subhan.esde@yahoo.com

SARA, Sumber Konflik yang Anggun

KONFLIK Polmas-Mamasa kembali berdarah. Penyerangan yang dilakukan kelompok pro-Mamasa di Kecamatan Aralle, Jumat sampai Sabtu pekan lalu, menewaskan dua warga kontra, yaitu Muis (42) dan seorang balita. Selain banyak yang menderita luka-luka, puluhan rumah dan lumbung padi pun dibakar-yang berakibat hangusnya satu rumah ibadah.

RIBUAN warga yang dicekam ketakutan mengungsi ke Mambi, tetangga Aralle. Senin (18/10) pagi terjadi lagi aksi penyerangan, tetapi tidak menimbulkan korban karena hal itu dapat segera diatasi aparat kepolisian. Tragisnya, peristiwa berdarah tersebut pecah tatkala Provinsi Sulawesi Barat-di mana dua kabupaten itu masuk di dalamnya- diresmikan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno.

Sesungguhnya persoalan konflik ini merupakan buntut dari pemekaran wilayah di era otonomi daerah. Otonomi daerah ternyata bukan hanya memberi harapan dan peluang, tetapi juga tak bisa membendung timbulnya konflik yang mengancam sistem dan sendi-sendi kehidupan.

Tatkala Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) yang luasnya 4.781,53 kilometer persegi dimekarkan menjadi dua kabupaten, Polmas dan Mamasa, otomatis dua wilayah itu terbagi dua. Akan tetapi, membagi dua wilayah di tiga kecamatan Aralle, Tabulahan, dan Mambi (kemudian disebut ATM) tak semudah membalik telapak tangan. Tatanan masyarakat yang hidup beribu-ribu tahun terbentuk itu tidak bisa begitu saja dipisahkan.

Akhirnya muncullah dua kubu; satu kelompok masyarakat yang ingin tetap bergabung dengan kabupaten induk (Polmas) serta sekelompok lainnya yang menghendaki bergabung dengan kabupaten baru (Mamasa). Yang setuju bergabung dengan Mamasa disebut pro-Mamasa dan yang setuju Polmas disebut kontra-Mamasa.

Perbedaan kelompok masyarakat ini tak lepas dari berbagai faktor, antara lain kesamaan sejarah, budaya, etnik, dan agama. Kelompok yang kontra-Mamasa merupakan orang-orang Mandar dan pemeluk agama Islam (Muslim). Sementara kelompok pro-Mamasa adalah orang-orang (subetnik) Mamasa yang lebih dekat dengan etnik Toraja dan beragama Kristen/Katolik.

Homogenitas sosial penduduk di kawasan itu bisa dibilang sangat jelas. “Kalau di suatu dusun atau desa ada seorang beragama Islam, bisa dipastikan semua penduduk desa itu Muslim. Begitu juga kalau ditemukan ada seorang non-Muslim di sebuah desa lain, bisa dipastikan juga semua penduduk di desa tersebut non-Muslim,” kata Moh Zakir Akbar, Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Masyarakat Pitu Ulunna Salu.

Tak bisa dimungkiri akhirnya konflik pemekaran wilayah itu menjelma menjadi konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). “Trauma tahun 1958 seakan muncul lagi. Ketika itu terjadi stigmatisasi bahwa warga Muslim di ATM merupakan gerombolan DI/TII. Sedangkan orang-orang Mamasa digunakan oleh pemerintah dalam Operasi Perlawanan Rakyat (OPR),” kata Zakir.

Dengan kondisi seperti itu, muncullah kecemasan-kecemasan. Kelompok pro-Mamasa tidak ingin bergabung dengan Polmas karena mereka bisa menjadi minoritas. Sebaliknya, kelompok kontra-Mamasa tidak mau bergabung dengan Mamasa karena mereka bisa juga menjadi minoritas.

Di samping itu, orang-orang di ATM yang kontra-Mamasa merasa keturunan dari tujuh kerajaan Mandar di kawasan pegunungan (Pitu Ulunna Salu) yang pada tahun 1610 bersumpah tak ingin berpisah. Sebetulnya, dari tujuh kerajaan itu, dua di antaranya pro-Mamasa, yaitu Tabang dan Bambang. Dua lainnya, Rantebulahan dan Matangnga, sudah tak bermasalah, masuk wilayah Polmas.

Yang mengerikan selama setahun terakhir ini sudah tiga kali terjadi kerusuhan. Pada 29 September 2003 warga pro-Mamasa menyerang permukiman kelompok kontra, sebagai balasan aksi pelemparan rumah warga pro-Mamasa. Tiga warga dari kelompok kontra tewas, yaitu Nurdin (35), Hamdi (40), dan Abdul Hakim. Ribuan orang yang dicekam ketakutan segera mengungsi. Namun, hingga saat ini pembunuh ketiga orang itu belum juga ditangkap.

Kondisi obyektif di ATM, pemerintahan selalu serba dua. Ada camat yang pro, ada juga camat yang kontra. Ada kepala desa yang pro, ada juga yang kontra. Bahkan, urusan sosial dan pendidikan pun tak lepas dari pertentangan dua kubu

Peristiwa kedua pecah lagi akhir Juli sampai awal Agustus lalu. Warga pro-Mamasa memblokir jalan di kawasan Desa Bambang Buda, Kecamatan Mambi. Kendaraan tidak bisa lewat sehingga lalu lintas pun lumpuh. Sebaliknya, warga kontra membalas dengan memblokir jalan di kawasan Pokko, Kelurahan Anreapi, Kecamatan Anreapi, dekat Polewali (Polmas).

