subhan.esde@yahoo.com

Istana Burung Kuntul, Antara Keindahan dan Strategi Pertahanan

Istana Himeji (Foto: Subhan SD)

Panas yang cukup memanggang kulit terbayar sudah setelah menyusuri ruang demi ruang Istana Himeji, yang dari kejauhan sudah terlihat indah, akhir Juni silam. Warnanya yang dominan putih dengan bagian bawah bebatuan tampak begitu kontras dengan warna hijau pepohonan di sekelilingnya.

Andai saja datang pada saat bunga sakura bermekaran di musim semi antara Maret dan Mei, tentu mata akan semakin dimanjakan dengan paduan keindahan antara warna putih dan warna-warni sakura, terutama yang berwarna merah muda.
Istana yang begitu mencolok ini, baik karena bangunannya yang besar maupun posisinya yang terletak di sebuah bukit, memang benar-benar sangat megah. Istana itu menjadi bukti sejarah peradaban Jepang. Bahkan, UNESCO telah menetapkan bangunan itu sebagai situs warisan dunia pada 1993.

Periode penyatuan Jepang

Dinding benteng dari batu. (Foto: Subhan SD)

Istana Himeji yang terletak di kota Himeji, Prefektur Hyogo, adalah karya arsitektur terpenting dari awal abad ke-17. Sebetulnya, informasi menyebutkan bahwa istana ini awalnya dibangun di Gunung Hime di bagian utara kota pada 1346 di zaman Istana Utara-Istana Selatan oleh Akamatsu Sadanori, putra shogun Akamatsu Norimura. Akan tetapi, ukurannya terbilang kecil sehingga lebih tepat disebut benteng. Barulah pada abad ke-16 menjadi ”istana” di zaman Kuroda Shigetaka dari klan Kodera yang menguasai dataran Harima.

Jalan menuju Istana Himeji (Foto: Subhan SD)

Akhir abad ke-16 menjadi paruh penting ketika istana itu digunakan sebagai pusat pemerintahan saat periode penyatuan Jepang. Pada periode itu, Jepang memang terpecah-pecah menjadi wilayah kecil-kecil yang dipimpin oleh keluarga/klan tertentu.
Persaingan antarklan itu melahirkan perebutan kekuasaan di antara mereka. Maka, kekacauan dan perang terjadi di mana-mana. Lalu, tampillah tiga tokoh yang bertekad mempersatukan Jepang, yaitu Oda Nobunaga (1534-1582), Toyotomi Hideyoshi (1536-1598), dan Tokugawa Ieyashu (1543-1616).

Apabila mendengar ketiga nama itu, saya selalu teringat novel yang saya baca di pertengahan 1990-an yang berjudul Taiko karya pengarang legendaris Eiji Yoshikawa. Nah, novel itu mengisahkan sepak terjang ketiganya dalam menyatukan Jepang.
Hideyoshi-lah yang memilih pusat kekuasaan di Istana Himeji pada tahun 1580-an. Ia mewarisi kekuasaan Oda Nobunaga setelah mengalahkan Akechi Mitsuhide dalam Pertempuran Yamazaki. Nobunaga dikhianati anak buahnya, yaitu Akechi Mitsuhide, dalam insiden Honnōji di Kyoto. Hideyoshi, tangan kanan andalan Nobunaga yang berjuluk ”monyet” itu, kemudian memperbaiki istana sehingga terlihat bagus.

Banyak trik tipuan dan basis pertahanan

Bangunan kamuflase: dari luar tampak lima lantai, ternyata tujuh lantai (Foto: Subhan SD)

Namun, istana dengan segala desain arsitektur yang bisa dilihat sekarang ini lebih sebagai warisan dari zaman ”shogun negeri sebelah barat” Ikeda Terumasa. Ikeda Terumasa adalah menantu Tokugawa Ieyasu. Ikeda Terumasa butuh delapan tahun untuk merampungkan istana yang dimulai pada 1601. Waktu itu era Perang Sekigahara dan Pertempuran Musim Dingin-Musim Panas Osaka (Osaka no eki).

Istana pun dirancang agar siap digunakan dalam pertempuran. Maka, di dinding-dinding tembok istana banyak sekali lubang kecil. Di lubang-lubang itu tempat pasukannya melepaskan panah atau senjata jika ada serangan dari luar. Temboknya pun tahan api dan tentu saja dirancang tahan dari tembakan senjata.

Ruangan dalam. (Foto: Subhan SD)

Untuk mencapai istana pun butuh tenaga ekstra karena berada di posisi yang tinggi, selain di dataran tinggi juga bangunannya memang tinggi di puncak Gunung Hime. Yoshino, pemandu kami, mengingatkan bahwa bangunan cukup tinggi dan terdiri dari lorong-lorong sempit dan ada juga yang cukup lebar, serta berkelok-kelok dengan tangga yang cukup curam. Di beberapa lokasi ditulisi ”awas kepala anda”.

Rupanya itulah taktik untuk menyulitkan para penyerang jika berhasil menembus bagian dalam istana. Namun, banyak pengunjung justru penasaran menapaki tangga kayu itu hingga posisi teratas walaupun dengan susah payah dan berdesak-desakan. Untuk mengeksplorasi bagian dalam istana, pengunjung harus membuka alas kaki dan memasukkannya ke dalam kantung sepatu/sandal. Tentu agar bangunan kayu tua itu tidak kotor.

Istana Himeji terdiri atas satu bangunan (menara) utama dan tiga menara kecil-kecil (Menara Barat, Menara Inui, dan Menara Timur). Menara-menara itu dihubungkan oleh watari (bangunan untuk menyeberang), yaitu bangunan beratap dua susun. Seorang pemandu lokal menjelaskan bahwa dari luar tampak ada lima lantai (dicirikan dengan lima tingkatan atap), tetapi sebetulnya istana itu terdiri dari tujuh lantai.

Tangga, semua berbahan kayu. (Foto: Subhan SD)

Saya membuktikan, ternyata sejak dari bagian bawah sampai teratas, bangunan istana itu memang terdiri dari tujuh lantai. Barangkali inilah trik tipuan agar musuh terkecoh.
Para penyerang akan menduga ada lima lantai sehingga kemungkinan besar para penyerang akan berhenti di lantai kelima. Bisa jadi sisa pasukan bertahan di dua lantai terakhir. Banyak pintu dibuat kecil dan berujung jalan buntu sebagai taktik menghentikan gerakan musuh.

Namun, Istana Himeji boleh dikata tak tersentuh oleh peperangan, termasuk ketika Perang Dunia II yang membuat kota-kota di Jepang porak-poranda terutama Hiroshima dan Nagasaki yang dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat.

Dan, hingga hari ini, setelah beberapa abad berlalu, Istana Himeji yang juga berjuluk sebagai Istana Burung Kuntul (karena putih seperti warna burung itu) tetap memberi keindahan bagi yang memandanginya.

Tidak heran, karena nilai sejarah dan artistiknya, Istana Himeji kerap dijadikan lokasi syuting film-film, terutama berlatar belakang samurai. Saya membayangkan menyambangi Istana Himeji saat bunga-bunga sakura bermekaran, pasti terlihat lebih indah ya….

Kompas.com/Kompas.web, 14 Juli 2015, CATATAN DARI JEPANG