subhan.esde@yahoo.com

Danau Poso yang Makin Kesepian

Pantai Danau Poso (Foto: Subhan SD)

Pasir putih, air bening, deburan ombak, dan tiupan angin bukan semata monopoli sebuah suasana pantai laut. Panorama seperti itu juga bisa dirasakan pada sebuah tepian danau, seperti danau yang ada di balik pegunungan di Sulawesi Tengah, Danau Poso.

Suasana senyap itu seharusnya bisa diartikan sebagai ketenteraman dan damai. Namun, sayang sejak konflik yang menimbulkan trauma kronis membuat danau eksotik itu kini lebih terkesan kesepian.

Danau yang terletak pada ketinggian 657 meter di atas permukaan laut ini memiliki kawasan tepian yang tidak ubahnya sebuah pantai yang indah. Sama seperti Pantai Bunaken di Manado atau pantai-pantai di Lombok maupun Danau Toba yang termasyhur.

Airnya bening sampai batas cakrawala mirip perairan laut. Di tepian danau, warna air tampak jernih kehijau-hijauan. Namun, semakin ke tengah warna air terlihat membiru karena air semakin dalam.

Di tepian danau, ikan-ikan kecil terlihat berenang bergerombol di antara gulungan ombak kecil yang menyapu tepian yang berpasir putih atau setidaknya berwarna gading itu. Ombak yang terdorong oleh embusan angin itu pun meninggalkan buih putih di batas tepian. Nyaris tak berbeda dengan pantai.

Barangkali yang beda, di sepanjang tepian danau itu tak dijumpai karang seperti di laut. Akan tetapi, justru karena itulah yang membuat asyiknya berenang di Danau Poso. Tidak ada rasa cemas kaki terkoyak terumbu karang yang sudah mati tersapu ombak. Tidak takut mata perih atau tenggorokan menjadi serak karena kemasukan air yang mengandung garam seperti di laut.

Tak mengherankan para orangtua begitu bebasnya melepas anak-anak balita mereka berenang di bibir danau tersebut. Kadang banyak warga yang berenang di danau berair tawar itu tidak berbilas lagi dengan air tawar seperti ketika berenang di pantai.

Sayang eksotika danau itu sekarang boleh dikata tidak bisa dinikmati banyak orang. Pengunjung yang datang ke kawasan itu sudah tidak banyak lagi karena merasa keamanan belum terjamin.

Sepi

Saat ini Danau Poso terkesan seperti kesepian ditinggalkan pengunjung. Padahal, di masa lampau, Danau Poso adalah daerah tujuan wisata yang menjadi primadona bagi daerah Sulawesi Tengah. Bagi turis yang berkunjung ke Pulau Sulawesi, Danau Poso adalah salah satu jalur strategis di trans-Sulawesi yang wajib disinggahi.

Umumnya agen perjalanan selalu memasarkan paket wisata yang terpadu. Biasanya setelah dari Makassar menuju Tana Toraja (Sulawesi Selatan) kemudian meneruskan lawatan ke Danau Poso di Sulawesi Tengah sebelum ke Kepulauan Togean (Sulteng) dan terus ke Bunaken, Manado, Sulawesi Utara, atau Gorontalo.

Danau Poso yang memiliki bentangan utara-selatan sepanjang 32 km dan bentangan barat-timur selebar 16 km ini memang pantas menjadi salah satu primadona di tanah Sulawesi. Keelokan dan ketenangan serta udaranya yang sejuk tentu menjadi kenangan yang sulit terlupakan. Di masa lalu, tidak sedikit pula turis yang terbang langsung ke Poso menggunakan pesawat kecil memandangi keelokan danau dari udara.

Terlebih lagi ketika itu atraksi wisata budaya masih diselenggarakan sebagai andalan. Festival Danau Poso, misalnya, dilangsungkan setiap tahun dan menjadi momen yang menyedot para pelancong.

“Ketika masih ada Festival Danau Poso, di sini ramai sekali. Tetapi, sekarang karena tak ada lagi. Tidak banyak lagi yang berkunjung ke danau,” ujar Pendeta Yuspinus Djendjengi saat ditemui di rumahnya di Tentena, tak jauh dari tepian danau.

