subhan.esde@yahoo.com

Pilkada Sulteng dan Papua: Figur Lama Tumbangkan Mesin Politik

Pemilihan kepala daerah di dua daerah konflik itu sama-sama menghasilkan figur lama. Barnabas Suebu di Papua dan Banjela Paliudju di Sulawesi Tengah. Mengapa mereka berhasil? Apakah masyarakat tak butuh penyegaran?


Menariknya, kemenangan itu diraih saat keduanya tidak sedang berkuasa, melainkan beberapa periode telah lewat. Suebu menjadi Gubernur Irian Jaya periode 1988-1993, sedangkan Paliudju menjadi Gubernur Sulteng periode 1996-2001. Kalau keduanya tengah berkuasa lalu mengundurkan diri untuk ikut pencalonan kembali, mungkin bisa dimengerti karena dari sisi popularitas, pasti lebih dikenal publik. Namun, mereka justru sebaliknya. Mereka mampu membangkitkan memori masyarakat tentang mereka.

Akan tetapi, sebetulnya mengandalkan pengaruh kekuasaan tidak juga menjadi jaminan. Dua pasangan yang tengah naik daun, atau katakanlah berkuasa di dua daerah itu, ternyata tumbang. Padahal, keduanya pun didukung mesin politik yang luar biasa kuat.

Di Papua, pasangan John Ibo-Paskalis Kossy keok, bahkan disalip “kuda hitam” Lukas Enembe-AA Aituarauw. Dalam penghitungan sementara, Ibo-Kossy menduduki posisi ketiga. Padahal, Ibo dan Kossy masing-masing adalah Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang di masa otonomi khusus ini cukup kuat posisinya.

Hal sama dialami Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele bersama pasangannya, Sahabuddin Mustafa. Gubernur yang gemar berkuda ini hanya mendulang 288.847 suara dan berada di urutan ketiga dalam pilkada Sulteng lalu. Bahkan, posisinya berada di bawah wakil gubernur berkuasa, Rully Lamadjido, dan pasangannya, Sudarto, yang meraih 380.134 suara.

Runyamnya lagi, kedua pasangan yang kalah di Papua itu diusung mesin politik yang kuat, yakni Partai Golkar. Semula, sejumlah analis politik memperkirakan partai pemenang Pemilu 2004 itu akan bekerja habis-habisan untuk mengegolkan para kandidatnya. Apalagi partai itu memiliki instrumen dan kader yang tersebar di semua daerah, termasuk di pelosok-pelosok. Di atas kertas, akan sulit menandingi cara kerja Partai Golkar.

Tak mengherankan, tatkala kandidat Partai Golkar yang berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) JP Solossa, Gubernur Papua yang meninggal mendadak 19 Desember 2005, banyak yang mengaitkan meninggalnya dengan persaingan politik menuju pentas pilkada. Figur Solossa diperkirakan akan mampu menggilas kandidat lainnya karena, baik popularitas maupun dukungan mesin politik, Solossa rasanya tak terbendung.

Rumor yang berkembang saat itu, Solossa diracun agar tak melenggang santai ke panggung pilkada. Namun, Wakil Presiden HM Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Partai Golkar, serta Kepala Polda Papua Irjen Pol Tommy Yacobus langsung menepis tudingan miring pada hari pemakaman Solossa, 22 Desember 2005. Solossa dinyatakan meninggal akibat serangan jantung.

Figur dan popularitas

Sebetulnya, kembalinya figur lama para mantan itu bukanlah hal baru dalam pemilihan langsung yang digelar sejak tahun silam ini. Di Sulsel, misalnya, dari delapan kandidat “berkuasa” yang mencalonkan diri kembali dalam pilkada kabupaten, lima kandidat terpilih kembali. Sebut saja M Roem di Kabupaten Barru, Nadjamuddin di Maros, Amping Situru di Tana Toraja, Lutfi A Mutty di Luwu Utara, dan A Hatta Marakarma di Luwu Timur.

