subhan.esde@yahoo.com

“Reshuffle” dan ”Rijsttafel”

handining

Sepekan setelah Lebaran lalu, pada suatu sore yang cerah, di ruangan terbuka sebuah restoran di sudut Novokuznetskaya, Moskwa, Rusia; sebuah kehormatan diundang makan malam oleh Duta Besar RI untuk Rusia merangkap Belarus M Wahid Supriyadi. Ada juga diplomat Darmawan Suparno (Minister Counsellor) dan Nanang Fadillah. Di meja makan, kami berdiskusi banyak hal. Dubes antara lain bercerita tentang pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin yang semakin kuat.

Di negaranya, Putin memang menjadi pengendali penuh. Setelah terpilih kembali menjadi presiden pada 2012, ia merombak kabinetnya (reshuffle). Orang-orang kepercayaannya, yang memiliki kapasitas, langsung menjadi tim inti kabinet. Pada periode pertamanya, Putin juga pernah merombak kabinetnya. Reshuffle antara lain memastikan agar pembangunan bergerak cepat (Richard Sakwa, The Crisis of Russian Democracy, 2011).

Seperti Putin, Rabu (27/7) kemarin, di Tanah Air, Presiden Joko Widodo juga merombak kabinetnya. Ini perombakan kedua kali, setelah reshuffle pada Agustus 2015. Kini ada sembilan ”muka baru” yang disebut Presiden Jokowi sebagai ”energi baru”: Wiranto, Sri Mulyani Indrawati, Muhadjir Effendy, Arcandra Tahar, Budi Karya Sumadi, Airlangga Hartarto, Asman Abnur, Eko Saputro Sandjojo; dan Enggartiasto Lukita.

Sebaliknya menteri-menteri yang dicopot adalah Rizal Ramli, Ferry Mursyidan Baldan, Marwan Jafar, Yuddy Chrisnandi, Anies Baswedan, Ignasius Jonan, Sudirman Said, Saleh Husin. Menteri-menteri yang masih ”disayang” digeser ke tempat baru, yakni Luhut Binsar Pandjaitan, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, Sofyan A Djalil, dan Thomas Lembong.

Mencermati perombakan jilid II ini ada beberapa catatan. Pertama, presiden agaknya meng- ganti menteri-menteri yang kerap membuat gaduh, termasuk kasus-kasusnya yang menjadi sorotan publik. Kedua, presiden tampaknya merombak figur-figur yang terlihat (ingin) lebih menonjol atau mungkin memiliki agenda tersembunyi.

Ketiga, presiden tetap akomodatif terhadap partai politik meskipun tak ingin terlihat tertekan parpol. Buktinya hanya ada empat menteri parpol yang masuk reshuffle jilid II ini, yaitu Wiranto (Hanura), Airlangga (Golkar), Eko (PKB), dan Asman (PAN). PAN dan Golkar memang wajib masuk karena sudah masuk koalisi pendukung pemerintah. Bahkan, Golkar sudah nyalip duluan mengusung Jokowi di Pilpres 2019. Hanura yang kehilangan dua menterinya (Saleh Husin dan Yuddy) langsung diganti Wiranto, sang Ketua Umum Hanura.

Keempat, presiden memperhatikan faktor representasi. Ketika berbicara di acara Haul 3 Tahun Taufiq Kiemas, 8 Juni lalu, Presiden Jokowi ingat reshuffle. Kala itu, Presiden bilang menteri dari NU itu 6 orang, sebaliknya menteri dari Muhammadiyah belum dihitung. Akhirnya, Jokowi menepati janji, orang Muhammadiyah (Muhadjir) diangkut ke gerbong kabinet.

Lalu bagaimana dengan menteri-menteri yang ”tidak bunyi” atau kinerjanya kurang terlihat? Bukankah Jokowi membutuhkan akselerasi dalam 3,5 tahun ke depan. Mungkin gara-gara dinner di restoran bersama Dubes Rusia, begitu ada reshuffle langsung teringat rijsttafel. Dua kata itu mirip-mirip, ya. Reshuffle itu perombakan atau kocok ulang, sedangkan rijsttafel adalah cara penyajian makanan yang beraneka jenis di meja makan.

Seperti memilih aneka jenis hidangan rijsttafel, Presiden Jokowi pun tampaknya memilih cermat ketika hendak me-reshuffle kabinet: menteri mana yang dicopot dan menteri mana yang dipertahankan di meja kabinet. Jika perombakan kali ini dapat memperkuat kabinet, mungkinkah posisi Jokowi juga ikut menguat seperti Putin?

Kompas, Kamis 28 Jul 2016