subhan.esde@yahoo.com

Jalan Perbatasan yang Terlupakan

Mbah Jinem (55) tak bisa menutupi wajahnya yang kelelahan saat melintasi jalan desa di Dusun Ngampih, Desa Jeblogan, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Sesekali dia membetulkan bakul berisi ketela pohon yang digendong di punggungnya.

Dia tak hirau walau panas memanggang tubuhnya yang menimbulkan bulir-bulir keringat membasahi wajahnya. Dia juga tak peduli meski batu-batu yang mencuat di jalan desa tersebut menusuk-nusuk sandal jepit yang dia gunakan.

Siang itu, Mbah Jinem sudah menyusuri jalan yang melingkari pinggang-pinggang bukit sejauh 4 kilometer. Perjalanan dari rumahnya di Dusun Gading di desa yang sama itu ditempuh lebih dari satu jam. Hampir setiap saat, dia harus menyusuri jalan berbatu-batu yang mendaki dan menurun itu.

Marginipun sampun dangu risakipun, pramila nyuwun dipun dandosi. Amargi menawi margi risak, sisah dipun langkungi (Jalannya sudah lama rusak, minta diperbaiki. Kalau jalan rusak, susah untuk dilewati,” kata Mbah Jinem.

Jalan-jalan yang menghubungkan antardusun di desa tersebut boleh dikatakan jauh dari layak. Sepanjang jalan masih berupa makadam dengan jenis batu yang besar-besar mencuat keluar hingga 10 sentimeter. Selebihnya berupa tanah merah. “Jalan di sini memang merepotkan. Kalau musim hujan licin. Tetapi, kalau di musim kemarau berdebu. Karena itu, warga berharap jalan ini diperbaiki,” ujar Wakiyem, warga Dusun Muning.

Jalan yang lebarnya rata-rata 3,5 meter itu sebetulnya cukupberbahaya. Karena umumnya kontur Desa Jeblogan berupa bukit- bukit, sebagian besar jalan berada di celah sempit. Jika tidak di punggung bukit, jalan berada di pinggang bukit, dengan posisi tanjakan-menurun. Agar tidak licin, rata-rata setiap jalan tanjakan di jalan poros desa selalu diberi lapisan semen (floor) kasar.

Ironisnya lagi, jalan-jalan yang berkembang menjadi jalan desa dari jalan setapak (jalan ternak) sejak tahun 1970-an itu adalah hasil swadaya masyarakat. “Masyarakat bahu-membahu memperbaiki jalan tersebut,” kata Kepala Dusun Ngampih, Sutardi.

Menurut Sekretaris Desa Jeblogan, Suparno, terakhir kali campur tangan pemerintah dalam perbaikan infrastruktur jalan tersebut sekitar tahun 1997/1998. Itu pun, kata Suparno, berdasarkan usulan pemerintah desa. Perbaikan jalan yang berupa makadam tahun 1980-an itu adalah pengerasan berupa pengaspalan untuk ruas antardesa. Tetapi, seperti desa lainnya, jatah aspal hanya sepanjang 2 kilometer.

Kala itu, bantuan pemerintah turun melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Jumlah bantuan sekitar Rp 50 juta. Namun, dana itu tidak semuanya untuk jalan. Juga dibagi pemberian makanan tambahan (PMT dan posyandu) serta koperasi simpan pinjam. “Untuk jalan paling Rp 20 juta,” kata Suparno.

Mobilitas komoditas

Kondisi jalan yang kurang layak itu mengakibatkan akses dan mobilitas penduduk pun rendah. Jenis angkutan yang tersedia hanya kendaraan sejenis minibus yang juga terbatas. Angkutan itu melayani trayek ke Batuwarno, kota terdekat, yang juga merupakan kecamatan lama sebelum dimekarkan menjadi Kecamatan Karang Tengah tahun 1995.

Pada saat itu pula jalan poros antara Batuwarno-Karang Tengah di Jawa Tengah hingga Kecamatan Punung di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, baru diaspal. Boleh jadi karena kontur jalan yang mendaki dan menurun, cukup sulit dilewati sepeda motor sehingga tidak ditemui ojek. Apalagi kendaraan tradisional sejenis dokar, dipastikan akan kepayahan melintasi jalan-jalan di Jeblogan.

Walaupun terbatas, kendaraan roda empat yang jumlahnya sembilan unit melayani warga desa itu masih cukup membantu untuk membuka isolasi dibandingkan dengan sebelum tahun 2002 saat penduduk berjalan kaki menuju Batuwarno atau ke wilayah tetangga di perbatasan Jawa Timur di Punung, Kabupaten Pacitan.

“Dulu untuk ke Batuwarno harus menginap di tengah jalan karena kalau berjalan terus tenaganya tidak kuat. Maklumlah karena tidak ada angkutan,” kata Mbah Somejo (70-an). Jalan di desa-desa itu sendiri mulai banyak ditingkatkan berupa makadam tahun 2005, selepasPemilu 2004.

Akibat kondisi jalan tersebut, akses dan mobilitas penduduk pun sangat rendah. Yang paling runyam adalah potensi hasil bumi yang dimiliki Jeblogan tak mudah dipasarkan. Padahal, desa yang berada di bagian hulu Sungai Bengawan Solo tersebut termasuk sentra komoditas perkebunan, seperti cengkeh, kelapa, kopi, mete, merica, ketela pohon, jagung, kacang tanah, dan kedelai.

Sayangnya, akibat akses yang sulit itu, produksi perkebunan tersebut tidak optimal. “Soalnya ongkos kendaraan cukup mahal bagi warga desa. Pergi-pulang ke Batuwarno (dua jam perjalanan) harus mengeluarkan ongkos Rp 20.000,” kata Suyatno, warga Dusun Ngampih.

Untuk mengangkut komoditas perkebunan, warga dikenai biayaangkut Rp 10.000 per kuintal. Bisa juga disewa, tetapi harganya mencekik. Untuk sekali sewa (carter) biayanya Rp 150.000.

“Kalau saja akses ini diperbaiki, potensi alam yang dimiliki Desa Jeblogan bisa dipasarkan lebih baik karena memang sentra perkebunan dan juga pertanian,” ujar Supriyadi, pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Solo yang ikut dalam tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007.

Dengan realitas seperti itu, otomatis perkembangan desa tersebut amat lamban. Tak heran 5.293 penduduk yang tersebar di 15 dusun di desa itu, yakni Tenggar, Ngampih, Bero, Karang, Dayu, Suden, Sambi, Sanbeng, Nglepo, Pundungetan, Pundungkulon, Gading, Bakung, Muning, dan Brenggolo, hingga saat ini lebih banyak berjalankaki dari dusun ke dusun berjam-jam.

Dibandingkan dengan dari pusat ibu kota Wonogiri, desa tersebut justru lebih dekat dengan wilayah Pacitan, Jatim. Tetapi, wilayah Pacitan sendiri merupakan daerah terjauh di Jatim.

Berada di simpang perbatasan dua provinsi itu membuat Jeblogan seakan terlupakan. Padahal, Jeblogan merupakan kawasan mata air yang memasok air Sungai Bengawan Solo yang menjadi sumber kehidupan bagi jutaan orang di 11 kabupaten di dua provinsi tersebut. “Kami berharap ada perbaikan jalan, apalagi desa ini hanya sekitar 3 kilometer dari kampung halaman Pak Presiden di Pacitan,” kata Suyatno.

Kompas, Sabtu 9 Juni 2007