subhan.esde@yahoo.com

Andai Bung Karno Masih Hidup, Partai Politik Bisa Dikubur Hidup-hidup

Presiden Sukarno pernah marah besar pada partai politik. Kemarahan itu sampai dua kali digelorakan Bung Karno, yaitu ketika berpidato di forum pertemuan wakil-wakil pemuda dari semua parpol pada 28 Oktober 1956, dan dua hari kemudian pada 30 Oktober 1956 di depan kongres persatuan guru. Pasalnya partai politik suka main sikut dan berkonflik terus. Panggung politik pun selalu gaduh. Padahal stabilitas amat dibutuhkan bagi bangsa yang baru merdeka.

“Ke luar kita selalu berkata: bersatu, bersatu, bersatu! Bahkan aktif mempersatukan, aktif mempersatukan! Paradoks ke dalam bagaimana, saudara-saudara? Kita sikut-sikutan satu sama lain!…. Sekarang ini saudara-saudara kita terpecah belah! Dan terpecah-belah bukan hanya oleh rasa suku, bukan oleh rasa kedaerahan,” ujar Bung Karno dalam pidatonya yang lantang.

Kemudian, Bung Karno melanjutkan, “Ada penyakit yang kadang-kadang bahkan lebih hebat daripada rasa suku dan rasa daerah! Yaitu penyakit apa? Penyakit kepartaian saudara-saudara! Ya, terus terang saja saudara-saudara: penyakit kepartaian!” Partai telah membuat elemen bangsa berhadap-hadapan. Bahkan pada Pemilu 1955, situasinya begitu mengenaskan. Meskipun dianggap pemilu yang sangat demokratis, tetapi menurut Bung Karno, membuat tenaga bangsa remuk-redam.

Karena parpol saling sikut dan berkonflik, Maka, Bung Karno pun berteriak: “Marilah sekarang bersama-sama kita menguburkan semua partai!”. Memang terlihat otoriter dan antidemokrasi. Namun, barangkali karena rasa kesal Bung Karno sudah di ubun-ubun. Seandainya saja Bung Karno berusia panjang sampai zaman sekarang, bukan tak mungkin, akan meneriakkan kembali penguburan parpol-parpol. Sebab, perilaku parpol tak berubah juga. Sekarang pun sama, suka bikin gaduh, saling sikut, berantem. Di DPR, misalnya, mereka tak malu berebut kursi dan jabatan seperti pernah ditunjukkan politisi Partai Golkar tahun lalu. Tahun 2015, konflik internal Golkar memang sedang panas-panasnya, antara kubu Munas Jakarta versus kubu Munas Bali.

Tahun 2014 di DPR juga heboh saat penetapan Alat Kelengkapan Dewan. Kala itu juga sedang panas-panasnya kontestasi dua koalisi: Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat. Saat rapat di DPR itulah, politisi PPP sempat membalikkan meja sehingga botol minuman atau mikrofon berjatuhan. Konflik internal PPP pun malah mengeras menjadi dua kubu antara kubu Munas Surabaya versus kubu Munas Jakarta. Sampai sekarang dua kubu masih bersitegang. Padahal jalan ke arah islah mulai dibangun, antara lain lewat Silatnas pada beberapa pekan lalu.

Rumah rakyat saja di Senayan dipagari tinggi-tinggi. Wakil rakyat semakin berjarak saja dengan rakyat, sang pemberi mandat. Padahal parpol sesuai fungsinya haruslah mampu menjadi sarana komunikasi politik. Parpol harus menjadi jembatan antara rakyat (the ruled) dan pemerintah (the rulers).

Parpol dan DPR memang tak habis-habisnya membuat kegaduhan. Pertarungan KIH yang mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan KMP yang oposisi sungguh melelahkan. Di DPR mereka rebutan posisi. KMP memang menguasai DPR, sampai-sampai PDI-P yang menang Pemilu 2014 saja gigit jari. Karena, sebelum-sebelumnya pemenang Pemilu otomatis dapat kursi Ketua DPR. Namun, kursi itu diambil oleh Partai Golkar. Dan, anehnya baru periode sekarang Ketua DPR yang dijabat Setya Novanto harus lengser setelah kasus ”papa minta saham” PT Freeport Indonesia terbongkar.

Politisi DPR memang banyak yang terjerat kasus korupsi, termasuk yang tangkap tangan. Sedihnya, politisi DPR tak kapok-kapok. Tidak mengambil pelajaran dari kasus-kasus sebelumnya di mana para politisi ditangkap KPK karena terlibat korupsi di berbagai proyek. Tak heran citra DPR di mata publik sangat buruk. Misalnya saja, survei Populi Center pada Januari 2015 menyebutkan DPR adalah lembaga terkorup. Tingkat ketidakpercayaan publik terhadap parpol sangat tinggi. Dari survei tersebut, hanya 12,5 persen responden yang percaya pada parpol.

Parpol dan pemberantasan korupsi Sekarang ini, sikap parpol tengah ditunggu, terutama terhadap pemberantasan korupsi. Berdasarkan sikap parpol terhadap revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, parpol benar-benar diragukan. Cermati saja sikap fraksi di DPR. Sejak bergulir revisi UU itu di Badan Legislasi DPR, sikap fraksi berubah-ubah. Plintat-plintut. Sampai pekan lalu, ada tiga fraksi yang menolak revisi UU KPK. Jadi, masih ada tujuh fraksi yang setuju revisi UU KPK.

