subhan.esde@yahoo.com

Babak Baru Pengusutan Korupsi di DPRD Sulawesi Selatan

DI depan kamera raut wajah Syamsuddin, Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan, Senin (11/10) siang, terlihat kosong. Nyaris tanpa ekspresi. Dia terkejut lantaran baru tahu bahwa dirinya ditetapkan sebagai tersangka pertama dalam kasus dugaan korupsi sebesar Rp 18,2 miliar di DPRD Sulsel.

KEPALA Kepolisian Daerah (Polda) Sulsel Irjen (Pol) Saleh Saaf saat mengumumkan nama tersangka pertama itu, Senin pagi menegaskan, “Setelah dilakukan analisa dan evaluasi, akhirnya ditetapkan satu tersangka, yaitu Sekretariat Dewan (Sekwan) Syamsuddin.”

Munculnya nama tersangka itu merupakan babak baru dalam pengusutan kasus dugaan korupsi di DPRD Sulsel. Betapa tidak, nama tersangka baru diperoleh setelah lebih dari tiga bulan kasus itu menggelinding ke publik. Yang membuat banyak orang bertanya- tanya, mengapa cuma Syamsuddin yang jadi tersangka? Apakah dia dikorbankan?

Syamsuddin sendiri tak habis pikir. “Saya ini cuma pelayan administrasi, bukan pengambil kebijakan. Yang diputuskan sesuai perda (peraturan daerah), saya hanya melaksanakan tugas administrasi saja,” kata Syamsuddin yang mantan Kepala Bagian Ekonomi Pembangunan (Ekbang) Pemerintah Provinsi Sulsel itu.

Akan tetapi, polisi seperti memasang jerat. Dari hasil pemeriksaan secara intensif terhadap Syamsuddin, polisi pun berhasil mengorek sejumlah informasi penting. Hasilnya muncullah sederetan nama-nama tersangka lainnya, kali ini dari kalangan anggota DPRD.

Kamis (14/10), Kepala Polda Irjen Saleh Saaf menegaskan, ada 14 anggota DPRD yang jadi tersangka menyusul Sekretaris DPRD Syamsuddin.
Ke-14 nama itu merupakan Tim Penyerasi Perubahan APBD 2003 yang merupakan bagian dari Panitia Anggaran yang jumlahnya 35 orang. Tim ini dinilai sangat tahu secara detail alokasi anggaran ke pos-pos mana saja.

Ke-14 nama yang merupakan tim penyerasi itu adalah Arfandy Idris, Hoist Bachtiar, La Kama Wiyaka, Hamzah Hapati Hasan, Ichsan Yasin Limpo, Saldy Mansur, Mapparesa Tutu, Dachlan Maulana, Ajeip Padindang, Macmud Hajar, Abdul Rahman, Aries Pangerang, Ramli Rewa, dan Rahim Patta.

Kesemuanya berasal dari Partai Golkar. Empat nama terakhir tidak lagi menjadi anggota DPRD pada periode 2004-2009. Kepala Polda Sulsel menegaskan, tidak tertutup kemungkinan akan muncul tersangka baru.

Meskipun masih mengundang rasa penasaran banyak pihak, tetapi upaya polisi dinilai banyak kemajuan. Sebab, selama ini sebetulnya polisi sudah siap menangani 13 nama anggota DPRD dalam kasus dugaan penggelembungan (mark up) APBD 2003 itu, tetapi selama tiga bulan terakhir ini kerja polisi malah bikin geregetan banyak orang.

Tak ayal lagi, dalam tiga bulan itu polisi seakan menjadi tempat tumpahan kritik, protes, dan kekesalan. Karena, meski disokong banyak pihak, Polda Sulsel tetap belum mau memeriksa ke-13 nama anggota DPRD itu. Sikap Polda Sulsel itu karena punya alasan yang masuk akal dan prosedural. Yaitu belum adanya izin dari Mendagri meskipun suratnya telah dilayangkan Polda sejak awal Juli.

Tak mengherankan jika polisi tak ingin bertindak gegabah. Tampaknya polisi tidak mau salah langkah atau salah prosedur. Memang, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 110/2000, untuk memeriksa anggota DPRD diperlukan izin dari Mendagri.

Banyak pihak yang amat berharap pengusutan tuntas kasus tersebut hampir-hampir putus asa. Bahkan tidak sedikit yang menduga-duga bahwa polisi “main mata”. Apakah karena anggota DPRD itu kini menjadi orang- orang berpengaruh karena menduduki posisi di pemerintahan, misalnya? Atau ada kesepakatan lain?

Hal-hal seperti itu sering mengemuka. Apalagi di daerah-daerah lain pengusutan kasus korupsi di DPRD ditanggapi dengan cepat. Salah satunya adalah dari tetangga dekat, Kendari, Sulawesi Tenggara. Ibarat bedol desa, nyaris semua (25) anggota DPRD Kota Kendari diangkut ke “hotel prodeo” beberapa malam akibat tersangkut kasus yang sama.

“Kendari saja bisa, masak Sulsel tidak bisa,” kata Koordinator Anti-Corruption Committee (ACC) Abraham Samad dengan nada geram. Tetapi, Kepala Polda Sulsel Saleh Saaf pada setiap kesempatan dengan tenangnya menjawab, “Percayalah kasus itu kami tangani, tetapi izin Mendagri kami belum turun.”

Sampai anggota DPRD periode 1999-2004 itu habis masa kerjanya, 23 September 2004, izin dari Mendagri belum turun juga. Dari 13 anggota DPRD yang ditangani Polda Sulsel, tujuh orang terpilih kembali. Enam orang kembali ke masyarakat. Tetapi “kembalinya” anggota DPRD ke masyarakat itu rupanya menjadi titik awal bagi polisi untuk bergerak. Para anggota DPRD yang lengser itu lalu dipanggil satu per satu karena tak lagi butuh izin Mendagri.

