subhan.esde@yahoo.com

Jangan Biarkan Tangan Jahil Menggunduli Hutan Malino

ANDAIKATA mulai hari ini tidak ada upaya penanggulangan yang konkret, maka tidak mustahil kawasan hutan pinus Malino di Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, akan berubah seratus persen. Lihat saja, saat ini kawasan sejuk itu seperti kehilangan roh. Kebakaran hutan yang terjadi beberapa hari lalu seakan memperparah keadaan lahan yang telah lama kritis.

LAHAN-LAHAN kritis di lokasi Taman Wisata Alam (TWA) Malino itu tak lain akibat tangan-tangan jahil yang memereteli satu per satu areal di situ. Ketika urusan perut tak bisa lagi didamaikan, satu per satu penduduk menyerobot lahan-lahan konservasi itu. Mereka menebangi pohon-pohon pinus (Pinnus merkusi) yang usianya puluhan tahun di tiga wilayah, yaitu Desa Gantarang, Desa Bulutanah, dan Kelurahan Malino.

Lahan-lahan yang telah dipatok-patok itu kemudian dijadikan ladang-ladang sayuran, misalnya. Tanpa ada komando, penduduk telah melakukan penjarahan terhadap “tanah- tanah tak bertuan itu”. “Kalau soal urusan perut, sulit sekali. Mereka tidak mau tahu, apa itu namanya lahan konservasi atau hutan lindung. Yang penting kalau tidak dijaga, mereka patok dan tanami tumbuhan dan sayur- sayuran,” ujar seorang polisi hutan (jagawana) di Malino.

Ternyata bukan hanya penduduk kampung yang gelap mata. Sebagian pengusaha juga memanfaatkan kesempatan menyerobot lahan. Seperti kawasan puncak di Bogor, maka di Malino juga bermunculan vila- vila yang disewakan. Maklumlah, Malino merupakan salah satu tempat peristirahatan favorit.

Dalam keadaan seperti itu, vila-vila komersial dibangun di antara pohon-pohon pinus. Kadang caranya tidak terlalu mencolok, misalnya dengan menggeser patok. Makin lama patok asli nyaris hilang. Tiada lagi yang tahu mana batas yang sesungguhnya. Karena, di lahan itu justru telah ada bangunan.

Tak mengherankan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulsel I Edy Purwanto mensinyalir bahwa kebakaran hutan yang melumatkan areal 10 hektar (ha) beberapa hari lalu itu tidak bisa dilepaskan dari unsur kesengajaan. Malah itu bisa menjadi motif penyerobotan lahan. “Kemungkinan besar faktor kesengajaan. Barangkali dilakukan masyarakat yang hendak membuka lahan,” kata Edy.

Kontan Wakil Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo yang berkunjung ke areal yang terbakar juga ikut terbakar hatinya. Untuk kesengajaan ini harus dicari pelakunya dan diproses secara hukum. “Jika terbukti hutan pinus seluas delapan hektar itu sengaja dibakar maka pelakunya harus ditangkap dan diseret ke pengadilan,” ujar Wagub yang mantan Bupati Gowa itu.

Sebab, hutan lindung Malino bukan hanya aset Sulsel, tetapi milik nasional, antara lain karena tercatat dalam sejarah perdamaian pihak- pihak yang terlibat konflik di Poso dan Ambon. Karena itu dia meminta agar tidak ada aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan pinus itu. “Saya mohon agar tidak ada aktivitas masyarakat di kawasan itu terutama pada musim kemarau, apalagi menebangi secara liar,” tandasnya.

Bayangkan saja dari 3.500 ha TWA Malino yang ditetapkan Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 420/Kpts-II/1991 sejak tanggal 14 Juli 1991 silam, sekitar 1.000 hektar telah berpindah tangan. Pihak BKSDA sendiri bahkan mengalami kesulitan memantau lahan yang telah dikuasai pihak-pihak lain itu.

“Sekitar 60 persen lahan telah rusak terutama diokupasi penduduk untuk dijadikan ladang, umumnya ditanami sayur-sayuran, kopi, dan cengkeh. Lihat saja di banyak kawasan, lahannya sudah gundul-gundul,” kata Edy Purwanto.


REALITAS itulah yang segera disadari BKSDA Sulsel I. Terlambat bereaksi, bahaya mengancam. BKSDA kemudian melakukan inventarisasi lokasi mana saja yang kritis dan diserobot. Menurut Edy, di lahan- lahan itu dilakukan rehabilitas dalam bentuk penanaman pohon-pohon seperti pinus, nangka, pete, dan lain-lain. Tahap pertama tahun 2004 ini dilakukan rehabilitasi lahan seluas 500 ha.