DENGAN peta historis-sosial-religi itulah masyarakat sudah membagi wilayah masing-masing. Dua kelompok itu sudah saling menghargai. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Polmas juga menghormati sikap masyarakat. Begitu juga Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Akan tetapi, yang menjadi pangkal persoalan adalah putusan pemerintah pusat yang dinilai tak sesuai dengan keinginan masyarakat.

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2002 soal pemekaran kabupaten itu, wilayah-wilayah yang oleh masyarakat dan diakomodasi pemerintah daerah diusulkan masuk Kabupaten Polmas justru dimasukkan ke Kabupaten Mamasa. Sejak itulah konflik horizontal di masyarakat muncul dan tak terbendung, terutama setelah disinyalir adanya pihak- pihak yang memancing di air keruh. Kawasan ATM yang boleh dibilang agak terisolasi itu seakan menjadi tumpukan jerami yang di dalamnya ada tungku api yang selalu siap terbakar.

Kondisi obyektif di ATM, pemerintahan selalu serba dua. Ada camat yang pro, ada juga camat yang kontra. Ada kepala desa yang pro, ada juga yang kontra. Bahkan, urusan sosial dan pendidikan pun tak lepas dari pertentangan dua kubu. Ada guru-guru atau kepala sekolah yang pro-Mamasa, ada juga yang berpihak ke Polmas. Di puskesmas pun demikian, ada kepala puskesmas yang berkiblat ke Mamasa dan ada yang ke Polmas.

Realita di ATM itu disinyalir tak lepas dari sebuah skenario. “Sebetulnya di masyarakat tidak terjadi apa-apa. Mereka sudah sepakat, tetapi tampaknya ada pihak-pihak yang bermain di balik itu,” kata Ketua Tim Mediasi Konflik Polmas-Mamasa, M Roem.

Hal senada dikatakan pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Hasanuddin, Drs Kautsar Bailusi MA. “Konflik itu diciptakan kelompok elite menengah Polmas dan Mamasa yang tidak mendapatkan jabatan, yang punya pikiran kotor,” kata Bailusi.

Sentimen sejarah maupun simbol agama, lanjutnya, sering dimunculkan demi jualan orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. “Kalau bicara DI/TII, misalnya, sebetulnya di wilayah Indonesia timur ini semua bisa dikatakan begitu. Tetapi ini kan ada pihak-pihak yang memanfaatkan simbol-simbol agama untuk mencari dukungan. Ini justru menjadi sumber konflik yang sangat anggun,” kata Bailusi.

Moh Zakir juga mengatakan hal yang sama. “Sebenarnya masyarakat sudah ada kesepakatan, tetapi justru pemerintah yang menggunakan instrumen UU, mengakibatkan persoalan pemekaran wilayah ini diseret menjadi pertentangan SARA. Jangan diartikan bahwa orang-orang kontra itu tidak menghendaki pemekaran wilayah Mamasa. Itu silakan saja menjadi kabupaten sendiri, tetapi biarkan orang yang kontra itu tetap bergabung dengan kabupaten induk,” kata Zakir.

Runyamnya lagi, konflik tersebut tidak direspons dengan cepat. Dalam peristiwa Agustus lalu, menyusul aksi blokir jalan oleh kedua kelompok, sebetulnya sudah ada kata sepakat bahwa tapal batas segera dilakukan oleh pemerintah pusat (Departemen Dalam Negeri). Itu diputuskan oleh segenap tingkat pemerintahan yang dipimpin Gubernur Sulawesi Selatan HM Amin Syam. Namun, seperti juga diakui M Roem, selama dua bulan lebih sampai meletus lagi peristiwa terakhir ini, tim penetapan tapal batas itu belum juga turun ke lapangan.

Bagi Bailusi, konflik berlarut-larut ini juga akibat ketidaktegasan pemerintah daerah. Semestinya, kalau sudah ada aturan (UU No 11/2002), aturan itu harus diberlakukan. Jangan sampai memberlakukannya setengah-setengah.

Oleh karena itu, Bailusi pesimistis konflik tersebut bisa segera dituntaskan. “Sulit mencari jalan keluar karena aparat terlibat. Pemerintah pusat harus berani menyelidiki siapa yang berada di balik konflik itu. Yang bersalah harus dihukum,” ujar Bailusi.

Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Inspektur Jenderal Saleh Saaf melontarkan suara yang mendinginkan, “Marilah kita kembali ke pikiran jernih. Kalau terjadi pemekaran wilayah, tidak berarti berpisah atau bermusuhan. Kalaupun tapal batas sudah ditentukan, hal itu tidak berarti sebagai garis demarkasi yang memisahkan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Hal tersebut lebih merupakan pengaturan sistem administrasi tata kota.”

Memang menjadi tugas berat Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat agar pemekaran wilayah tidak terus merembet ke persoalan SARA.

Kompas, Selasa 19 Oktober 2004