subhan.esde@yahoo.com

Keheningan Rawa Aopa Watumohai

Padang savana (Foto: Subhan SD)

Setelah berjam-jam menyusuri padang savana di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara, rasa penasaran tak sirna jua. Niat mengintai rusa dan anoa pun pupus sudah karena jejak mereka tidak mudah lagi ditemukan di habitatnya itu.

Sebetulnya, saat memasuki portal taman nasional itu di Roraya, Kabupaten Bombana, setelah menyusuri perjalanan sejauh 120 kilometer dari Kendari, La Ipo, pegawai kantor Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TN RAW) sudah mengingatkan. “Sekarang sulit menemukan rusa dan anoa, berjam-jam belum tentu menemukannya. Mesti berhari-hari dan masuk jauh ke dalam hutan,” kata La Ipo, mantan polisi hutan (jagawana) itu.

Ini berbeda jauh dengan suasana tahun 1970-an tatkala Wakil Presiden Adam Malik dan seorang adik Syah Iran Reza Pahlevi melakukan wisata perburuan di savana tersebut. Kala itu rusa masih mudah dijumpai, hidup berkelompok mencari makan di antara ilalang di padang luas yang saat itu masih merupakan kawasan Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) Taman Wisata Buru Dataran Rumbia (Watumohai).

Hamparan teratai (Foto: Subhan SD)

“Sepuluh tahun lalu, kami masih sering menjumpai kawanan rusa mendekati kendaraan lewat,” kata warga Kendari yang menemani perjalanan kami, pertengahan Maret lalu. Jalan yang melingkar dari Kendari menuju Kabupaten Bombana memang membelah kawasan taman nasional sepanjang 24 kilometer.

Saat ini di padang savana itu yang terlihat hanyalah hamparan ilalang yang luas dengan tumbuhan agel (Corypha utan), lontar (Borassus flabelifer), bambu duri (Bambusa spinosa), serta semak belukar. Andai saja tiada lagi kicau burung bersahut-sahutan dan tingkah elang-elang yang terbang rendah, padang luas itu benar-benar sunyi.

Rusa di penangkaran (Foto: Subhan SD)

Rusa dan anoa yang merupakan penghuni kawasan itu boleh dikata tinggal sisa-sisa sebab perburuan liar tak bisa dicegah. Bagi penduduk sekitar dari suku Moronene dan Tolaki serta warga kota Kendari, taman nasional itu merupakan sumber daging rusa gratis. La Ipo melukiskan, para pemburu datang berkelompok sekitar 80 orang. Bukan saja membawa senjata tajam, tetapi juga senjata api rakitan.

Habitat satwa (Foto: Subhan SD)

Sudah pasti polisi hutan yang jumlahnya sekitar 30 personel tidak mampu mencegah aksi perburuan liar itu. Apalagi taman nasional itu luar biasa luasnya, yaitu 105.194 hektar, dengan komposisi ekosistem bakau, hutan pantai, savana, hutan hujan pegunungan rendah, dan rawa yang tersebar di empat kabupaten, yaitu Bombana, Konawe, Konawe Selatan (Konsel), dan Kolaka. Aksi pemburu itu sempat reda ketika sejumlah polisi turun tangan.

Berjam-jam tak menemukan rusa, akhirnya kami mendatangi tempat penangkaran di lokasi transmigrasi di Agromete, Desa Merongraya, Tinanggea, Konsel. Walau harus menyusuri jalanan tanah dan menyeberangi sungai kecil yang jembatannya rusak, kami beruntung karena masih menemukan rusa dataran rendah taman nasional itu di penangkaran.

Memancing (Foto: Subhan SD)

Genangan air

Dari padang luas, kami membelah hutan dan kampung menuju bagian lain taman nasional melintasi jalan yang sebagian berupa tanah dan rusak. Setelah dua jam perjalanan, mata terenyak memandangi aliran air yang begitu hening, nyaris tak beriak. Itulah Rawa Aopa yang dulu merupakan suaka alam margasatwa.

Rawa Aopa merupakan genangan abadi seluas 70.000 hektar. Pada musim kemarau, 40.000 hektar menjadi lahan kering yang bisa digarap untuk pertanian. Ini amat potensial karena yang masuk kawasan taman nasional hanya 11.488 hektar.

Genangan Rawa Aopa terbentuk oleh limpahan air Sungai Lahumbuti dan Konaweha. Sebagian air rawa ini menyusup ke perut Bumi, lalu muncul ke Sungai Pohara, menjadi sumber air bagi 225.000 warga Kendari, dan bermuara di Laut Banda. Sebagian lagi dialirkan Sungai Roraya (Konsel) dan Sungai Langkowala(Bombana) yang bermuara di Laut Tiworo.

Berdiri di jembatan yang membentang di atas rawa tersebut, hamparan air hening itu seperti memantulkan kebisuan. Dalam hati, di air itu pasti banyak satwa liar. Tidak salah, karena Rawa Aopa merupakan habitat reptil, seperti buaya, ular sanca, ular hijau, ular hitam, dan beragam burung. Penduduk setempat mengakui dalam waktu- waktu tertentu mereka memberi makan buaya. Bagi penduduk, satwa-satwa itu adalah bagian dari lingkungan mereka. Tidak ada seorang pun yang mengusik.

Bahkan, anak-anak sekitar begitu bebasnya berenang di tepian rawa tersebut. “Tidak apa-apa, kami biasa berenang. Ya, buaya sih ada, tetapi saat ini lagi tidak ada,” kata Yanto, siswa kelas II SMP yang dalam sekejap terjun ke air bersama rekan-rekannya tanpa rasa takut sama sekali. Warga juga leluasa berperahu kecil mencari ikan.

Bermain di rawa (Foto: Subhan SD)

Suasana rawa yang agak mengerikan saat menjelang senja masih terlihat cantik dengan hamparan pohon teratai yang nyaris menutupi permukaan air. Daun-daunnya yang lebar dan hijau serta bunganya yang berwarna merah-ungu seperti taman alam yang begitu luas. (Subhan SD dan Yamin Indas)

Kompas, Minggu 8 April 2007