan uang Rp 1 juta-Rp 9 juta per orang per hari. Di areal tailing, harga penjualan setiap gram “sampah tembaga” itu Rp 95.000 sampai Rp 140.000.

Dengan asumsi setiap hari ada 3.500 pendulang bekerja keras sehingga mendapatkan uang Rp 1 juta per hari, maka seorang pendulang mendapatkan emas seberat 7,14 gram (dengan harga Rp 140.000 per gram). Adapun total penghasilan 3.500 pendulang itu mencapai 25 kilogram emas per hari.

Dengan harga termurah Rp 95.000 per gram saja, hasil pendulangan 25 kilogram emas itu nilainya sebesar Rp 2,375 miliar per hari. Dalam satu tahun, nilai hasil pendulangan tailing itu mencapai Rp 866,9 miliar. Bandingkan dengan neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Mimika 2006 yang hanya Rp 496 miliar.

Tak heran sejak PT FI beroperasi tahun 1967 dan menjadikan areal konsesi sebagai kawasan terlarang, justru ibarat sinar yang mengundang ribuan laron. Kawasan pendulangan bebas di bagian hilir, yakni di Kali Kabur di sepanjang Mil 28-32, kini sudah semakin sepi ditinggal pendulang karena semakin kecil peluang mendapatkan emas di antara limbah tailing itu.

Tembagapura (Foto: Subhan SD)

Para pendulang semakin terkonsentrasi di kawasan hulu (highland), terutama Mil 68-74. Walau terlarang, pendulang tidak kehabisan akal untuk menuju ke sana. Penduduk asli berdatangan berjalan kaki berhari- hari dari balik pegunungan yang tingginya rata-rata di atas 3.000 meter.

Sejak tahun 2005, migrasi ribuan penduduk ke Tembagapura terus mengalir dari Kabupaten Puncak Jaya di sebelah timur dan Paniai di sebelah barat. Suku Moni berduyun-duyun berjalan kaki dari Distrik Sugapa, Ugimba, Homeyo, dan Paniai Timur di Kabupaten Paniai. Hal itu dikarenakan orang Moni (Utara) mengklaim Grasberg adalah bagian ulayat mereka. Suku Lani/Dani berdatangan dari Distrik Ilaga, Puncak Jaya, sedangkan suku Damal datang dari Distrik Beoga, Puncak Jaya.

Akan tetapi, tidak sedikit juga warga yang datang dari arah “bawah”, yaitu Timika, termasuk warga pendatang. Mereka juga bisa menembus pos-pos pengamanan selepas Mil 32 yang hanya bisa dilewati kendaraan yang memiliki kartu khusus.

Namun, menjadi rahasia umum bahwa pengangkutan pendulang liar itu menjadi ladang bisnis sampingan oknum-oknum tertentu. Misalnya saja untuk ke areal pendulangan di Mil 35-38, pendulang membayar Rp 200.000-Rp 500.000. Jika ingin lebih dekat ke pusat pembuangan tailing, seperti di Banti atau Mil 74, ongkosnya mencapai jutaan.

Tak heran, kini ribuan orang mendulang secara terbuka di dekat sumber pembuangan tailing di Sungai Aghawagong di highland. Setiap hari mereka hilir mudik bahkan bermukim di pinggiran sungai. Mereka tak takut meski pos-pos aparat keamanan juga ada. Bahkan mereka bebas bertransaksi menjual emas di pinggir sungai, termasuk kepada sejumlah oknum aparat.

Pusat niaga Tembagapura (Foto: Subhan SD)

Di kawasan hulu itu setidaknya ada empat lokasi besar pendulangan yang juga dikuasai oleh kelompok suku tertentu. Di lokasi pendulangan itu malah tumbuh aktivitas ekonomi, mulai menjual pinang, kebutuhan makan-minum, usaha angkutan ke Timika, hingga bisnis jual-beli telepon seluler. Bukan hanya di antara mereka, juga ada aparat yang mencari tambahan rezeki dengan melibatkan diri ke dalam bisnis itu.

Wajar saja bila Ketua Umum Forum Pembinaan dan Pengendalian Pendulang PT FI (FP3), Nico Magai, mengatakan, hasil pendulangan jauh lebih menjanjikan daripada gaji seorang anak Papua yang menjadi karyawan PT FI. “Jika kami menjadi karyawan PT FI, paling kami hanya menjadi pegawai golongan F atau E, dengan gaji Rp 1,8 juta-Rp 2 juta per bulan. Sementara dengan mendulang, ribuan orang mendapat penghasilan jutaan rupiah per hari. Itu tidak sebanding,” kata Magai.

“Nyatanya, dengan mendulang inilah kami bisa menghidupi gereja, mencari uang untuk mendamaikan perang suku, membantu sanak keluarga kami. Bukan dengan dana (kemitraan) satu persen yang tidak pernah jelas mekanisme kucurannya itu,” kata Anton Alom.

Pemerintah Kabupaten Mimika kewalahan untuk menghentikan kegiatan para pendulang. Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah Mimika Omah Laduani Ladamay menjelaskan, pada tahun 2004 Pemkab Mimika dan PT FI pernah membicarakan upaya menghentikan pendulangan. “Kami pernah mencoba mengalihkan pendulang kepada pekerjaan lain, seperti berkebun dan lainnya. Akan tetapi, karena ternyata pendapatan pendulang sangat tinggi, para pendulang menolak berhenti mendulang,” kata Ladamay. (Aryo Wisanggeni Genthong dan Subhan SD)

Kompas,  Sabtu 14 Oktober 2006