“Dulu saya sering datang ke danau ini. Apalagi dulu pemandangannya lebih asri dan teduh serta lebih dingin dibanding sekarang. Suasana danau yang tenang ini cocok untuk menenangkan diri,” kata Ny Marta Marundu, warga Poso yang kini menetap di Makassar.

Terimbas konflik

Semua itu adalah kisah lama, sebelum kawasan Poso dilanda konflik sejak tahun 1999. Kerusuhan yang berulang kali terjadi di Poso sampai kini masih menyisakan trauma yang mendalam. “Dulu ramai, tetapi sekarang agak sepi setelah terjadi konflik,” kata Ny Marta Marundu, yang ditemui saat duduk-duduk di atas pasir di tepi danau, beberapa waktu lalu.

Meski situasi kawasan Poso secara umum sudah kondusif, teror, bom, dan penembakan masih saja terjadi. Peristiwa terakhir adalah ledakan bom di depan Pasar Sentral Tentena pada 28 Mei 2005 yang menewaskan 22 orang.

Tentena adalah salah satu kota kecil yang berada di bibir utara Danau Poso. Jika situasi Poso yang seperti itu, tak mengherankan bila ketakutan masih menghantui para wisatawan untuk datang. Dampaknya, keelokan danau seperti tak terurus. Juga tidak mengherankan jika banyak warga yang punya kenangan indah di danau itu amat merasa kehilangan.

“Saya belum pernah lagi pergi ke danau sejak konflik. Kalau dulu, saya sering berlibur ke sana, tetapi sekarang saya tak tahu lagi bagaimana kondisinya,” kata Ny Nana, seorang warga yang ditemui di Poso Kota. Jarak Poso Kota dengan danau sekitar 60 kilometer, yang ditempuh kira-kira 1,5 jam perjalanan kendaraan ke arah Tentena.

Ny Marta juga merasa kehilangan suasana danau itu. Sejak kerusuhan yang untuk pertama kalinya pecah pada Desember 1998, dia belum pernah kembali untuk menetap di Kota Poso, kecuali menengok rumah dan makam suaminya. Kini dia lebih sering mengunjungi anaknya yang memilih menetap di Tentena. Maka, setiap mengunjungi anaknya, Ny Marta dipastikan mengunjungi Danau Poso.

“Suasana di danau ini memang tenang. Pemandangannya indah, airnya bening, dan teduh. Saya selalu menyempatkan diri ke sini setiap mengunjungi anak saya di Tentena,” katanya. Dia merasa bahagia menyaksikan anak dan cucunya berenang.
Sebelum konflik, kawasan danau hampir setiap waktu selalu ramai pengunjung. Hampir setiap akhir pekan, orang-orang Poso Kota berwisata di tepian danau. Apalagi di musim liburan, pengunjung membanjiri danau, termasuk bule-bule.

Mungkinkah suasana itu akan terulang lagi?

Optimisme penduduk Poso untuk menciptakan kedamaian ibarat pintu bagi keindahan Danau Poso. Apalagi kawasan ini sudah memiliki akomodasi bagi para pengunjung yang datang dari luar. Di Tentena atau Pendolo (kota di bibir selatan danau), sejumlah hotel dan penginapan tinggal pilih. Sejumlah vila juga bisa ditemui di beberapa kawasan, semisal di Siuri atau Dulumai. Kalau mau, coba juga masakan khas suku Pamona, yaitu arogo. “Masakan khas berupa ikan danau yang berkuah bening dicampur bawang merah, tomat, serai, dan cabai. Kalau mau coba, kami bisa masaki,” kata Ny Fitria M, juru masak di Siuri Cottage.

Bayangkan bagaimana nikmatnya arogo panas sambil memandangi deburan ombak danau. Mungkin bisa terbit niatan untuk berkunjung ke danau yang memiliki luas sekitar 32.324 hektar itu. Percayalah, semakin hari situasi di Poso dan sekitarnya kian kondusif. Di masa lalu tidak sedikit turis yang terbang langsung ke Poso menggunakan pesawat kecil.

Kompas, Jumat 23 September 2005