Di Irjabar, Bupati Manokwari Dominggus Mandacan terpilih kembali. Di Sulteng Penjabat Bupati Tojo Una-una Damsyik Ladjalani juga terpilih kembali.
Memang, kata pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Kautsar Bailusy, kandidat yang sedang menjabat bupati/gubernur memiliki peluang paling besar untuk memenangi pilkada dibandingkan dengan calon lainnya. Ini mengingat, dengan posisinya itu dia bisa melakukan aktivitas seenaknya dengan mengatasnamakan kegiatan dinas. “Atas nama dinas, mereka hampir setiap hari bisa bertemu masyarakat,” ujar Kautsar Bailusy.

Apa pun bentuk acaranya, pertemuan pejabat-pejabat yang berkuasa secara intens dengan masyarakat menjadi “kampanye terselubung”. Mereka memang bisa berkelit dengan mengatakan bahwa pertemuan itu dalam kapasitasnya sebagai pejabat daerah. Namun, sesungguhnya retorika itu saja sudah merupakan publisitas secara terbuka.
Akan tetapi, pilkada tidak mudah ditebak karena rakyatlah yang menentukan secara langsung. Ada ukuran-ukuran tertentu yang bisa memengaruhi simpati atau suara rakyat.

Menurut Irwan Waris, pengamat politik dari Universitas Tadulako, Palu, dalam sistem pilkada sekarang ini idealnya ada beberapa aspek yang menentukan dalam pendulangan suara, yaitu figur, popularitas, dan mesin politik. Bila ketiga aspek itu bekerja secara simultan, boleh jadi hasilnya akan luar biasa.

Namun, suatu target tak mesti tergantung semua aspek itu. Irwan mencontohkan, bila dilihat dari sisi mesin politik, Paliudju ternyata sangat gurem. Dia hanya didukung partai-partai kecil yang membentuk Koalisi Pilar Bersatu. Di masa kampanye, pasangan Paliudju-Ahmad Yahya terbilang “miskin” dalam hal media kampanye. Contoh, tidak gampang mencari spanduk atau baliho milik pasangan itu. Bahkan, kata Irwan, pasangan itu pernah berkampanye ke Buol hanya menggunakan dua mobil, satu untuk Paliudju dan rombongannya dan satu lagi untuk Yahya dan rombongannya. Sejak awal pasangan itu nyaris tak diperhitungkan. “Tetapi, dia memiliki figur dan popularitas,” ujar Irwan.Menyadari tanpa dukungan mesin politik yang kuat, Paliudju mengandalkan peta politik yang terfokus pada sosoknya. Ia mengandalkan kemampuan membangkitkan memori masyarakat mengarah pada dirinya.
Selama ini Paliudju dikenal sebagai purnawirawan jenderal bintang dua yang kerap mengedepankan cara-cara sipil. Setelah tidak menjadi gubernur, Paliudju pergi ke Sausu di Kabupaten Parigi Moutong untuk mengenalkan teknologi tambak kepada masyarakat. Dia amat dekat dengan masyarakat. Tanpa disadari, aktivitasnya itu justru menjadi media kampanye yang efektif dan jitu.
Sebetulnya, ujar Irwan, Paliudju adalah kepala daerah yang biasa- biasa saja. Jika ukuran keberhasilan seorang kepala daerah di zaman itu adalah pembangunan, tak ada kemajuan di Sulteng di bawah Paliudju. Akantetapi, Paliudju dinilai mampu meletakkan fondasi terselenggaranya sistem birokrasi yang baik. “Yang penting lagi,” sambung Irwan, “Paliudju dinilai bisa memberi rasa aman walaupun pada akhir kepemimpinannya tercoreng dengan meletusnya kerusuhan Poso.”
Saat ini, ketidaktenangan menjadi realitas mencolok di Sulteng. Antara Poso dan Palu, perut bumi terlalu panas sehingga insiden penembakan dan peledakan bom bisa terjadi setiap waktu. Situasi tidak tenang bertahun-tahun telah mengganggu kehidupan damai masyarakat yang hanya melahirkan ketakutan. Mereka sudah jengah akan kekerasan yang terjadi di Sulteng. “Sekarang ini masyarakat ingin hidup tenang, merindukan ketenangan. Masyarakat berharap Paliudju bisa memberikan ketenangan,” ungkap Irwan.
Penonjolan figur dan tumbangnya mesin politik juga terlihat dalam kasus Suebu. Selama ini dia dikenal sebagai gubernur yang cerdas, memiliki jaringan yang luas termasuk di luar negeri karena pernah pernah menjadi duta besar luar biasa. Selain itu, memori orang juga terfokus pada masa dia menjadi Gubernur Irja (1988-1993) tatkala dia sering turun ke desa mengunjungi masyarakat. Suebu yang asal Sentani tidak hanya kuat di pesisir pantai, tetapi juga berpengaruh di pedalaman. Apalagi jika digandengkan dengan Hesegem yang asal Jayawijaya.
Politik aliran
Pertanyaan: apakah mesin politik seperti Partai Golkar tidak bekerja maksimal? Baik Irwan maupun Kautsar mengemukakan, mesin politik sebetulnya bekerja baik. “Saya kira mesin politik bekerja sangat masif. Secara teoretis, Aminuddin Ponulele pasti memang karena mesin politiknya bekerja secara benar. Tetapi, harap diingat pemilu langsung, yang dijual adalah figur. Tidak ada jaminan partai besar pemenang pemilu yang menggotong figur tertentu lalu berhasil jadi pemenang. Kan tak enak kalau saya bilang tak perlu mesin politik,” ucap Irwan.