BKSDA yang diberi tanggung jawab untuk mengelola kawasan koservasi sesuai amanat Undang-Undang No 22 tentang Otonomi Daerah itu pun bertekad mengembalikan lahan itu ke kondisi semula. Lahan- lahan kritis akan dikembalikan menjadi lahan yang hijau dan lebat dengan pepohonan.

“Saya sudah melakukan rapat dengan tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah setempat. Saya bilang bahwa kami harus mendapatkan jaminan dari masyarakat. Kalau saya tanam, apa ada jaminan tidak akan dicabuti atau dibakar? Pengamanan kan bukan hanya tanggung jawab kami atau instansi pemerintah lainnya, tetapi yang paling pokok adalah masyarakat,” tukas Edy.

Sosialisasi maupun pembelajaran terus dilakukan. Di sejumlah lokasi di Malino dilengkapi dengan papan nama atau papan larangan agar penduduk tidak memasuki kawasan konservasi. Bahkan BKSDA juga memberikan bantuan kepada penduduk baik berupa bibit tanaman untuk ditanam di kebunnya sendiri maupun bantuan yang bersifat teknis. Hal itu dilakukan untuk mencegah penduduk tidak kembali memasuki areal hutan konservasi tersebut.

Selain itu dilakukan pula law enforcement dengan membawa kasus- kasus penyerobotan itu ke pengadilan. Salah satu kasus yang tengah berjalan adalah gugatan BKSDA terhadap seorang pengusaha bernama Sugianto Halim, pemilik vila Happy Valley Malino. Sugianto menjadi tersangka pidana korupsi dalam kasus penyerobotan lahan konservasi Malino seluas 3,9 ha. Menurut pihak BKSDA, seperti dalam dakwaan jaksa Arifin Hamid, lokasi Happy Valley Malino telah memasuki kawasan hutan korservasi.

Akan tetapi sebaliknya Sugianto pun melakukan gugatan balik. Menurut Sugianto, dirinya tidak melakukan pelanggaran. Areal yang berada di dalam vilanya bukan merupakan kawasan konservasi. Sampai kini kasus itu masih terus bergulir di Pengadilan Negeri Kabupaten Gowa dengan majelis hakim terdiri dari Ny Hanizah Ibrahim (ketua), Muhammad Anzar Majid, dan I Putu Gede Arsawa.

Bahkan majelis hakim pernah melakukan sidang lapangan pada 20 Agustus lalu, tetapi untuk kasus gugatan perdata Sugianto. Hakim merasa perlu hadir di lokasi karena masing-masing pihak mengajukan batas-batas yang berbeda. Banyak pihak menunggu hakim menjatuhkan vonis yang seadil-adilnya.


BAGAIMANAPUN juga TWA Malino jangan sampai seperti nasib puncak di Bogor seperti sekarang ini. Saat ini selain ancaman penyerobotan itu, longsor gunung Bawakaraeng yang terjadi pada akhir Maret lalu tidak bisa dianggap remeh. Salah satu dinding gunung itu terlihat gundul akibat longsor. Sama sekali tidak ada pohon sebagai penopang. Padahal Malino yang berada di kawasan Gunung Lompobatang dan Bawakaraeng tersebut merupakan daerah tangkapan air (catchment area) untuk bendungan Bilibili, misalnya. Kalau kawasan Malino mengalami kerusakan, dampaknya luar biasa bagi bendungan itu yang berfungsi sebagai penyedia debit air dan pengendali banjir.

Rasanya sangat sayang bila kawasan tersebut mengalami perubahan tanpa bisa dikendalikan. Belanda saja yang menjajah Indonesia sangat memahami arti eksistensi Malino ketika menetapkan kota itu sebagai kawasan hutan sejak 31 Oktober 1924.
Malino adalah kawasan penyangga terutama untuk dua kota, yaitu Sungguminasa (ibu kota Kabupaten Gowa) dan Makassar (ibu kota Provinsi Sulsel), di samping kota-kota kecil lainnya. Membiarkan Malino rusak berarti membiarkan ancaman menebar ke segenap penjuru kota-kota yang ada di bawahnya. Rasanya, ini yang tidak mungkin dibiarkan.

Kompas, Rabu 29 September 2004