subhan.esde@yahoo.com

Potensi Itu Harus Dikembangkan Lagi…

Luat biru (Foto: Subhan SD)

SEBAGAI gugusan pulau, Kelurahan Pulau Kelapa boleh dibilang cukup beruntung. Sebab, sebagian besar pulau-pulau wisata ada di dalam wilayahnya. Pulau-pulau di kawasan Pulau Kelapa yang memiliki izin sebagai obyek wisata bahari sekaligus Taman Nasional Laut adalah Pulau Hantu Barat, Hantu Timur, Bira Besar, Bira Kecil, Pelangi, Kaliage Besar, Matahari, Putri Timur, Putri Timur, Sepa Barat, Semut Kecil, Sebaru Kecil, Melintang Besar, Melintang Kecil. Sisanya dimiliki secara pribadi.

Namun sebagai pintu gerbang kota metropolitan Jakarta, ternyata kawasan pariwisata itu — umumnya di Kepulauan Seribu — belum digali secara optimal. Padahal untuk semua kawasan Kepulauan Seribu ada sebanyak 45 pulau yang akan dikembangkan untuk wisata, tapi yang beroperasi hanya 20 persen. “Yang betul-betul beroperasi baru sembilan pulau,” tutur Kepala Sudin Pariwisata Jakarta Utara Drs H Wiyanto. Pulau-pulau itu antara lain Pulau Ayer, Bidadari, Bira Besar, Pelangi, Kotok, Matahari, Putri, dan Sepa, Hantu.

Sulitnya, pengembangan wisata di kawasan itu belum dilakukan secara profesional, dalam arti tidak semua investor atau pemilik benar-benar mengembangkannya secara optimal. Menurut Wiyanto, pengelolaan wisata tersebut masih dilakukan secara sendiri-sendiri oleh pengelola masing-masing.

“Pada umumnya para pengelola pulau adalah konglomerat yang memiliki bisnis utama di sektor lain. Mereka punya usaha lain, sehingga mereka tidak mengandalkan bisnis wisata pulau,” katanya. Selain itu, pengunjung yang datang tidak ramai sepanjang hari. Biasanya para pengunjung hanya ramai pada hari-hari akhir pekan antara Sabtu-Minggu. “Jadi, mereka hanya terima tamu hari-hari itu, hari Senin hingga Jumat, mereka menganggur saja. Kalau pun terima tamu ya sangat sedikit,” tambahnya.

***

UNTUK meningkatkan sektor wisata tersebut, tidak hanya peningkatan berbagai fasilitas pendukung untuk menikmati panorama laut, tetapi juga harus mengikutsertakan potensi masyarakat setempat. “Memang potensi masyarakat setempat seperti adat kebiasaan belum digali secara maksimal,” kata Kepala Seksi Obyek & Daya Tarik Pariwisata Sudin Pariwisata Jakut Drs Djaman Subiyandono.

Bungalow dan dermaga (Foto: Subhan SD)

Memang, perlu diakui kehidupan masyarakat setempat tak memiliki adat kebiasaan yang monumental, katakanlah seperti di Bali, tetapi paling tidak masyarakat setempat merasa diikutsertakan dalam pembangunan tersebut. Jadi, tidak hanya sebatas tenaga kerja di pulau-pulau wisata itu.

Untuk itu, demi merangsang pariwisata di sana, seperti diakui Djaman, sampai saat ini sudah dua kali diselenggarakan festival Pulau Seribu berupa pesta laut nyadran, lomba perahu hias atau perahu tradisional, lomba menangkap bebek, dan berbagai pameran hasil laut. “Sebagai daya tarik memang perlu dimunculkan berbagai atraksi terutama yang bermuatan lokal,” kata Djaman.

Dari pulau ke pulau (Foto: Subhan SD)

Di samping itu, pihaknya berupaya meningkatkan faktor pendukung industri pariwisata terutama kualitas lingkungan, karena yang dijual adalah wisata lingkungan. “Orang pergi ke laut itu membutuhkan lingkungan yang bagus. Apalagi dibanding pulau-pulau lain kawasan pulau tersebut tak kalah bagus,” katanya.

***

PERSOALAN transportasi boleh jadi kendala tersendiri. Tapi dengan adanya kapal-kapal semacam yacht atau speedboat perjalanan itu bisa ditempuh antara 1-1,5 jam. Tetapi guna meningkatkan pariwisata itu, pihak Pemda DKI Jakarta akan meningkatkan sarana transportasi melalui jalur udara. Karena itu, Pemda DKI mengambil alih pengelolaan bandara Pulau Panjang. Bandara yang pernah dikelola Pelita itu selama ini berhenti beroperasi.

Namun tentang dibukanya kembali bandara tersebut baik Wiyanto maupun Djaman belum bisa memastikan. “Berbagai sarana pendukungnya sudah jadi, seperti dermaga kapal dan rumah jaga sudah ada. Yang terus dilakukan adalah peningkatan kualitas runway-nya,” kata Djaman. Diharapkan di Pulau Panjang itu bisa digunakan pula untuk parkir kapal-kapal mewah yang selama ini parkir di Marina Ancol. “Jadi turun dari pesawat mereka bisa langsung berkeliling dengan kapalnya,” kata Wiyanto. (ssd)

Kompas, Minggu, 6 Juli 1997