Perubahan sikap fraksi ini menarik diamati. Sampai Rabu (10/2) lalu, cuma satu fraksi yang menolak revisi yaitu Gerindra. Partai Prabowo Subianto ini patut diapresiasi karena boleh dikata satu-satunya fraksi yang konsisten mempertahankan UU KPK sekarang ini. Rupanya Fraksi Demokrat mengikuti jejak Gerindra. Pada Kamis (11/2), Demokrat pun bersikap menolak revisi. Esoknya lagi, Jumat (13/2), giliran Fraksi PKS mengikuti langkah Gerindra dan Demokrat. Lalu fraksi apa lagi yang berubah pikiran untuk berdiri bersama-sama publik, masih ditunggu. Tujuh fraksi yang masih ngotot ingin mengubah UU KPK adalah PDI-P, Partai Golkar, PAN, Partai Nasdem, PPP, PKB, dan Hanura.

Anehnya PDI-P. Dulu di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketika menjadi partai oposisi, PDI-P adalah penentang yang tangguh terhadap upaya-upaya yang hendak merevisi UU KPK. PDI-P menjadi pengawal yang ulet, apalagi UU KPK itu dilahirkan di zaman Presiden Megawati Soekarnoputri, yang sampai hari ini masih menjadi Ketua Umum PDI-P.

Tetapi, itu kisah PDI-P saat masih berada di luar pemerintah. PDI-P sekarang justru menjadi motor revisi UU KPK. Ada apa dengan PDI-P? Apakah sikap-sikap parpol itu terkait dengan pencitraan saja? Parpol yang tahu jawabannya. Selama ini parpol sepertinya jauh dari rakyat. Keputusan parpol seringkali tidak sejalan dengan aspirasi rakyat. Contoh teraktual ya revisi UU KPK. Publik banyak yang menolak karena dianggap sebagai bentuk pelemahan KPK. Tetapi parpol tetap saja. Ibaratnya suara rakyat itu masuk kuping kanan lalu keluar lewat kuping kiri.

Rumah rakyat saja di Senayan dipagari tinggi-tinggi. Wakil rakyat semakin berjarak saja dengan rakyat, sang pemberi mandat. Padahal parpol sesuai fungsinya haruslah mampu menjadi sarana komunikasi politik. Parpol harus menjadi jembatan antara rakyat (the ruled) dan pemerintah (the rulers). Parpol sebetulnya punya dua misi yang sama-sama berfungsi. Bagi pemerintah, parpol bertindak sebagai alat pendengar; dan sebaliknya bagi masyarakat parpol sebagai pengeras suara (Miriam Budiardjo, 1994).

Dengan begitu, ada saluran yang linier dari rakyat sampai ke pemerintah.
Tetapi, yang terjadi sekarang ini tidak persis demikian. Rakyat bersuara apa, parpol bersuara lain lagi. Bisa tidak nyambung. Tak heran pula jika parpol dan para politisinya lebih mengurusi diri sendiri dan kelompoknya. Sekarang ini kita baru lepas dua tahun dari Pemilu 2014. Belum ada hasil signifikan dan strategis yang dihasilkan parpol untuk kemaslahatan rakyat. Kinerjanya saja di DPR jeblok. Ribut sendiri sesama kawan separtai menjadi pemandangan lumrah di lingkungan politisi.

Apabila ada kepentingan bersama, barulah mereka “bersatu”, misalnya menghadapi pilkada. Memang, di politik itu lazim adagium “tidak ada musuh abadi, yang ada kepentingan abadi”. Maka kalau parpol mulai siap-siap rujuk pada tahun 2016, itu juga berarti sudah mulai memikirkan untuk Pemilu 2019. Sisa tiga tahun adalah waktu yang pendek. Jika konflik internal tidak segera diatasi, bisa-bisa mereka tak bisa panen suara di pemilu mendatang.

Maklum saja mereka butuh rakyat setiap lima tahun sekali. Tahun depan barangkali politisi pusat sudah mulai lebih banyak di daerah. Mereka menggarap daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Ketika mereka mulai sibuk persiapkan pemilu, pekerjaan yang harus dituntaskan dalam satu periode (lima tahun) tampaknya bakal terbengkelai. Saat tugas belum rampung, di depan mata mereka sudah ada pemilu. Akhirnya, tugas yang tidak selesai itu makin bertumpuk-tumpuk. Itu baru soal teknis.

Soal substansi untuk membangun demokrasi, masih jauh dari harapan. Padahal, kata ahli ilmu politik Michael Johnston (2005), parpol tidak hanya mengurusi pemilu, tetapi lebih penting adalah mengorganisasi dan memobilisasi kekuatan sosial menjadi energi demokrasi yang berkelanjutan. Runyamnya sudah belasan tahun pasca reformasi, demokrasi kita masih tersesat. Parpol belum mampu memperkokoh demokrasi. Sebaliknya justru sering menggerogoti pilar-pilar demokrasi, sampai keropos. Bayangkan kalau Bung Karno masih hidup di zaman sekarang..

Artikel ini terbit di Kompas.com, pada 16 Februari 2016.