Hanya satu minggu berselang setelah pelantikan anggota DPRD 2004- 2009, Polda mulai menyebarkan surat panggilan. Tanggal 28 September 2004 tiga mantan anggota DPRD yang diperiksa adalah Ramli Rewa dan Altin Noor (keduanya dari Partai Golkar), serta Stefanus Andu (PDI- P). Esoknya, 29 September, diperiksa tiga orang lagi, yaitu Abdul Rahman dan Abdul Rahim Patta (Partai Golkar), serta Adnan Tiro (PPP).

Setelah keenam orang itu, ada lagi enam mantan anggota DPRD yang diperiksa, yaitu Marwan Yahya, Mochtar Husain, Syaifuddin Makka, Hasanuddin Arsyad, Sukman Baharuddin, Wahab Solong (semuanya dari Partai Golkar).

Jauh sebelum ada nama-nama tersebut, polisi telah memeriksa sejumlah pejabat Pemprov Sulsel, yaitu Sekretaris Provinsi A Tjoneng Mallombassang, Wakil Ketua Bappeda Sulsel H Masalangka Tjulang, Kepala Biro Keuangan Pemprov Sulsel A Yuskar Huduri, dan mantan Kepala Bagian Ekbang Pemprov Sulsel Alwi Akil.

Di luar itu, polisi telah memeriksa Sekwan Syamsuddin yang kemudian jadi tersangka dan juga Direktur STIE Patria Artha Bastian Lubis yang pertama kali mengungkap dugaan korupsi itu.


KASUS dugaan korupsi di DPRD Sulsel menjadi pembicaraan hangat selama tiga bulan terakhir ini. Bukan hanya soal kasusnya itu sendiri, tetapi juga penanganan kasus itu oleh polisi yang dinilai lamban. Modus penggunaan uang itu, seperti juga di banyak kasus di daerah- daerah lain, adalah dengan cara penggelembungan APBD Tahun 2003, khususnya di pos anggaran DPRD Sulsel.

Menurut Bastian Lubis, pengamat keuangan sekaligus auditor keuangan independen yang pertama kali mengangkat kasus itu, ada kejanggalan dalam penyusunan anggaran itu. Misalnya saja, ada anggaran tunjangan tambahan penghasilan untuk anggota DPRD yang semula Rp 4,81 miliar dinaikkan menjadi Rp 11,4 miliar di dalam revisi.

Padahal, di dalam PP No 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD, istilah tunjangan tambahan penghasilan itu tidak ada. Dalam PP tersebut hanya ada enam jenis penghasilan, yaitu uang representasi, uang paket, tunjangan jabatan, komisi khusus, dan tunjangan perbaikan penghasilan. Boleh jadi tunjangan tambahan penghasilan itu lebih berdasar pada Surat Keputusan Gubernur Nomor 603/2003.

Keanehan lain adalah adanya pos anggaran yang semestinya masuk ke Sekwan ternyata dialihkan ke pos anggaran DPRD. Jumlahnya pun ditambah.
Misalnya, anggaran biaya operasional komisi sebesar Rp 150 juta yang ada di Sekwan digeser ke anggaran DPRD menjadi biaya operasional komisi-komisi dengan jumlah Rp 900 juta (naik 500 persen).

Tunjangan operasional pengawasan/evaluasi APBD yang semula di Sekwan hanya Rp 562,5 juta, ketika digeser ke anggaran DPRD jumlahnya menjadi Rp 1,6 miliar (naik 200 persen).

Akan tetapi, ketika kasus itu mencuat, Ketua DPRD (saat itu) Eddy Baramuli punya jawaban untuk menangkis tudingan tersebut. Baramuli bilang, penyusunan dan perubahan anggaran itu tetap berpedoman pada peraturan dan undang-undang serta petunjuk Mendagri, termasuk soal tunjangan tambahan penghasilan tersebut.

“Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 menyebutkan bahwa pimpinan dan anggota DPRD disamakan kedudukannya dengan PNS (pegawai negeri sipil). Berdasar Pasal 29 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 disebutkan, PNS berhak atas tunjangan tambahan penghasilan. Karena DPRD sama dengan PNS, maka peluang tambahan penghasilan di DPRD juga ada. Sedangkan untuk pergeseran anggaran Sekwan ke DPRD, mengacu pada petunjuk Mendagri berdasar surat nomor 903 tahun 2003. “Jadi, aturan mana yang kami langgar?” kilahnya saat itu. Namun, bagi Abraham Samad alasannya itu keliru. Katanya, tidak benar anggota DPRD disamakan dengan PNS.

“PP Nomor 110 Tahun 2000 itu hanya mengatur soal keuangan DPRD. Sementara yang dimaksud PP Nomor 105 Tahun 2000 memang disebutkan bahwa PNS bisa mendapat tunjangan penghasilan. Tetapi, yang dimaksud PNS di situ adalah guru, perawat, dan sejenisnya, bukan anggota DPRD. Karena anggota DPRD tidak masuk dalam kategori itu,” kata Abraham.

Beda penafsiran rasanya telah usai. Kini polisi telah bergerak serius. “Kami akan terus melakukan pengusutan,” ujar ketua tim pemeriksa kasus itu, Ajun Komisaris Rivai SH. Kepala Polda pun menegaskan pihaknya bakal menggunakan PP No 25/2004 di mana terkait dengan kasus korupsi, terorisme, ataupun tertangkap tangan, tidak diperlukan izin dari Mendagri. Masyarakat berharap babak baru dalam pengusutan kasus ini menjadi harapan baru.

Kompas, Selasa 19 Oktober 2004