Kautsar malah menegaskan, mesin politik Partai Golkar sejak Orde Baru sebetulnya semu. Partai Golkar diibaratkan besar seperti balon. Partai itu besar apabila ada peniupnya, tetapi bila tidak ada peniupnya, langsung kempis. Apalagi sejak reformasi, masyarakat pun makin terpolarisasi. Berbagai politik aliran kembali menguat, termasuk aliran nasionalis dan agama, mengingatkan pemetaan politik Herbert Feith pada Pemilu 1955.

Sejak pemilu demokratis pertama kali itu, kawasan Indonesia timur didominasi aliran nasionalis. Di hampir semua daerahpemilihan ketika itu, kecuali Papua yang belum berintegrasi dengan RI, partai berbasis aliran nasionalis dalam hal ini PNI menguasai jumlah perolehan suara. Ini lantaran jargon keberpihakan kepada rakyat kecil yang menjadi senjata ampuh kaum nasionalis.

Di era sekarang ini politik aliran nasionalis itu diperankan oleh PDI-P. Tak heran Suebu- Hesegem, calon yang diusung PDI-P bersama Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat yang membentuk Koalisi Papua Baru pun memimpin perolehan suara.

Bukan hanya itu, hasil pilkada lalu itu, menguatnya aliran agama (Islam) di Papua, menyodok aliran nasionalis dan agama Kristen. Munculnya pasangan Enembe-Aituarauw memperlihatkan hal tersebut. Pasangan yang dicalonkan Koalisi Lintas Nusantara (PKS, PDS, PSI, PKPB) ini bisa jadi awal realitas politik masa depan. “Bagusnya di Papua, koalisi aliran Islam- Kristen itu justru dibangun oleh masyarakat sendiri lewat proses demokratis, tak seperti di Maluku yang ditunjuk pemerintah,” ujar Kautsar.

Masa mengenal masyarakat sudah lewat. Inilah waktunya bagi Paliudju dan Suebu untuk benar-benar memajukan masyarakat, lebih khusus menciptakankedamaian di daerah konflik itu.

Kompas, Senin 20 Maret 2006

Tags: