subhan.esde@yahoo.com

Menyusuri Museum Hidup di Minsokchon

Oleh Subhan SD

Orang Korea tak hanya piawai membangun peradaban masa depan yang maju, tetapi juga mampu merekonstruksi tempo “doeloe” hingga tetap bisa hidup pada zaman sekarang. Sesuatu yang masuk kategori sejarah di Korean Folk Village tak lantas berarti usang dan mati.

subhan sd/Kompas

Dalam brosur yang tersebar di sejumlah tempat di Seoul, Korean Folk Village merupakan salah satu tujuan wisata yang populer. Rupanya turis asing tidak hanya diperkenalkan dengan gemerlap megapolitan Seoul dan kota-kota lain. Para turis juga diajak melihat kesederhanaan tradisi bangsa yang kini terbelah dua pasca-Perang Korea tahun 1950-1953 akibat konflik ideologi Amerika Serikat dan Uni Soviet itu.

Menikmati Korean Folk Village, kita menyadari di tengah akselerasi menggapai kemajuan, terutama sektor ekonomi dengan simbol- simbol chaebol, di antaranya mobil dan produk elektronik, orang Korea masih serius dan telaten merawat berbagai peninggalan masa lalu. Mereka masih menjaga jejak sejarah mereka: tradisi, kultur, artefak, dan bangunan lama. Boleh jadi, masa lalu ibarat ruh yang menghidupkan Korea masa kini.

Tertarik dengan hal itu, setelah memandangi gemerlap Korea seusai mengunjungi pabrik televisi LG di Gumi, Korean Folk Village menjadi agenda berikut. Suasana sekitar bulan September-November cukup mengasyikkan karena suhu udara di Semenanjung Korea rata-rata 15-19 derajat Celcius.

Dari Seoul butuh sekitar satu jam untuk menempuh jarak kurang dari 40 kilometer untuk mencapai Korean Folk Village. Kendaraan yang saya tumpangi menyusuri jalan tol Gyeong-bu menuju Provinsi Gyeonggi. Karena perjalanan itu akhir pekan, seperti pemandangan di Jabodetabek, jalan tol itu juga macet. Di jalanan, terlihat kendaraan berbaris antre dengan tertib.

subhan sd/Kompas

Untunglah kendaraan yang saya tumpangi tak terjebak kemacetan. Rupanya kendaraan kami, mikrobus berkapasitas lebih 30 orang, diperbolehkan melewati jalur khusus di jalan tol itu, mirip busway di Jakarta.

Dari ibu kota Seoul, Korean Folk Village berada di sebelah tenggara. Kawasan yang asri dengan rimbunan pepohonan itu dikenal dalam istilah lokal Minsokchon, terletak di kota Yongin, satu dari 27 kota di provinsi yang terdiri dari 4 kabupaten dengan ibu kota di Suwon itu.

Di loket pembelian tiket terlihat antrean warga. Tertera harga tiket untuk orang dewasa 11.000 won atau Rp 110.000, sementara anak- anak 7.000 won. Pada musim panas jam buka pukul 09.00-18.30, dan pada musim dingin pukul 09.00-17.00.

Tradisional

Melewati gerbang utama, atmosfer tradisional Korea langsung terasa. Rumah-rumah tradisional ditata seperti kawasan permukiman. Ada rumah warga kebanyakan, rumah warga kaya, rumah bangsawan, dan rumah pejabat. Di lokasi itu sedikitnya terdapat 260 rumah tradisional, baik dari kawasan utara, tengah, maupun selatan, termasuk kawasan kepulauan.

Rumah-rumah itu umumnya mencirikan rumah dari akhir masa Dinasti Joseon (Chosun/Choson) yang berkuasa sejak Juli 1392 hingga runtuhnya pada Agustus 1910 setelah invasi Jepang. Sebetulnya gaya hidup orang Korea bisa ditelusuri sekitar 5.000 tahun silam dengan perubahan drastis pada zaman Perang Petani Kabo (1894), invasi Jepang (1910- 1945), serta Perang Korea (1950-1953).

Rumah orang Korea memiliki sistem pemanas ondol dan lantai kayu. Di Korean Folk Village, rumah-rumah itu ditata apik, ada ruang tamu, ruang keluarga, hingga dapur, dan kamar mandi, serta dilengkapi peralatan seperti tempat tidur, bantal-guling, meja, peralatan dapur, dan sebagainya.

Sejumlah rumah itu terlihat hidup, seperti ada penduduk yang menghuni rumah tersebut. “Penduduk” itu tak lain sekitar 400 karyawan yang bekerja di kompleks tersebut. Bukan hanya menghuni rumah itu, mereka juga semakin menghidupkan rumah tersebut dengan melakukan aktivitas sehari-hari.

Contohnya, ada sejumlah ibu tua, tentunya dengan pakaian tradisional, yang menjemur bumbu dapur di depan rumah. Beberapa ibu terlihat memintal benang dari ulat sutra dengan alat yang sederhana. Di tempat lain, ada pandai besi yang terus menjaga api di tungkunya agar tetap menyala.

Menyusuri jalanan tanah memperlihatkan suasana kesederhanaan. Di kiri kanan jalan terdapat areal perkebunan, antara lain ginseng, labu, dan sayuran. Di lahan-lahan hijau yang tak seberapa luas di banding lansekap aslinya, bisa disaksikan penduduk yang beraktivitas di lahan pertanian dan perkebunan. Mereka terlihat mengolah tanah, menyemai bibit, dan memanen hasilnya. Seperti di ladang aslinya.

Ada juga gerobak ditarik sapi yang hilir mudik. Gerobak itu mengangkut hasil pertanian, kayu bakar, atau juga alat angkut orang. Gerobak-gerobak itu bergerak dengan roda-roda kayunya di jalanan tanah di kompleks tersebut.

subhan sd/Kompas

Selain itu, ada kultur yang tetap dipertahankan, baik kepercayaan maupun agama mereka, yang diwujudkan dalam bentuk, antara lain patung- patung kayu. Dalam waktu tertentu, ada jadwal pementasan upacara perkawinan dan atraksi budaya lain.

Sebetulnya kompleks itu mirip Taman Mini Indonesia Indah di sudut timur Jakarta. Sama-sama menjadi etalase potret masa lalu dan tradisi etnik. Keunikan Korean Folk Village adalah bukan saja kita memandangi benda-benda secara fisik yang menarasikan bangsa Korea masa lampau, tetapi kita melihat potret hidup perjalanan sebuah bangsa.

Mengunjungi kompleks tersebut bukan menonton diorama yang kaku dan mati, tetapi seakan menyusuri museum hidup. Barangkali, itulah jawabannya mengapa sesuatu yang lama itu tak lantas usang dimakan zaman.

Kompas, Minggu 27 Januari 2008